Bab 3: Hutan di Langit

From Baka-Tsuki
Revision as of 02:04, 5 May 2018 by Sakamiyo (talk | contribs) (Created page with "==<div style="color:#4488DF">'''Bagian 1: Si Nadir Dangkal'''</div>== {{:Bagian_1:_Si_Nadir Dangkal|Bagian 1: Si Nadir Dangkal}} ==<div style="color:#4488DF">'''Bagian 2: Ga...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bagian 1: Si Nadir Dangkal

Apa aku ini? Seringkali Willem menanyakannya pada diri sendiri.

Dulu sekali, ia tinggal dalam sebuah panti, di mana ia bertemu dengan gurunya. Guru itu mengurusi dan mengajari segala yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Guru itupun merupakan orang yang buruk. Sebagai pengurus dari panti tersebut, wajarnya ia bertindak seperti orang tua pengganti bagi anak-anak di sana. Akan tetapi, ia menolak mentah-mentah kewajiban tersebut, sehingga Willem yang sedikit lebih tua dari anak-anak lain mengambil peran sebagai 'Ayah' mereka.

Si guru selalu mabuk dan menceritakan pengalaman yang dibuat-buat semasa ia dalam Regal Brave. Meski ia kuat, ahli berpedang, dan luas pengetahuannya, anak-anak semuanya berpendapat sama, kalau ia lebih seperti anti-hero ketimbang sebaliknya.

Masih banyak keburukan gurunya yang bisa disebutkan Willem, tapi kalau dihitung-hitung, saking banyaknya, bisa saja tidak akan berakhir-akhir. Ia bersiul dengan kurang ajar pada gadis-gadis di kota, membuat anak perempuan membaca buku aneh, tidak mau mencukur kumis-jenggotnya padahal sudah disuruh oleh orang lain ― tidak pernah ada di rumah di waktu-waktu penting. Terus saja, banyak sekali. Sehingga Willem yang kala itu masih muda bersumpah tidak mau menjadi orang dewasa yang seperti itu.

Di antara banyak perkataan gurunya, kalimat ini selalu teringat oleh Willem: "Jaga wanita. Pria tidak bisa lari dari mereka. Juga jagalah anak-anak. Orang dewasa tidak bisa menang melawan mereka. Kalau lawan perempuan, siap-siap saja. Apapun yang kita lakukan, kita bukan saingan mereka." Waktu si guru mengatakannya, Willem tidak begitu menganggapnya serius. Ia tidak mau memikirkan hal merepotkan begitu. Tapi sialnya, dari sekian banyak hal yang diajari si guru, hal itulah yang justru menuntunnya hingga sekarang.

Berkatnya, terkadang Willem disangka seorang pedofil ― tapi ia tidak mau repot memikirkannya.



Tidak melakukan apa-apa bukan hanya lebih dari tepat dalam menggambarkan pekerjaan yang Willem bayangkan, tapi juga lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Coba saja, dalam tempo enam bulan, ia selalu dipaksa bekerja keras terus menerus, setelah satu kerjaan sulit dengan bayaran buruk selesai, datang lagi pekerjaan baru. Dari subuh hingga larut malam, atau bahkan sampai pagi lagi, ia bekerja sampai ia tidak bisa bekerja lagi. Untuk tidur saja, ia memilih untuk tidur di sela-sela waktu kerja, jam berapapun saat itu.

Jadi, bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk dan bangun di hangatnya mentari itu merupakan suatu kenyamanan yang tiada tara bagi Willem. Namun ia sulit beradaptasi dengan situasi barunya, yang tidak mengharuskan banyak ini-itu, yang mengharuskannya tetap terjaga 24/7. Memanfaatkan kemerdekaan ini, ia kembali mengingat saat-saat ia lebih memilih tidak acuh pada hal lain selain memikirkan sesuatu yang tidak penting untuk dipikirkan.

Willem juga masih belum terbiasa dengan rumah barunya, rumah yang disebut gudang ini. Di dalamnya ada sekitar tiga puluh anak yang tinggal di dalamnya, semuanya perempuan, dengan umur antara 7 hingga 17 tahun. Juga, merka semua punya rambut yang terang warnanya. Pola warnanya hampir seperti dari lukisan abstrak, walau begitu, bagi Willem warna-warna itu tidak terasa dibuat-buat, mungkin karena memang warna pada rambut mereka bukan dari cat rambut.

Anak-anak di sini tidak pernah berurusan dengan orang dewasa, terutama laki-laki, jadi ada yang penasaran dengan Willem, dan ada juga yang menghindarinya. Menurutnya sekumpulan anak yang kemarin datang adalah pengecualiannya. Ya memang, bukan salah mereka juga. Mereka telah diurus dalam dunia kecil ini, yang mana hanya terisolasi dalam gudang. Wajar saja kalau pendatang baru bertampang aneh lagi besar sepertinya, tidak mendapat sambutan hangat.

Berjalan di lorong, ia selalu merasakan ada sejumlah presensi yang tersembunyi dalam bayangan. Tapi setiap kali ia berbalik, ia hanya bisa melihat anak-anak yang sedang lari menyelamatkan diri. Tak lama, Willem jadi merasa bersalah karena keluar dari kamarnya dan mondar-mandir menelusuri bangunan ini.

Ya tentunya, kalau ia hanya mengutu di dalam kamarnya terus, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia tidak punya hobi, dan berlatih juga sudah tidak berguna lagi karena ia tidak perlu bertarung. Tidak masalah bagi Willem untuk sesekali duduk di dekat jendela sambil memandangi ke luar, tapi kalau sampai berbulan-bulan terus saja seperti itu, tidak akan baik baginya.

Ia memutuskan untuk merubah semua dengan mengunjungi kota-kota terdekat. Di sana berisikan sekitar seratus bangunan bata yang berjejer seperti terasering kecil yang mengelilingi desa, membentuk sebuah pemandangan indah, sangat berbeda dengan Pulau ke-28 yang suram.

Di saat ia sampai di jalanan, Willem langsung sadar tidak ada siapapun yang menganggapnya beda dan memberinya perlakuan khusus, padahal ia tidak mengenakan jubah untuk menutupi dirinya yang tak bertanda. Ia memutuskan untuk makan siang di restoran terdekat dan menanyakan si pemilik mengenai hal ini.

“Hmm…kurasa kami tidak begitu memikirkannya di sini." Jelas si manusia anjing dengan rambut coklat muda. "Membicarakan orang hanya karena tampang mereka mirip orang jahat berabad-abad lalu itu tidak ada gunanya... Kalau mau, bicarakan saja orang yang sedang berkelakuan buruk.

Dan yah, mungkin di tempat-tempat lain sangat banyak orang jahat di dalam masyarakatnya, sampai orang-orang di sana menyerah mengurusi mereka dan lebih memilih menyasar si yang tak bertanda. Akan lebih mudah begitu, karena mereka sudah didikriminasi dari sejak dulu. Tapi kita di sini tidak mau begitu, kita suka hidup dengan aman dan tentram. Tidak usah pikirkan hal itu di sini."

Jadi di sini seperti ini...

“Terus...mungkin kau tidak tahu karena bukan dari sini, di dekat sini, ada ribuan orang tak bertanda yang lebih menyeramkan daripada Emnetwyte di masa lalu. Siapapun yang melihat senyumannya akan lupa dengan kematian dan langsung bersyukur mereka masih hidup sekarang."

Hmm...

Sembari mendengar omongan sang koki dengan setengah hati dan menunggu makanannya, tiba-tiba saja Willem mendengar suara dari belakang.

“Hm? Oh, kamu…”

Wajah yang tak asing baginya menghampiri; wajah si gadis berambut biru langit.

“Hei, Kutori… dan…”

Dua gadis seumuran mengikutinya, yang mana jadi serangkai, tiga anak tertua yang tinggal di gudang.

"Ooh, si cowok ganteng yang lagi ramai dibicarakan!" Seorang gadis dengan rambut warna emas muda datang dengan berlari dan menempatkan wajahnya tepat di muka Willem. "Terus, kamu menyapa Kutori dengan nama depan? Hmm, sejak kapan kalian jadi dekat, nih?"

“Berisik."

“Siaaap." Balas dia terhadap respon dingin Kutori.

“Kami tidak punya hubungan apa-apa, kok… kebetulan saja aku bertemu dengannya lebih dulu dari yang lain, jadi aku sempat berkenalan dengannya lebih dulu… itu saja, kok."

“Hmm… terserah kamu, deh."

“Aku jujur, lho."

“Oke, oke. Jadi, Pak Teknisi Senjata Terkutuk, aku senang kalau kamu bisa mengingat nama kami juga… cewek berisik yang lagi bicara ini namanya Aiseia, dan itu--" Dia berbalik dan menunjuk pada perempuan ke tiga, yang sedang duduk di meja pojokkan dengan air muka yang kosong. "Si cewek yang lagi mikir sendiri di sana namanya Nephren. Senang kenalan denganmu."

“Baiklah, itu cara memperkenalkan orang yang kreatif… kau sudah tau namaku, 'kan?"

“Iya, dong! Terus, makanan kesukaanmu itu daging pedas, kamu juga tidak begitu pilih-pilih soal makanan, tapi kamu tidak suka makanan yang dihidangkan Reptrace untuk makan siang, dan kamu juga sukanya sama perempuan berhati emas yang lebih tua dari kamu… aku benar, 'kan?"

“Tunggu, Aiseia… Aku baru tahu, lho, informasi soal ini." Sepertinya Kutori tidak diberitaukan oleh anak-anak yang empat kemarin, dan dia mengarahkan matanya pada Aiseia dengan rasa curiga.

“Hehehe… barangsiapa menguasai informasi, maka ia menguasai pulau juga. Sedikit memata-matai saja bisa berguna banget, tahu… Coba cerita lagi, dong!”

Dengan penuh semangat saling tanggap-menanggapi perkataan, mereka berdua berpindah menuju ke tempat Nephren duduk.

“Tunggu, ada apa ini? Kau berteman dengan anak-anak dari gudang?" Si spesies berkepala anjing, Lucantrobos muda tadi, datang menyajikan pesanan makan siang Willem; kentang bakar, sayur-mayur, daging bakon, segenggam kecil roti, dan terakhir, semangkuk sup.

“Ya… aku baru pindah ke gudang untuk bekerja."

“Hmm? Tinggal… di gudang…” sontak saja warna coklat muda dari rambut si koki tadi memudar. "AHHH!!" Dengan kecepatan luar biasa, si pemuda tadi mundur merapat tembok sambil gemetar. "M-Maaf! Tolong jangan bunuh aku jangan makan aku aku masih punya keluarga untuk kunafkahi!"

Itu reaksi yang tak terkirakan, namun Willem mengerti kenapa terjadi kesalahpahaman di sini.

“Aku ini bukan troll…"

“Aku saja masih berhutang karena restoran ini jadi aku pasti rasanya tidak enak dan -- eh? Apa kau bilang?"

Si Lucantrobos menghentikan gerakkan memohon-mohonnya untuk sesaat dan tercilap-cilap.

“Aku bilang aku bukan troll… sulit memang untuk mencari perbedaan ras yang tak bertanda, tapi aku tidak akan memakanmu, jadi santai saja...”

“T-Tapi, aku yakin rasmu pasti sama dengan mereka karena kau tinggal seatap dengan si 'Perut Merah'."

“Tunggu… memangnya di kota ini pernah ada yang dimakan?" Melihat raut ketakutan si pemuda, Willem hanya bisa mengira kemungkinan yang begitu kelamnya. Kalau benar… buruk, pasti. Meski masing-masing pulau punya budaya yang variatif, mereka semua terikat oleh aturan yang sama. Dan berdasarkannya, setiap pembunuhan terhadap makhluk berakal merupakan kejahatan yang serius, bahan untuk troll kelaparan sekalipun.

"Itu… tidak pernah… tapi…” telinga anjing si pemuda jatuh. "Belakangan, ada organisasi Orc gelap di sini. Namanya 'Bulu Hitam'... organisasi ini--”

“Ah, cukup… aku sudah mengerti.”

Willem yakin organisaasi ini telah melakukan sesuatu pada perempuan-perempuan di sana, hingga Naigrat datang untuk memusnahkan mereka dan orang pun melihatnya tertawa seperti psikopat dengan berlumurkan darah. Tidak mengejutkan… sudah pasti dia akan melakukan hal yang seperti itu. Dan, yah… Naigrat pernah membantu Willem di masa lalu, dia adalah kenalan yang sekarang menjadi teman kerja, jadi ia rasa ia perlu coba membantunya.

“Naigrat tidak seenaknya memakan seseorang. Orang keliru menanggapinya… atau tepatnya takut karena saat itu sedang begitu, tapi dia hanyalah wanita biasa dengan watak baik. Dan begitulah, jika kau toleransikan ketidaksabarannya atau keinginannya untuk memakan orang… tidak ada yang perlu ditakutkan."

Biasanya, jika dia tersenyum dan bertanya "Boleh aku memakanmu?", 90% kemungkinan, itu adalah candaan... candaan yang menyeramkan. Tapi kau sendiri sadar kalau dia tidak berniat memakanmu, jadi tidak perlu takut. Willem memilih untuk tidak begitu menghiraukan yang 10%.

“Wah… kau hebat." Tidak tau kenapa, si koki menatap Willem dengan penuh rasa hormat di matanya.



Senjata terkuat. Berdasarkan sejarah, kapanpun dan di manapun, selalu saja wanita. Kalau kamu coba pikir, tentu wajar saja. Wanita adalah cara termudah dan terkuat untuk meningkatkan moral setiap tentara, itu merupakan fakta dari sejak zaman kuno.

Harga diri seorang lelaki tidak bisa dianggap remeh. Di medan perang, di tengah-tengah kekacauan dan pertarungan hidup-mati yang tiada henti, para tentara menyingkirkan semua bayang-bayang kemenangan, mimpi bisa berkuasa, hingga martabat mereka… namun hingga hembusan nafas terakhirnya, mereka tidak mau melakukan satu hal: mereka tidak mau terlihat jelek di hadapan wanita. Alasan sepele seperti itu saja bisa menanamkan semangat terbesar pada tentara yang sudah bobrok nan hanya mampu menunggu waktu kematiannya.

Setiap tentara hebat tau persis akan hal itu dan memastikan untuk tetap memasukkan beberapa wanita dalam garangnya medan perang. Unit penyuplai atau unit medis bisa memberikan efek tersebut, tapi mereka yang berposisi lebih dekat ke lini depan akan memberi efek yang lebih. Seorang ksatria wanita yang mengangkat pedangnya dengan cekatan di medan perang, misalnya. Contoh lain, wanita kaliber dari Regal Brave yang dipilih oleh Kaliyon. Atau juga seorang penyihir yang menyembunyikan sihir misterius dalam tubuh lembutnya.

Hanya dirumorkan saja kalau orang seperti itu ada di medan perang, para tentara dungu akan langsung semangat. Bahkan cerita seperti orang yang seperti itu dari masa lalu yang sangat sukar dipercaya bisa memberikan secercah harapan dalam situasi penuh keputusasaan.

Willem kenal seorang gadis yang pernah dipuja-puja sebagai pahlawan dan dianggap sebagai legenda di kalangan tentara-tentara. Tentunya, dia sangat kuat, tapi para lelaki menanggapi kekuatannya dengan hiperbol. Dia sendiri pasti hanya akan tertawa saat mendengar ceritanya yang tersebar di medan perang.

Kamu tidak perlu susah-susah memikirkannya. Sama seperti kedengarannya. Kami adalah senjata tersebut.

Kata-kata itu kembali tersiar di kepala Willem. Sepertinya anak-anak yang bermain di gudang sana dibedakan dari perempuan-perempuan lain. Tentu, seorang penyelamat yang dibuat untuk menaikkan moral para tentara haruslah dalam ras yang terkenal, bukan yang tak bertanda. Juga, dia harus memikat hati para pria yang penuh noda.

Ada yang salah dengan anak-anak itu, yang bukan hanya diasingkan dari massa, namun juga umur mereka yang masih belia. Keadaan mereka jelas sangat berbeda dari para petarung berkelamin perempuan yang Willem ketahui. Tapi apapun itu, ia tidak perlu memedulikan kenyataan di balik fakta bahwa mereka semua adalah senjata-senjata rahasia. Sebagai nadir dangkal, ia hanya perlu berdiam di gudang tanpa harus membuat masalah.

-- Begitulah yang Willem coba yakinkan pada dirinya. Setelah sekitar tiga hari berlalu, kesabarannya sudah sampai batas kendalinya. Perasaan ganda saat melihat anak-anak ketakutan dan sadar betul kalau ketakutannya berasal dari diri Willem sendiri memaksanya untuk bertindak.

“Hm? Ah, boleh… kurasa boleh saja...”

“Terima kasih banyak."

Willem meminta untuk membantu mengurusi makan malam hari itu dan mengisi sudut dapur sana. Telur, gula, susu, dan krim. Beberapa buah beri. Sebuah tulang ayam untuk diambil gelatinnya. Saat mengatur-ngatur setiap bahan-bahan penting di meja, Willem mengingat langkah-langkah akan resep kemahirannya dalam 'menjadi populer dengan anak-anak dan cara mudah memasak hidangan penutup'.

Saatnya bekerja. Ia mengenakan apron dan menghidupkan kompor kristal. Telinganya menerima bisikkan-bisikkan para mata-mata yang memenuhi kegelapan bayangan sana, yang mengintip masuk ke dapur.

"Apa yang ia lakukan?"

Masuk ke dapur di waktu tidak sedang bertugas memasak sangatlah dilarang, jadi kita hanya bisa mengintip saja dari kejauhan. Sambil memikul beban karena dilihat oleh banyak mata dari belakangnya, Willem terus bekerja.

Setelah tinggal berhari-hari, ia akhirnya berkesimpulan kalau setiap anak memiliki kegemarannya masing-masing. Tentunya, perbedaan jenis kelamin dan umur bisa memberikan preferensi yang berbeda, tapi ketidak selarasan ras sehingga fisik pun berbeda membuat semakin sukar semuanya.

Dulu, Willem pernah makan bersama seorang Borgle (ya… Grick). Pengalaman itu tertanam dalam diri Willem selamanya. Saat Willem mengatakan bahwa sesuatu itu enak, Grick malah mengeluhkannya karena rasanya busuk, dan waktu Grick mengatakan sesuatu itu enak, bagi Willem rasanya itu mendebarkan seperti mimpi buruk.

Mereka seharusnya berhenti sampai sana, tapi Grick memaksa kalau mereka harus menemukan sesuatu yang disukai oleh kedua belah pihak. Dan mulai dari sana, hari-hari mereka pun semakin mengerikan dan menyeramkan lagi, lebih menyeramkan dari mimpi buruk atau neraka manapun. Semua itu pun berakhir setelah mereka berdua dalam keadaan mengenaskan meneguk banyak air untuk mencuci mulut mereka, tangisan pun tak luput mengalir dari mata mereka, sambil dengan syahdu meneriakkan "enak! enak!".[1]

Tapi Willem menyadari kalau selera anak-anak lain tidak akan begitu berbeda, karena toh mereka bisa duduk bersandingan dan memakan makanan sama. Ia memanggil si perempuan yang mengurusi makanan hari ini untuk menyicipi makanannya. Dia menatap tajam sesendok penuh karamel seakan-akan dia baru saja melihat alien di jalan, hingga setelah keberaniannya memuncak, dia menutup kedua mata dan memasukkan ujung sendoknya ke dalam mulut. Setelah hening sesaat, si gadis perlahan membuka matanya dan menggumamkan "Enak!" Sorakan tak bersuara pun timbul dari para mata-mata.

Pada akhirnya masakannya berakhir dengan baik. Si anak-anak yang memesan 'hidangan penutup spesial' dari menu pun bereaksi sama. Mereka mengangkat sesendok penuh karamel tadi dengan tampang yang seperti mau menemui ajalnya. Setelah terdiam sesaat, kafeteria itu pun dipenuhi mata berminar-minar.

Willem yang sekarang mendapat giliran untuk bersembunyi dalam bayangan dan memata-matai yang lain, memasang pose kejayaan dari luar ruang makan. Dan begitulah, hanya butuh sedikit gula untuk Willem memikat perut anak-anak.

“... Kamu sedang apa?"

Ungkapan tak sehati keluar dari mulut Naigrat di belakang.

“Aku dapat resep ini langsung dari guruku. Aku benci mengakuinya, tapi ia sangat disukai oleh anak-anak… dan inilah buktinya. Dulu, aku berkali-kali jadi korban hidangan ini."

“Uh, bukan begitu. Meskipun kamu memutuskan untuk menambah kerjaanmu di sini, bayaranmu tetap segitu saja, lho."

“Bagiku tidak masalah." Willem menggarukkan wajahnya. "Aku merasa tidak enak saja mereka takut padaku. Kalau anak-anak ini senjata, maka sebagai pengurus mereka, aku tidak sepantasnya memberikan rasa stres s pada mereka. Jadi ini itu… bagaimana ya…”

Ia berusaha mencari kata-kata yang pas. Ia tidak yakin kalau kata-kata yang keluar dari mulutnya itu bisa dicerna. Tapi Willem merasa ia harus mengatakan sesuatu.

"Aku bukan mau memanjakan mereka. Ini hanya… kalau aku di sini mendapat respon negatif dari mereka, maka aku ingin mengembalikan respon tersebut ke nol lagi. Tidak mempengaruhi apapun juga termasuk pekerjaanku, 'kan?"

“Kalau begitu… ya sudah." Naigrat menyipitkan mata. "Tapi… anehnya kamu bilang begitu dengan cepat, seperti dibuat-buat, dan kamu kelihatan berusaha keras supaya kamu tidak kelihatan memalukan.... Tapi kalau kamu memang serius, ya aku tidak akan mengoceh lagi."

Kata-katanya tepat mengenai kenyataannya.

“Maaf, tolong jangan tanya lagi soal itu, aku mohon."

“Waktu aku pertama bertemu denganmu, aku kira kamu orangnya apatetis dan sinis begitu."

“Ah… yah…” Willem pun berpikiran begitu. Ia pernah memutuskan untuk hidup menjadi seseorang yang terisolasi dari orang-orang dan setiap kejadian di sekitarnya. Jadi ia sendiri terkejut akan tindakannya barusan. “Aku sedikit teledor… mulai sekarang aku akan lebih hati-hati."

“Selama anak-anak pun senang, tidak masalah bagiku… pun, itu bukan hal yang buruk. Terus juga...”

“Apa?"

“Sekarang kamu lebih enak harumnya daripada harum gula di sini."

"Mulai sekarang aku akan benar-benar berhati-hati…”

Willem mencatat pada pikirannya untuk selalu mandi setelah beres dari dapur.









Bagian 2: Gadis-Gadis Gudang

Kutori Nota Seniolis adalah seorang peri. Tahun ini umurnya lima belas dan menjadikan dia sebagai perempuan tertua yang ada di gudang, plus menjadi tentara peri yang sudah matang. Saat dia sudah dipastikan mampu dengan 'Senjata Galian'[2] dia diberikan pedang Seniolis, yang namanya kini dia pikul.

Cahaya biru muda mengisi rambut dan matanya, namun dia tidak begitu menyukai warnanya, karena dua alasan. Pertama, seperti halnya rambut peri-peri lain, terlalu mencolok saat berjalan di khalayak umum. Kedua, dan yang jadi poin utama, jadi tidak cocok dengan pakaian berwarna cerah.

“... Mereka ini sedang apa, sih?"

Kutori yang duduk di samping jendela ruang baca melihat ke luar dan menggumamkannya. Lahan terbuka kecil dari hutan membentang di depan matanya. Para peri muda sedang bersama seorang pemuda berbadan tinggi yang dengan antusias mengejar-ngejar sebuah bola. Willem yang kini sudah membaur dengan kehidupan di gudang meski memiliki perbedaan umur, jenis kelamin, dan bahkan ras, baru disadari oleh Kutori sekarang.

Hidangan penutup kemarin telah berperan sebagai katalisnya. Ketika si anak tau kalau ia yang membuatnya sendiri, kecurigaan mereka padanya pun langsung roboh seketika. Lalu, tanpa Kutori sadari, mereka pun akrab dengannya, dan permainan bola yang kini dilihatnya adalah bukti itu.

“Dasar… ia ini apa-apaan, sih?"

Waktu mereka bertemu untuk pertama kali, Willem dianggap Kutori sebagai seorang yang misterius; Ia sangat baik padanya, yang hanya orang asing dan menjengkelkan juga diselubungi bayangan kelam.

Terlebih, ia tinggal di kota penuh monster, sementara ia sendiri tak bertanda.

Di kala mereka bertemu lagi, salah satu anak, Panival, telah menimpanya di hutan. Setelah dipikir-pikirnya lagi, Willem juga sudah ditimpa oleh Kutori setelah dia terjun. ​Semoga ia tidak suka yang begituan… dia memikirkan kemungkinan itu untuk sesaat, tapi kemudian merasa malu dan menghilangkan pikiran itu dari kepalanya.

Dan terakhir… ia selalu baik pada anak-anak. Mau anaknya berisik, mengganggu, merepotkan, memaksa masuk ke dalam kamarnya, ia tetap bicara dengan senang pada mereka tanpa sedikitpun ada keluhan atau kekesalan dari mukanya dan bahkan sikapnya pun masih sama pada Kutori yang datang tak lama setelah mereka.

Sikap yang sama? Kata-kata itu merasuki pikiran Kutori, menyangkut hingga menghentikan jentera pikirannya. Apakah Willem memandang semua sama? Apakah ia menganggap Kutori Nota Seniolis yang sudah lima belas tahun, matang, dewasa, dan penuh tanggung jawab, sama seperti anak-anak sepuluh tahun yang belum dewasa itu? Dia tidak mau menerimanya.

Terlebih, ia -- Willem Kumesh, si Teknisi Senjata Terkutuk Kelas Dua -- tidak begitu jauh umurnya dari Kutori. Walaupun aura misteriusnya bisa menipu, dia menebak-nebak kalau umur Willem masih kurang dari dua puluh. Dengan begitu, perbedaan angka usia di antara mereka mungkin hanya tiga-empat tahun, sehingga mereka pun terkadang masih melakukan kesalahan-kesalahan kecil karena labil. Dengan umur itu tidak sepatutnya ia menganggap dia sebagai anak-anak.

Atau mungkin itu semua karena perbedaan tinggi mereka. Namun, masalah masih tetap runyam. Kutori Nota Seniolis sekarang ini menyandang gelar sebagai peri tertinggi dari setiap peri yang ada di gudang. Dia memperkirakan kalau dari sudut pandang Willem yang lebih tinggi, dia masih kelihatan hampir sama tingginya dengan peri lain. Menyandingkan dia dengan Naigrat yang lebih tinggi tentunya tidak akan menyelesaikan apapun. Apalagi--

“Kamu lihat-lihat apa, hei?"

“Ah!” Karena tiba-tiba dapat pelukan dari belakang, sontak Kutori pun berteriak dengan suara tak biasa.

“Hei, jangan begitu!"

“Haha, maaf maaf. Kamu dari tadi diam saja, sih."

"Alasan yang aneh…”

Seusai menyingkirkan tangan yang mengalungi lehernya, dia berbalik melihat Aiseia berdiri dengan senyum biasa.

Aiseia Myse Valgalis juga merupakan peri. Di umur empat belas tahun, seperti Kutori, dia sudah dianggap sebagai tentara peri yang sudah matang dan juga sudah dipastikan sanggup dengan Senjata Galian. Seperti Kutori, nama belakangnya, Valgalis melambangkan pedangnya. Rambutnya seperti padi yang sudah matang dan bermata coklat kayu sipit. Pada wajahnya selalu tertampilkan ekspresi senyum hangat dan ramah.

“Ia cowok yang populer ya… baru datang tapi kayak sudah tinggal lama di sini. Tahu tidak? Permainan bola yang mereka lagi mainkan itu ia yang ajarkan… bisa langsung banyak orang yang memainkannya, dan bahkan anak-anak yang olahraganya payah pun bisa ikut."

"Hmm… begitu.”

“Kamu penasaran ya? Sama cowok itu?"

“Yah…”

Semua yang ada dalam gudang ini sangat wajar saja untuk penasaran pada Willem. Ke manapun ia pergi, ia selalu kelihatan mencolok.

“Topi barumu."

Perubahan topik pembicaraan saat melamun membuat Kutori terkejut hingga hampir jatuh dari kursi.

“Kamu betul-betul merawatnya, ya? Sampai-samapi kamu simpan di lemari dan tidak kamu pakai-pakai, kondisinya juga bersih dan masih bagus."

“B-Bukan begitu! Topi itu cocok saja untuk jadi alat penyamaran waktu aku tinggalkan pulau… aku tidak perlu memakainya di sini! Kamu juga kenapa, sih, membicarakannya sekarang?"

Dengan seringaian lebar Aiseia melihat Kutori. "Hmm?"

“Apa?!”

“Tidak, tidak. Cuma, reaksi kamu tadi berkata banyak, lho."

“Jangan aneh-aneh. Orang ya reaksinya begitu kalau kaget."

"Masa?"

Saat Aiseia terus menginterogasi dia, segulung kertas tiba-tiba menghantam kepalanya.

“Tolong tetap tenang di ruangan membaca."


Nephren Ruq Insania berdiri dengan wajah khasnya yang tanpa ekspresi. Tentunya, dia peri juga, tapi tidak seperti mereka berdua, umur Nephren hanya tiga belas tahun dan belum jadi tentara peri yang matang sampai musim panas tahun ini. Rambutnya kelabu dengan mata hitam arang. Posturnya lebih pendek jika dibandingkan dengan peri lain, sampai bisa-bisa dia tenggelam dalam kerumunan anak-anak. Wajah ekspresi khasnya selalu tertata rapi setiap waktu; Kutori belum pernah melihat dia senyum ataupun marah.

Setelah melihat ke sekeliling, Kutori melihat kalau ruangan membaca hanya diisi oleh tiga orang yang berdiri di dekat jendela.

“M-Maaf…”

Nephren duduk di kursi sebelah Kutori yang lagi meminta maaf. "Jadi, ia orangnya bagaimana?”

“Katanya suruh tenang…”

“Boleh saja selama suara kita pelan.”

“Jadi boleh, nih ya, kita bicara terus? … kamu tertarik juga sama ia, Ren?"

“Tidak begitu." Dia menatap ke luar jendela. “Aku hanya merasa ia orangnya misterius.”

Kutori jadi merasa sedikit lega karena tahu bukan hanya dia yang menganggap Willem begitu. Jika ia hanya sebatas orang baik dan riang, mereka tidak akan begitu penasaran. Ia sangat dekat dengan anak-anak, tapi juga ia seperti membatasi hubungannya. Ia kelihatan senang, tapi kelihatan kesepian jua. Ia berbaur dengan kehidupan dalam gudang, tapi terkadang melamun sendiri, seakan pikirannya ada di tempat nun jauh.

Jadi Kutori tertarik dengannya. Dia jadi penasaran dengannya.

“... Kutori, tinggal berapa hari lagi?"

Pada pertanyaan ambigu itu, dia tau betul apa yang dimaksud Aiseia. Dia menggunakan kalender di kamarnya untuk tetap ingat, jadi tentu dia bisa menjawabnya.

"Sepuluh hari."

“Hmm… kira-kira bakal cukup atau tidak ya…?”

“Kalian membicarakan apa?"

"Tentunya masalah tenggang waktu kita untuk memenuhi mimpi-mimpi cinta Kutori!" Kepala Kutori menghantam meja karena kaget.

"Kutori, tolong tenang di ruang membaca."

“M-Maaf -- bukan begitu! Kamu ini bicara apa, Aiseia!?"

“Ahaha, jangan malu begitu. Banyak, lho, peri yang hidupnya tidak sampai lewat pubertas, bisa merasakan cinta itu sungguh beruntung sekali, tahu."

“A-Aku tidak menganggapnya seperti itu."

“... Oke. Aku akan cari cerita pernikahan berbeda ras. Bisa saja ceritanya beguna."

“Ren!? Aku tidak butuh, kok!"

“Kutori, tolong tenang di ruang membaca."

"Kamu tahu yang bikin aku teriak-teriak!”

Sesaat dia pun mencoba tenang. Di luar, bolanya dilempar tinggi oleh seseorang, kembali turun, membentuk lengkungan luas di langit.

“... Serius, aku tidak butuh apa-apa, sudah cukup, ya. Aku sudah berhasil menyerah pada banyak hal… tidak mau aku menumbuhkan penyesalan lagi sekarang." Ucap Kutori dengan suara lembut yang sukar terdengar.

“Begitu ya." Aiseia mengerahkan satu tawaan sedih yang terakhir, lalu memandang ke luar tanpa bicara apa-apa lagi.

Nephren mengangguk pelan, lalu tanpa bersuara, kembali membaca buku di tangannya.

Seminggu kemudian.

Willem mulai merasakan perasaan yang tidak enak mengenai pekerjaannya. Saat ia berjalan di lorong untuk mencari alasan kenapa ada yang tidak beres, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang.

“Willem!!”

Dua kaki menghantam punggungnya, momen kedua kaki tersebut diperkuat dengan lompatan yang sangat tepat momentumnya.

Meskipun besar tubuh mereka jika dibandingkan sangat berbeda jauh, serangan anggun tadi hampir memaksa Willem mencium tanah. Sebelum ia kembali berdiri lagi, tangan-tangan kecil dengan cekatan melingkari lehernya sebaga teknik untuk mengunci.

"Kena!"

“Ahh! Bukan, bukan! Bukan itu yang aku maksud!"

“Hasil akhirnya membenarkan maksudnya."

“Betul, asalkan ia tidak bisa kabur, maka bukan masalah."

"Ya masalah, dong! Kita, kan, yang mau minta tolong sama ia."

"Memaksa sebelum meminta adalah sebuah strategi dasar."

“Itu sih kalau mau membunuh!"

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

“Kamu harusnya tidak mengulangi kata-kata yang itu!"

Pundaknya dipelintir dengan nyaman ditambah suara tulang-tulang yang bersinggungan, dan Willem langsung memahami situasi sekarang. Si bocah-bocah penuh semangat mengelilinginya.

"Halo, kalian butuh sesuatu?"

"Ya, ya. Kami ada urusan denganmu."

"Kami ingin membaca buku, ayo ikut!"

“S-S-Sudah kubilang jangan mengunci sendinya kalau mau minta tolong!" Willem sangat setuju dengan ungkapan si anak itu.

“Kalian ingin aku membacakan buku-buku berat? Maaf, tapi aku bukan pembaca dan penulis terbaik."

"Eh? Kamu teknisi, 'kan? Kamu pintar, 'kan?"

“Oh, aku super pintar. Aku bisa membaca literatur kuno dari 500 tahun yang lalu dengan mudah!"

Anak-anak pun tertawa pada kata-katanya yang dianggap guyonan dan menarik lengan baju Willem.

“Kami juga bisa membacanya. Kami cuma mau kita duduk sama-sama."

"Ya, soalnya ini cerita dari jaman dulu, jadi serem kalau cuma kami doang."

“Yah aku tidak takut atau apa, anak-anak ininya saja."

“H-Hey, jangan sok dewasa!"

Seperti biasa, anak-anak mengoceh sebebasnya sambil terus menyeret Willem ke suatu tempat.

"Cerita dari jaman dulu?"

"Cerita dari Emnetwyte!"

Tiba-tiba Willem merasa pening karena mendengar nama itu. Perasaan dejavu menghantuinya, dan pikirannya mulai tenggelam kembali ke masa lalu. Pemandangan di sekitarnya, yakni gudang di Pulau Ke-68, berubah menjadi panorama panti lama. Visinya ini membangkitkan ingatannya dulu, si anak tertua yang diurus di sana, sedang mengurusi anak-anak lain.

Willemmm!!

Ayah, kamu mengacau lagi?

Suara yang Willem tidak ingin ingat pun terdengar dalam kepala. Ia sadar bahwa ia melupakan sesuatu yang penting: alasan kenapa ia memutuskan untuk tinggal di Pulau menjijikkan itu, Pulau Ke-28. Sangat tidak nyaman di sana. Hidup sulit. Tidak ada yang mau menerima karena tak bertanda. Tak ada orang yang memberikannya tempat yang bisa ia sebut rumah.

Namun karena itulah ia tinggal di sana. Ia tidak perlu ada di mana-mana. Meskipun ingin kembali ke rumah, harapan itu tidak akan pernah terwujud. Setelah tinggal di tempat sampah pulau itu, ia tidak pernah lupa kenyataan itu. Ia hanya terus memikirkan kenyataan pahit setiap harinya.

Namun tempat ini kelihatan terlalu mirip. Ia selalu meyakinkan dirinya kalau ini bukanlah rumah. Ia tidak seharusnya memakai seragam tentara hitam yang tidak muat ini. Tanda di lencana pada pundaknya tidak berarti. Ia hanya akan tinggal di sini selama beberapa bulan. Jadi semua akan baik-baik saja. Ia tidak akan lupa atau mengkhianati tempat itu.

"Willem?"

Sebuah suara mengembalikannya ke masa kini.

"Ah, aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur semalam. Jadi ini cerita Emnetwyte yang mana?"

“Pada zaman duluuuu sekali, mereka ada di sana! Di tanah bawah sana!"

Anak-anak mulai bersuara. Pada buku bergambar yang mereka baca sebelumnya, tertulis kalau makhluk menyeramkan yang dikenal dengan Emnetwyte mengisi tanah. Dan karena mereka, para Orc terpaksa tinggal di tanah gersang, hutan-hutan berharga milik Elf dibakar, para Reptrace dipaksa keluar dari air tempat tinggal mereka, kedamaian para Lucantrobos dirusak, harta para Naga dijarah habis. Dan ketika para Pendatang turun untuk memberi hukuman pada mereka, Emnetwyte langsung bertindak sendiri dan membunuh dewa-dewa. Hingga akhirnya, mereka memanggil keluar '17 Makhluk Buas' dari suatu tempat dan meledakkan diri, membawa setiap hal yang ada di tanah bersama mereka.

"Serem, ya?"

Waktu diceritakan begitu, ceritanya tentu menyeramkan. Itu membuatmu terheran-heran kenapa Emnetwyte bisa jadi monster bengis seperti itu.

"Yah ini hanya buku bergambar, jadi bisa saja salah, lho."

“Tapi katanya ini realita."

"Semua juga katanya begitu."

Anak-anak pun saling melihat satu sama lain.

“Tapi kalau begitu, apa cerita soal Brave juga bohongan?"

"Aku harap bukan," gumam si perempuan berambut ungu. Yang lain pun mengangguk setuju.

“Mungkin ada bagian yang benarnya… memang apa salahnya kalau Brave tidak ada?"

Untuk kedua kalinya, anak-anak itu saling memandang muka.

“Karena… kami juga anggota Brave?"

Willem tidak mengerti. Mereka takut pada Emnetwyte, namun mereka mau menjadi simbol ras itu. Memang, saat itu Brave merupakan semacam senjata juga. Mungkin karena itulah anak-anak ini, yang merupakan senjata jua, merasa dekat dengan para ksatria kuno itu.

“Ngomong-ngomong, um… Pak Willem." Salah satu anak dengan kalemnya berkata, "Itu tidak sakit?"

Setelah dengar pertanyaan itu, rasa sakit di pundaknya tiba-tiba saja kembali, mengingatkan padanya kalau ia belum lepas dari kuncian pada sendinya.













Bagian 3: Gudang Peri

Kutori tidak pernah menyukai dia. Dia selalu menyebut dan menganggap Kutori sebagai adiknya. Tentunya, peri, yang mana tidak lahir dari rahim seorang ibu, tidak akan memiliki adik atau saudara sekalipun. Namun bagi dia, alasan hubungan adik-kakak itu dikarenakan mereka berasal dari hutan yang sama di pulau melayang yang sama pula, atau alasan lainnya adalah karena dia sudah ada lima tahun lebih dulu dari Kutori. Membawa-bawa bukti-bukti nyata ini hanya akan membuat Kutori makin tersinggung.

Dia juga berkemampuan hebat dalam mengendalikan Senjata Galian, yang mana merupakan hal lain yang Kutori tidak sukai. Kutori pernah melihat dia terbang untuk bertarung hingga menampakkan pedang agungnya, lalu kembali pulang dengan senyum lebar pada mukanya. Saat pulang, dia akan menerobos masuk ke ruang makan dan langsung menyantap kue mentega yang merupakan salah satu menu ketika itu dengan muka yang penuh kebahagiaan.

Pernah di satu waktu, Kutori, si muda nan lugu, menanyakan sesuatu padanya.

“Kenapa kamu selalu memakai bros itu? Padahal itu, kan, tidak cocok untukmu."

“Ahaha kamu terlalu jujur, Kutori. Kakakmu ini bisa menangis, tahu."

“Kamu bukan kakakku..."

“Ehh? Ya aku pun tidak bisa dianggap adikmu."

“Maksudku, kita ini bukan saudara."

Setelah mereka saling bercanda seperti biasa, dia akhirnya kehilangan senyumnya.

“Aku pernah punya kakak juga. Aku ambil bros ini darinya."

"Kamu ambil? Tidak dia kasih?"

“Ini, kan, benda berharga punya dia. Dia selalu memakai dan menjaganya dengan baik, jad kalau aku minta dia, dia tidak akan mau kasih." Kini Kutori menganggap dia malah lebih jahat dari sebelumnya, mencuri benda penting dari seseorang, tapi seperti biasa, dia hanya tertawa melihat tatapan Kutori yang seakan menyalahkan dia. "Aku mau menantang dia demi mendapat bros ini. Seperti tanding nilai dalam latihan, atau kontes makan, atau main kartu. Aku selalu kalah. Tapi, aku terus menantang dia karena seru rasanya."

Kutori bisa menerawang akhir cerita ini. Jika Kutori tidak mengenal kakak dari orang yang menganggap dirinya kakak Kutori, ini berarti dia sudah pergi dari saat Kutori sudah ada. Kutori terdiam, tidak ingin menanyakannya, tapi ekspresinya sudah menyatakannya.

Si 'kakak' menepuk punggung Kutori. “Yah, akhirnya, sih, aku mendapatkannya. Di satu hari, dia pergi menuju pertempuran tanpa brosnya. Dia taruh saja di meja kamarnya, dan sekarang jadi punyaku." Dia tertawa, meskipun Kutori tidak mengerti apa lucunya cerita itu. "Memang jelek, sih, jadinya kalau aku yang pakai… tapi aku merasa aku harus memakainya."

Sekali lagi, Kutori tidak pernah menyukainya. Tapi jika dilihat lagi, dia mungkin tidak begitu buruk. Jadi di hari dia tidak kembali pulang dari medan tempur, Kutori menuju kamarnya. Di balik kamar yang tak terkunci, terhimpun pakaian dalam, kartu-kartu untuk bermain, dan benda-benda lain yang teracak-acak. Di tengah-tengah kekacauan itu, hanya mejanya saja yang bersih rapi. Sebuah bros perak berada tepat di tengah-tengahnya.

Dari beberapa hari kemarin, Willem tidak bertemu dengan beberapa peri. Kutori, Aiseia, dan Nephren. Semua peri-peri yang sudah berumur tampaknya menghilang ke suatu tempat. Setelah sedikit memikirkannya, ia yakin kalau pasti ada suatu rutinitas khusus yang terjadi dan memilih untuk tidak begitu memikirkannya. Tanpa banyak cakap lagi, ia menerima keadaan ini.

Tanahnya masih basah karena hujan pagi tadi. Tim merah, yang mana telah berjuang keras di setengah pertandingan pertama, sekarang mulai bermain menyerang. Berkibar semangat mereka dan berkeputusan langsung men-smash bola langsung ke muka kapten tim putih di setengah laga sisa.

Angin kuat tiba-tiba berhembus ketika bola masih di udara, mengarahkannya menuju semak belukar. Si anak yang mengejar merupakan orang yang pantang menyerah dan yang tidak mempedulikan kakinya ketika melihat langit. Hanya ada satu kemungkinan dengan adanya semua hal itu. Karena bertekad kuat untuk menangkap targetnya, si anak berakhir jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalamnya.

“Hei! Kau tidak apa-apa!?"

“Aduh awal... gagal."

Jatuhnya tadi cukup parah sampai ada luka serius pun tidak akan mengejutkan, jadi ketika si anak langsung tertawa ketika berdiri, Willem langsung mendesah lega. Sesaat kemudian, ia terdiam ketakutan. Luka sobek yang dalam tampak di paha kiri si gadis, dan lengan kanannya tertusuk oleh ranting tipis. Beruntungnya, ditilik dari jumlah darah yang keluar, tidak ada urat nadi yang putus, tapi itu bukan luka ringan yang biasa didapat seorang anak perempuan.

“Ini kelihatan parah. Kita harus mengobatinya sekarang."

"Ehh? Aku enggak apa-apaaa," jawab acuh-tak acuh si gadis. "Ya, ayo main lagi! Kita hampir bisa membalas mereka!"

Willem tidak bisa percaya dengan apa yang baru ia dengar. Mungkin lukanya tidak seserius kelihatannya. Tapi betapapun ia memeriksanya, ia hanya yakin kalau luka-luka itu harus segera disembuhkan, atau hidup anak ini dalam bahaya.

“... Tidak sakit?"

“Sakit. Tapi kami lagi semangat-semangatnya!" Dengan semangat sambil senyum dia berkata begitu, dan memberi isyarat pada Willem untuk kembali bermain.

Akhirnya ia mengerti. Seperti yang dia katakan, sakit memang, dan mungkin sangat sakit. Anak ini ― dan yang lain, yang tidak merasa aneh dengan sikapnya ― tidak acuh pada luka. Merinding. Ia merasa seakan sedang dikerumuni oleh makhluk misterius nan asing. Atau bukan, bukan hanya merasa, tapi memang kenyataannya, kenyataan yang baru ia mengerti sekarang.

"Permainannya berakhir."

Suara-suara keluhan keluar dari mulutnya, tapi Willem tidak peduli dan langsung menuju ke dalam gudang dengan si anak itu di tangannya.

"... Kenapa yang muram di sini bukannya si yang luka, tapi malah yang membawanya?" Dengan pakaian biasa yang ditutupi oleh gaun putih, Naigrat bertanya begitu pada Willem.

Anak itu berbaring di kasur yang ada dengan bekas lukanya ditutupi oleh perban sambil berkomat-kamit mengenai serunya permainan tadi.

Dengan postur sama, ia tanya Naigrat dengan harap mungkin bisa mengetahui sesuatu. “Aku baru menyadarinya sekarang… anak-anak ini tidak peduli dengan nyawanya sendiri, ya?"

“Hmm, mungkin. Mereka memang begitu."

"Aneh… sebenarnya mereka ini apa?"

Naigrat diam sesaat dan mendesah, kemudian menanya balik. "Kamu serius ingin tahu?"

Akhirnya Willem mengangkat kepoalanya.

“Kamu pengurus mereka, walau memang itu mungkin hanya sebatas gelar. Kalau kamu butuh informasi tentang mereka, maka aku pun tidak bisa menolak." Suaranya berubah lebih serius. "Jujur, aku tidak ingin memberitahukanmu. Setelah mendengar ini, sikapmu terhadap anak-anak akan berubah. Awalnya aku mengira kamu ini menyeramkan, tapi sekarang aku senang kamu bisa sangat akrab dengan mereka. Kalau memungkinkan, aku ingin semua tetap seperti ini meski hanya sebentar.”

“... tolong ceritakan."

“Ya sudah. Baiklah…” Pundak Naigrat jatuh. "Tubuh mereka tidak takut mati karena mereka memang tidak hidup. Bisa dikatakan, anak-anak ini tidak punya jiwa. Pikiran mereka sangat jauh berbeda, namun jika masih belia begitu, mereka hanya akan mengikuti insting mereka hingga bisa saja jadi acuh-tak acuh."

“Maaf... aku sama sekali tidak mengerti."

Tidak hidup? Maksudnya apa? Bagaimana bisa anak-anak yang sembrono, berisik, dan penuh semangat yang ia lihat setiap hari dikatakan tidak hidup...?

"Hmm... aku sendiri tidak bisa percaya waktu pertama kali dengar," Ungkap Naigrat dengan lembut.

Dia berjalan keluar ruangan dan memberi isyarat pada Willem untuk ikut.

"Sini. Ada yang ingin aku tunjukkan." Willem berdiri pelan-pelan dan mengikuti di belakangnya, masih kebingungan.

"Emnetwyte. Aku yakin kamu sangat mengenal spesies ini? 'kan?"

"... setahu seperti yang lain."

"Jangan merendah begitu." Kilihnya. "Spesies legendaris yang menguasai tanah bawah hingga lima ratus tahun lalu. Dan mereka tidak dianugerahi talenta apapun..."

Dikatakan bahwa Emnetwyte kalah ukurannya dengan spesies-spesies yang besar. Mereka tidak punya sihir seperti Elf. Kemampuan membangun mereka tidak bisa menyaingi cepatnya Moleian. Tingkat kelahiran mereka tidak bisa mengalahkan Orc. Dan tentunya, mereka juga tidak memilki kemampuan sekuat naga. Meski lemah tanpa talenta apapun, Emnetwyte menguasai tanah bawah untuk waktu yang sangat lama, mereka telah menghalau setiap serangan dari hampir setiap ras-ras lain.

“Ah… aku mengerti.”

“Dan satu hal lagi: rasa daging mereka jauh lebih enak daripada ras yang lain. Hal itu sudah diturunkan ke generasi-generasi penerus kami para Troll. "

Legenda yang ini harus secepatnya lenyap. Serius.

"Yang jadi alasan kekuatan mereka adalah senjata yang kini dinamai dengan Senjata Galian."

"... aku pernah dengar soal itu. Anaala pernah memberitahuku kalau sekalinya mendapat Senjata Galian yang berfungsi, maka tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk perburuan selanjutnya."

“Mhm. Perusahaan Perdagangan itu mau membelinya dengan harga terendah 200,000 Bradal. Aku rasa harga tertinggi yang pernah ditawarkan sampai 8,000,000 Bradal.

Delapan juta. Itu cukup untuk membayar hutang Willem lima puluh kali dan masih tetap akan menyisakan banyak.

“Dan… semua Senjata Galian milik mereka …”

Naigrat berhenti berjalan sesampainya di depan pintu aneh nan nampak kokoh. Selembar baja tebal melapisi keseluruhannya, ditambah paku-paku tajam menembus ujung-ujungnya. Sistem kuncinya lebih rumit dari yang biasa, juga kenop pintunya terasa begitu padat dan berat. Dalam 'gudang' yang penuh dengan kehidupan ini, pintu yang tidak wajar ini seakan mengingatkan bahwa ini adalah fasilitas militer.

"... ada di dalam sini."

Naigrat membuka kunci ruangan itu dengan perlahan-lahan dan mendorong pintunya. Suara berat seperti suara perut lapar menggema di lorong. Kelapukan di dalam ditambah debu yang ada menimbulkan bau tak sedap yang langsung menusuk indera penciuman Willem.

Ini hampir seperti reruntuhan. Seperti tempat di mana raja di masa lalu dikuburkan bersama harta bendanya, dan pencuri yang teledor akan sengaja mengambilnya sehingga berakhir terkutuk. Willem belum pernah melihathya secara langsung, tapi ia ingat pernah mendengar cerita yang seperti itu. Yah, entah masih adakah reruntuhan yang seperti itu di bawah sana, ia tidak tahu.

Ruangan ini tidak ada pencahayaannya. Ia yakin kalau ada sesuatu yang tersembunyi dalam kegelapan sana, namun ia tidak tahu.

"Sangat ketat, ya, keamanannya?"

"Yah, banyak benda berbahaya di sini." Mereka masih terdiam berdiri di sana, menunggu hingga mata mereka beradaptasi dengan kegelapan yang ada.

"Senjata dari masa lalu yang cara pembuatannya, perbaikannya dan penggunaannya lenyap selamanya. Senjata yang dibuat oleh ras terlemah untuk mengalahkan Naga yang perkasa dan para Pendatang. Senjata yang melambangkan tekad untuk bertahan hidup dan kekuatan untuk bertarung. Senjata yang meski hanya dibawa oleh satu individu, bisa mengubah hasil akhir perang secara keseluruhan."

Isi ruangan redup itu kini mulai menampakkan wujudnya.

"Haha..." Willem tertawa dengan gugup.

Tersandar pada sebuah tembok sejajar pedang. Meski ia belum melihatnya secara jelas, pedang-pedang ini tentunya lebih besar dari pedang panjang yang biasanya dipakai untuk hal macam upacara, atau yang biasa digunakan untuk kepentingan sendiri. Panjangnya berbeda-beda, namun bisa sampai setinggi orang dewasa, atau sedikit saja lebih pendek darinya. Panjang hulu pedang yang proporsional ini mengindikasikan bahawa pedang ini digunakan dengan kedua tangan.

Yang membuatnya jauh berbeda dengan pedang biasanya adalah struktur bilahnya. Willem perhatikan dengan seksama dari dekat, ia bisa lihat ada retakkan yang khas pada tubuhnya. Jika dilihat lebih rinci lagi, bisa dilihat bilah di sisi lainnya memiliki warna beda, yang mana mengindikasikan bahwa itu bukanlah retakkan, tapi corak.

Sebuah pedang dibuat dengan sebongkah logam yang ditempa. Tapi pedang-pedang ini berasal dari potongan-potongan baja yang besarnya seukuran tinju orang dewasa yang disatukan seperti puzzle dan dibentuk jadi pedang.

Kaliyon…”

“Jadi, dulu itu disebut begitu, ya?”

Sontak Willem merasakan sakit di dada ketika Willem lebih memerhatikan ruangan ini. Kenal ia dengan beberapa pedang itu. Kaliyon Seri Parcival yang diproduksi massal. Pedang-pedang itu telah berhasil melindunginya ketika ia masih seorang Quasi Brave awam tanpa punya senjata yang pas dengannya. Senjata seri itu tidak memiliki keistimewaannya sendiri, tapi pedang itu dibuat dengan bahan dasar yang kualitas dan fleksibilitasnya luar biasa — meski dalam medan perang, Willem bisa melakukan perbaikan darurat. Ia belum pernah bisa dapat kesempatan untuk menggunakan generasi penerus pedang itu, Seri Dindrane, tapi Seri Dindrane sangat diapresiasi oleh anggota Quasi Brave lain karena memiliki stabilitas yang lebih baik.

Locus Solus. Itu Senjata favorit seorang Quasi Brave, yang namanya tidak bisa ia ingat, yang bertarung bersama Willem di kala ia melawan para Naga di selatan. Pedang ini memiliki keistimewaan untuk menstimulasikan otot, tapi otot penggunannya akan selalu jadi luar biasa sakit usai penggunaan — Willem pernah dengar rekannya yang mengeluhkan hal itu.

Lalu di sampingnya ada Mulusmaurea. Seorang rekan dari Quasi Brave pernah membawanya ke dalam pertarungan ketika mereka dipanggil untuk menjadi bala bantuan di kota Listiru. Ia belum pernah melihat Keistimewaan senjata itu saat pertarungan, tapi ia dengar kabar bahwa senjata itu bisa mencegah kematian untuk sesaat.

"Heh..."

Rasanya seperti reuni kelas yang begitu aneh. Ia langsung duduk di tempat ia berdiri, tanpa peduli bajunya akan kotor. Tanpa peduli sakit di kepala yang ia rasakan, Willem berkonsentrasi dan menyalakan Venenum dengan perlahan untuk melihat sihir cabang. Seperti yang ia kira, pedang-pedang itu dalam kondisi buruk. Garis mantra yang ada telah terpisah, putus, dan teracak dengan sedemikian rupa.

Mereka masih tetap bertarung meskipun pedangnya sudah buruk begini?

"Aku ingin tanya."

"Semua Kaliyon dibuat oleh dan untuk Emnetwyte, dan merupakan suatu keajaiban yang dibuat seorang makhluk. Hanya Brave terpilih dengan ras sama saja yang bisa menggunakannya. Sekarang senjata-senjata ini hanya sekedar jadi barang antik saja. Lalu kenapa masih harus mengumpulkan semua ini? Bagaimana caramu bertarung menggunakannya?"

"Kamu sendiri sudah tahu jawabannya, 'kan?"

Karena... kami juga anggota Brave?

Mengabaikan suara anak kecil itu yang sontak muncul dalam benaknya, Willem kembali bertanya. "Tolong jelaskan."

"Jika para Emnetwyte tidak di ada lagi di sini, kami hanya perlu penggantinya. Anak-anak itu adalah Leprechaun. Ras ini adalah satu-satunya yang bisa menggantikan Emnetwyte secara utuh. Itu jawabannya."

"Jadi begitu..."

Jauh dari dalam hati, sebenarnya Willem sudah mengetahuinya. Ia kembali berdiri, menyeka debu dan kotoran dari celananya, lalu mengarahkan matanya pada Kaliyon yang berjejeran.

"Anak-anak itu kini jadi partner kalian, ya?"

Dengan mimik wajah yang menampakkan rasa sepi, sedih dan bangga, Willem mengatakan kata-kata itu.

Aku ini apa? Pikir Willem. Beberapa penjelasan pun menghampirinya. Adalah seseorang yang pernah berkeinginan untuk menjadi Regular Brave. Adalah seseorang yang pernah memakai Kaliyon ketika menjadi Quasi Brave. Dan terakhir, adalah seseorang yang sudah tidak jadi seperti itu dan kini hanya hidup dalam cangkang kosong.

Untuk menjadi Regular Brave, dibutuhkan latar belakang yang memadai. Seperti, kamu harus keturunan dewa. Atau kamu merupakan keturunan Brave. Atau kamu harus merupakan anak ajaib yang lahir di malam yang telah diramalkan. Atau kampung halamanmu pernah dihancurkan oleh Naga. Atau ayahmu mewarisi teknik berpedang yang rahasia. Atau di dalam tubuhmu tersegel sebuah kekuatan iblis yang maha kuat.

Setiap anggota Brave yang sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki latar belakang kehidupan yang seperti itu. Hanya orang-orang yang diyakini oleh semua orang dapat mengendalikan kekuatan yang dahsyat itulah yang bisa menjadi Regular Brave.

Karena itu, Willem tidak bisa menjadi Regular Brave. Betapapun ambisinya, ia tetaplah tidak memenuhi syarat. Kedua orang tuanya hidup sederhana dengan berjualan kapas. Ia tumbuh di sebuah panti tua, yang mana ia hidup tidak senang maupun sedih. Dan mengikuti hukum alam, latar belakang kehidupan yang seperti itu hanya menjadikannya seseorang dengan kekuatan yang biasa. Ia hanya bisa pasrah. Mungkin akan lebih baik jika setidaknya ia lahir bersebelahan dengan sekolah khusus berpedang atau semacamnya, namun sayang, dunia tidak memenuhi kebutuhan Willem.

"Kamu tidak punya bakat." Pernah sekali, gurunya berkata begitu. "Sistem Brave ini mesti elit secara mendasar. Pahlawan legendaris... orang-orang yang mengalir dalam tubuhnya darah dewa... sistem itu ditujukan agar kekuatan orang-orang seperti itu dapat dikeluarkan. Mereka sudah beda lagi dari kita yang hanya prajurit kecil yang berjuang demi kemenangan berskala kecil. Mereka menopang dunia ini di atas punggungnya."

Si guru menggelengkan kepalanya. "Manusia biasa tidak akan bisa melakukannya. Meskipun kau memaksa, akhirnya pun kau akan hancur... karena itu, tidak bisa bertarung lagi pun bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan. Dan Willem, sayangnya, kau hanyalah manusia biasa."

Kemudian keheningan pun mengisi saat itu. Si guru menghela nafas panjang dan mengakhiri nasihatnya. "Jangan murung... aku tidak sedang menghancurkan mimpimu. Aku hanya mengatakan kebenaran― realita yang perlu kamu hadapi. Hanya itu."

Waktu ia dengar kata-katanya itu, Willem langsung menolaknya. Dengan cerobohnya ia hanya terus menolak untuk menyerah. Dulu mungkin seperti kekanak-kanakan. Namun saat itu, ia benar-benar serius. Ia memilih untuk menolak kata-kata gurunya hingga akhir yang pahit.

Willem ingat seseorang di Regular Brave generasi ke-20 yang dipilih oleh Gereja. bukan hanya ia mewarisi darah seorang Regular Brave perdana, namun ia juga lahir sebagai pangeran dari sebuah kerajaan. Ketika ia hanya berumur sembilan tahun, tentara dari Elf Geliga menyerang kerajaan itu, mengakar habis setiap yang ia sangat ingin lindungi hingga habis; kedua orang tuanya, temannya, juga kampung halamannya. Ketika kastilnya terbakar, ia berhasil lari ke hutan yang cukup jauh, di mana ia mempelajari teknik pedang lama yang telah hilang dari seorang jenderal tua.

Pertama kali Willem dengar cerita orang itu, Willem hanya bisa bertekuk lutut dan mendesah. Karena ternyata menjadi Regular Brave pun perlu rasa sakit. Ketika orang baru itu menerima senjata yang digemari oleh Regular Brave ke-18, Seniolis, salah satu dari lima pedang suci terbaik di dunia, ia sudah tidak bisa merasa iri atau benci lagi. Ia sudah angkat tangan. Semua itu ia rasa sudah beda lagi dari dunianya. Terus memikirkan hal itu hanya akan membuat dirinya semakin menderita.

Waktu pun berlalu, dan Willem pun tersadar. Orang itu punya alasan sehingga bisa bertarung. Ia punya alasan untuk bertarung. Ia punya alasan yang membuatnya harus bertarung. Itu kenapa semua orang, termasuk Willem tidak menyadarinya. Tidak ada seorang pun yang memikirkan kemungkinan itu.

Ia. Seorang Regular Brave ke-20. Lahir dengan kekuatan yang bisa mengalahkan iblis, memikul rasa sakit dari kehilangan orang tua dan kampung halamannya, juga memiliki teknik rahasia dari masa lampau, menggunakan pedang yang berkilau, yang dapat mengalahkan para Pendatang. Ia.

Tidak pernah ia berkeinginan untuk bertarung. Ia jauh ke dalam jurang balas dendam karena ia tidak punya pilihan lain. Ia menantang para Naga dan dewa-dewa karena ia harus bisa diharapkan oleh orang lain. Ia bukanlah apa-apa melainkan sebuah boneka yang dikendalikan oleh kekuatannya sendiri dan oleh orang-orang yang mau memanfaatkannya.

Saat Willem sadari itu, ia mulai membencinya. Ia tidak bisa memaafkannya. Dan sebenarnya, masih ada rasa itu di hati Willem hingga sekarang.

Ketika mentari sedang ditelan oleh horizon, gerimis terjadi.

"Harusnya aku bawa payung..." gumamnya pelan, namun begitu, ia tidak merasa perlu berteduh atau ingin cepat kembali ke kamarnya.

Pulau ke-68, bagian distrik pelabuhan. Pesisir pulau itu diisikan semua fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk pendaratan juga lepas landas kapal terbang. Ia berdiri di tempat terbuka yang dekat ke ujung pelabuhan, dirinya pun tak bisa luput dari rintikan hujan. Beberapa awan yang seperti sobekan kapas melayang di bawahnya. Dan jika lebih jauh lagi di bawah sana terdapat hamparan tanah luas yang menyebar ke segala penjuru. Tidak terlihat hijau-birunya hutan dan laut, maupun kuningnya padang pasir. Sejauh mata memandang hanyalah bentangan pasir abu aneh yang seperti lumpur.

Ia datang ke pelabuhan sini hanya demi melihat pemandangan itu. Ia ingin memastikan hal yang telah lenyap darinya, yang takkan mungkin bisa kembali. Tak lama pun, tanah sepi itu kini kian meleleh ke dalam gelapnya malam.

Ada beberapa hal yang bisa ia terima. Misalnya, penggunaan Venenum. Venenum adalah sesuatu yang seperti api kecil. Pertama harus dipercikkan terlebih dahulu dalam tubuh, besarkan apinya, lalu keluarkan kekuatan itu tubuh.

Tapi panas ini akan membebani tubuh penggunanya. Jika api yang dibuat melebihi batas kemampuan, maka jiwamu sendiri yang akan menahannya. Mekanisme ini menjadikan esensi batas jumlah Venenum yang bisa dikuasai oleh ras tertentu.

Jadi jika ada suatu bentuk kehidupan mengerikan yang raganya tidak hidup, maka jumlah Venenum yang bisa dihasilkannya jauh lebih besar dari yang ras lain dapat miliki. Kekuatan itu, yang kemungkinan besar takkan mampu terkendali, akan menjadi liar dan menyebabkan ledakkan yang maha dahsyat yang akan menghempas si pengguna juga musuhnya, hanya menyisakan sebuah lubang dengan Kaliyon jadi pusatnya. Senjata terkuat. Mungkin tidak akan begitu efisien karena hanya sekali pakai, tapi bisa memiliki itu saja sebagai tenaga tambahan bisa sangat membantu.

Satu hal lagi yang bisa ia terima: mereka sangatlah kuat. Mereka ras yang lahir untuk berperang. Umur mereka hanya dipakai untuk menang. Membawa takdir yang sedemikian rupa sudah membuat anak-anak itu jadi layak. Layak untuk menjadi penerus Regular Brave. Mereka bisa menjadi hal yang sangat diusahakan Willem yang tetapi tak kunjung ia dapat. Kalau begitu, ia semestinya senang atas mereka. Ia harus merasa bersyukur. Wah, mantap! Aku serahkan semuanya pada kalian! Semoga beruntung!

"... Aku ingin mati..."

Tentunya, ia sadar. Pikirannya yang kacaulah yang telah membuat pemikiran begitu untuk menghibur dirinya. Berdiri di sini dengan hanya sendirian telah membuat pikirannya menggila. Mungkin akan lebih baik kalau ia mengatakannya langsung pada anak-anak itu. Tapi, apalah dayanya? Orang luar yang tidak ada urusannya tidak berhak ikut campur dengan para Brave.

“― Hm?”

Di atas kepalanya, cahaya mentari bersinar menyilaukan, juga membelah lautan awan-awan nan tebal. Sebuah kapal terbang pun datang. Ia tidak bisa melihat dengan jelas siluetnya karena cahaya itu, tapi ia tahu betul kalau itu bukanlah kapal terbang patroli biasa atau pun kapal feri. Bentuknya agak kecil, namun itu nampak seperti kapal transportasi tentara.

Suara berat logam-logam yang saling bersinggungan terdengar jelas dalam lembabnya udara di pelabuhan sana ketika kapal menepi. Bunyi nyaring keluar dari shock absorber kapalnya. Tiga jangkar menahan bagian belakang, tengah, dan depan kapal ke dermaga. Kedua rotor dimatikan. Sihir reaktor pembakar perlahan mati, sehingga suara bising yang menggelegar pun semakin tersamar.

Pintu utama kapal itu terbuka, dan keluar dua insan dari sana.

"Kalian..."

Willem langsung mengenal kedua Leprechaun itu: Kutori dan Aiseia. Mereka memakai seragam tentara wanita informal, seragam yang belum pernah lihat dari mereka. Ada yang aneh. Aiseia dengan roman yang kusut berjalan bersama Kutori yang pincang, yang dibantu jalannya oleh pundak Aiseia.

"Hei, hei, Willem, Pak Teknisi Senjata Terkutuk. Malam." Sapanya dengan sikap ramah. "Kebetulan sekali ketemu di tempat begini, ya? Lagi jalan-jalan?"

Mungkin Aiseia berkata begitu sebagai gurauan, atau tebakan yang jawabannya sengaja tidak tepat, agar tidak membicarakan kondisi mereka sekarang. Namun memang begitu adanya. Yah, tidak begitu jadi masalah.

Willem tidak langsung membiarkan mereka menghindari permasalahannya.

"Kalian kenapa?"

"Hmm... sama sepertimu. Hanya jalan-jalan keluar dari pulau... bisa tolong terima jawaban itu?"

"Tentu tidak. Ini sepertinya..." Ia terhenti. Ia tidak tau apa boleh ia menanyakannya lebih jauh lagi, tau ia mesti melakukannya. "Kalian baru saja bertarung, 'kan? Dengan '17 Makhluk Buas'."

"Ahaha, kenapa kamu bisa tau?"

Kutori tidak mengatakan apapun sedari mereka turun dari kapal terbang. Demi melihat seberapa parah lukanya, Willem berjalan mendekatinya.

"Ah ― dia baik-baik saja. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Tapi kalaupun mau bantu, mungkin kamu bisa tolong urusi itu."

Dengan matanya, Aiseia menunjukkan raksasa yang berdiri di belakang mereka. Sisik berwarna putih susu melapisi sekujur tubuh si raksasa, yang mana juga ditutupi oleh seragam militer. Merunduk untuk melewati pintunya, raksasa itu mulai meninggalkan kapal. Dekat puncak si raksasa terdapat sepasang mata yang terbuka dan mengunci pada Willem ― Raksasa itu adalah Reptrace yang pernah ditemui Willem."

"Seragam itu... kau Willem?" Suaranya sangat menyeramkan seperti ular yang mendesis. Karena struktur tenggorokan mereka yang berbeda, para Reptrace selalu memiliki pengucapan kata yang agak aneh, meskipun hanya mengatakan sesuatu yang lumrah bagi lidah para penduduk.

"Ya... Dan kau?"

"Bawa ini," perintah si Reptrace, langsung mengabaikan pertanyaan Willem, dan menyerahkan, atau tepatnya melemparkan dua buah benda yang panjang lagi tipis.

Secara insting, Willem langsung menggapainya. Tapi bungkusan yang tidak lebih besar dari tubuh besar si Reptrace itu hampir melampaui besar tubuh Willem. Seperti yang telah dijelaskan tadi, meski si Reptrace dapat membawa atau melemparnya tanpa perlu pakai tenaga, bagi otot manusia biasa, itu terlalu berat. Ia gagal menangkapnya dan benda itu pun jatuh dan mengeluarkan bunyi gemerincing logam.

"Ini..."

Benda yang diselimuti oleh kain putih ini adalah dua pedang yang ukurannya sangat besar.

"Ini pedang mereka. Bawakan lagi ini ke gudang." Si Reptrace mengucap perintahnya dan mulai bergerak kembali ke dalam kapal terbang.

"H-Hei!"

"Kau tidak berhak berkomentar apapun. Seseorang yang bukan pejuang tidak pantas masuk ke tempat berdirinya seorang pejuang." Kemudian, pintu pun ditutup, menyembunyikan punggung si Reptrace yang bagai batu besar.

"Ah, jangan khawatirkan ia. Pak Kadal memang begitu," jelas Aiseia dengan riang. "Terus, makasih banget kalau kamu bisa bawa pedangnya. Lihat sendiri, kan, aku sudah bawa Kutori."

"Dia terluka?"

"Tidak, dia cuma sedikit berlebihan, jadi dia sedikit lemas. Setelah ke klinik pasti dia langsung sembuh."

"Baiklah."

Willem mengangkat salah satu pedang yang tergeletak. Meskipun ada kain tebal yang meliputinya, ia rasakan tekstur yang terasa tak asing. Dan meski pencahayaan pun kurang, ia bisa mengenal bentuk yang khas darinya.

"Seniolis..."

"Ohh, kamu kenal pedangnya."

Tentu saja ia tahu. Tidak ada seorangpun anggota Quasi Brave saat itu yang tidak tahu namanya. Ayunkan ke kanan dan bunuh naga. Ayunkan ke kiri dan taklukkan dewa. Salah satu Kaliyon yang pertama kali ditempa. Si Pembunuh Naga Cokelat. Si Pembunuh Dewa. Si Pedang Rahasia Bersarung Putih. Senjata ini punya beberapa sebutan karena saking bersejarahnya, juga banyak pencapaiannya yang berhasil dibukukan. Kaliyon diantara Kaliyon-Kaliyon lain. Partner para Regular Brave generasi ke 18 dan 20, simbol kepahlawanan.

"Ini punyamu?"

"Bukan, itu punya Kutori. Punyaku yang satu lagi."

“Valgalis.”

“Mhmm. Kamu kelihatannya kok tahu banyak. Habis baca daftar alat-alat kami, ya?"

"Tidak..." ia menggelengkan kepalanya. "Kebetulan saja aku tahu pedang-pedang ini."

"Ah, aku kurang ngerti, tapi, oke." kata Aiseia dengan kepala yang dimiringkan.

"Aku akan bawa ini juga."

"Eh? Sebentar..."

Willem mengangkat Kutori yang lemas dan menggendongnya. Di belakang mereka, sebuah suara logam yang nyaring menandakan keberangkatan kapal terbang dari dermaga.

"... kamu lebih kuat dari yang aku kira," kata Aiseia, yang sudah tidak membawa apa-apa lagi.

"Yah, memang sudah tugasku untuk membantu kalian."

"Ohh, lagi sok keren, ya?"

Willem mengambil langkah pertama untuk kembali, diikuti Aiseia setengah langkah dibelakang.

"Jadi, soal kami. Kamu sudah tahu sampai mana?"

"... belum banyak. Aku tahu kalian ini peri, dan kalian bertarung untuk melindungi pulau ini dengan Kaliyon... atau Senjata Galian. Hanya itu."

"Hmm... gitu." Aiseia menatap langit. "Jijik, kan? Hidup seperti di-recycle. Memakai pusaka Emnetwyte yang sudah punah. Menurutku ini setting yang kelewat jijik."

"Bukan setting... kau bukan seorang karakter dari sebuah cerita." Tapi dia memang benar. Setting sempurna yang dia katakan tadi sangat cocok dengan yang dibutuhkan oleh Brave. Semakin menyedihkan, semakin tragis, maka semakin baik. Nasib dan takdir mereka selalu dalam setting itu, yang mana akan menetapkan kekuatan pada mereka untuk terus dapat menggunakan artifak pusaka Emnetwyte itu. Entah mereka menginginkannya atau tidak.

"Dulu sekali... aku kenal seseorang yang mirip seperti kalian."

"Ooh, ini cerita jaman dulu?"

"Tidak begitu panjang untuk disebut cerita. Aku sangat berhutang pada dia, dan aku belum pernah bisa membalas kebaikan-kebaikannya. Jadi ketika aku dengar cerita tentang kalian, aku jadi merasa aku harus melakukan sesuatu untuk membantu kalian. Begitulah."

"Wah... pendek banget."

"Sudah kubilang..."

Aiseia menendang sebuah batu yang tergeletak di jalan dengan tampang bosan di mukanya.

"Hmm... bukannya ini bagian kamu jadi terbuka sama aku dan jadi saling cinta-cintaan? Lagian kita lagi berdua."

"Kau lupa kalau masih ada orang di punggungku?"

"Kamu tahu sendiri, kan, yang bangun itu Kutori? Bagus, dong, jadi ada cinta segitiga berbumbu cemburu."

"Kau ini habis baca apa?"

"Segitiga yang Rusak."

Willem pernah mendengar judul itu. Setting tempat itu berada di pulau melayang, di mana karakternya terus menerus selingkuh dan perzinaan, dengan berkata bahwa mereka sedang mencari cinta sejati.

Yah, karena mereka hampir menghabiskan waktu hidup mereka di sebuah hutan yang sama dengan hanya perempuan-perempuan lain (dan Naigrat), mereka masih perlu belajar mengenai kehidupan bermasyarakat. Dan rupanya, mereka mendapat informasi itu dengan hal yang seperti ini, yang mana bisa dibilang, kurang akurat.

"Aku paling suka bukunya yang ke-3. Menurut aku itu luar biasa."

"Tolong ingatkan aku untuk menyitanya setelah kita sampai nanti. Anak-anak tidak boleh membaca buku seperti itu."

"Ini penindasan! Siapa yang kau sebut anak-anak, hah?? Dan, kok kamu bisa tahu semuanya dari judulnya doang!?"

Banyak bentuk hiburan dan kesenangan mengalir ramai di Pulau ke-28 yang terbelakang. Bisa menyicip pekerjaan demi pekerjaan telah membuat Willem mendengar gosip-gosip mengenai hal yang sedang tenar baru-baru ini. Kembali ke pembicaraan, Willem memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Aiseia.

"Kecilkan suaramu... orang ini bisa bangun."

Punggungnya sedikit bergetar, ditambah dengan desahan pelan.












Bagian 4: Si Pemberani dan Penerusnya

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Karena sudah bukan Brave lagi, ia tidak punya alasan untuk melindungi dunia baru ini, pun, ia tidak punya kekuatan untuk melakukannya. Sekarang, satu-satunya alasan ia masih tetap hidup adalah karena ia jadi manager palsu yang mengurusi senjata, jabatan yang tidak punya pekerjaan selain hanya untuk hadir saja. Ia bisa menghilang kapanpun. Tidak ada yang akan peduli atau merasa tersakiti. Ia telah menjadi hantu.

--- Sepuluh menit kemudian, di klinik.

"Kenapa kamu di sini?"

Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Kutori setelah dia kembali sadar.

"Memangnya salah menemani orang sakit?"

"Aku tidak sakit," dia membantah dengan mimik yang kurang mengenakkan, tapi Willem bisa melihat kalau dia sedikit memerah pipinya.

"Kau tahu? Brave yang kalian tiru ini punya semacam penyakit spesial, yang mana jika terjangkit ketika dalam misi, harus ditangani secepatnya. Dan yang paling perlu ditangani adalah Keracunan Venenum Akut, dan itu adalah yang kau dapati sekarang."

"Kadang-kadang candaanmu tidak lucu, tahu." Kutori memalingkan mata, masih dengan sikap yang masam.

Tentunya ini bukan hanya sebatas candaan, tapi jika dia tidak akan mempercayainya, ya sudahlah.

"Ayo, menghadap ke sini. Aku tidak bisa mengganti handuk basahnya kalau begitu."

"Aku tidak butuh."

"Bukan pasien yang berhak memutuskan. Ayo sini."

"Aku tidak apa-apa. Hanya begini doang. Istirahat sedikit juga nanti sembuh."

"Jangan bodoh." Dengan hati-hati ia sentuh keningnya. "Selalu, kau harus menangani Racun Venenum dengan benar, jika tidak, hal ini akan jadi hal yang lumrah bagimu. Dan jika dibiarkan begitu saja, akhirnya pun kau akan sampai pada batasnya."

"Sok ahli saja kamu ini."

"Aku ini memang ahli. Lagipula menjadi Teknisi Pedang Terkutuk adalah pekerjaanku."

“Hmph.”

Kembali, mata Kutori berpaling darinya, seakan berkata, orang ini apa-apaan, sih? Pada dasarnya, Teknisi Senjata Terkutuk membangun dan menjaga setiap mesin perang yang digerakkan oleh sihir, seperti yang dimaksudkan namanya. Teknisi Kelas Dua berhak dan berkewajiban yang setara dengan opsir militer kelas atas. Dan tentunya, diperlukan banyak pengetahuan, latihan, dan pengalaman untuk mencapai posisi tersebut. Dan jelas tentunya, Willem tidak memiliki semua itu. Gelar yang didapatkannya hanya untuk ditunjukkan, tanpa punya kekuatan atas gelarnya --- hal ini pun adalah hal umum bagi para peri.

"Aku ini pengurusmu. Aku yakin aku berhak menghawatirkan dirimu.“

“Bukan… terserah kamu mau pengurusku atau bukan, aku tidak perlu dikhawatirkan."

Kutori masih tidak mau menatap muka Willem, sehingga ia tidak tahu ekspresi dia. Walau mungkin, jika dilihat dari telinganya yang masih merah menyala, demamnya mungkin masih belum turun.

"Yang kamu bilang 'batas' begitu juga aku tidak peduli. Lagipula sudah tidak banyak lagi waktu yang tersisa."

"Waktu? Waktu apa?"

"Hei, aku ingin tanya," balas Kutori, mengabaikan pertanyaannya.

"Apa?"

"Kalau... ini hanya pertanyaan hipotetis, ya. Kalau aku akan mati lima hari nanti, apa kamu mau bersikap lebih baik padaku?" Hening.

"...hah?" Willem gagal mengerti apa yang dimaksudkannya.

"Ini hanya kalau saja, jadi jawab saja. Kamu mau dengar permintaan terakhirku?"

"Tunggu, kenapa harus lima hari? Aku harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi, karena jika tidak, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu."

"Lima hari lagi, di Pulau Melayang ke-15. Seekor Teimerre akan menyerang." Kembali hening.

"Ketujuh belas Makhluk Buas tidak bisa terbang. Itu satu-satunya alasan kenapa Regul Aire bisa tetap melayang. Tapi Teimerre, Makhluk Buas yang ke-6, bisa melakukan penyerangan walaupun berada di tanah bawah. Makhluk ini punya dua kelebihan: membelah diri dan berkembang dengan cepat. Induknya bisa tetap di tanah dan membelah dirinya menjadi puluhan ribu bahkan, lalu mengirim mereka dengan angin. Kalau satu saja bagian darinya sampai si Pulau Melayang, maka bagian itu akan tumbuh cepat, bereproduksi, dan pulau seutuhnya akan hancur dalam waktu sekitar enam jam."

Hening.

"Tentunya, Regul Aire punya cara untuk melawannya. Sesuatu yang besarnya seperti Makhluk Buas itu akan tertangkap sistem alarm kami sebelum sampai ke pulau. Semakin kuat bagiannya ini, semakin cepat pula kami akan mendeteksinya. Ini bisa memberi kami cukup waktu untuk mempersiapkan pertahanan. Dan begitulah cara Regul Aire menghindari serangan Teimerre selama beratus-ratus tahun "

Hening.

"Sekitar setengah tahun lalu, sebagian dari tubuhnya yang agak besar terdeteksi. Jika diukur dari kekuatannya, semua pasukan bersenjata yang ada di daerah pendaratan tidak akan mampu melawannya. Tetapi para peri dengan Senjata Galian, malahan..."

"... dapat mengalahkannya dengan nyawa sebagai gantinya... betul?"

"Tepat. Seniolis dan aku seharusnya bisa menghentikannya dengan meledakkan diri. Aku rasa kita masih beruntung."

Kutori, yang sembunyi di balik selimut, mengangkat bahunya. Hanya butuh satu saja yang perlu ditumbalkan. Jika mereka sampai kurang sedikit saja kekuatannya, bisa saja peri kedua akan ditumbalkan jua -- yang mungkin adalah Aiseia atau Nephren.

"Ingat, ini semua cuma hipotesis." Perlahan, dia pun mulai mengarahkan mukanya pada Willem, senyum ceria pun tampak dari wajahnya. Tapi matanya tidak menampakkan rasa senang. "Yah, kalau itu terjadi, apa kamu mau mendengarkan permintaan terakhirku?"

"... tergantung permintaannya."

"Yah... misalnya... ah.." Kutori mencari-cari kata untuknya. "...kalau aku minta untuk dicium. Bagaimana?"

Dia juga, ya

Setelah melalui sejumlah buku-buku tidak berharga yang suka dibaca anak-anak peri di sini, mereka sudah melewati bagian di mana Willem harusnya berlaga malu atau bingung atau semacamnya, tapi Willem menolak untuk memerankannya.

Dengan suara yang hampir terdengar seperti rintihan, ia menjawab, "Kau punya sisa hidup lima hari lagi, dan itu yang kau minta?"

"A-Apa tidak boleh?"

Willem membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengahnya. Lalu, dengan sedikit kekuatan ditambah ke jari tengahnya, ia menyentil kening Kutori.

"Aw!"

"Anak-anak tidak seharusnya membicarakan hal-hal dewasa begitu. Ini gara-gara yang kau baca hanya novel romansa."

"T-Tidak, kok, aku baca buku lain juga!"

Sepertinya dia tidak membantah kalau dia sudah membaca novel romansa. Karena demamnya, atau mungkin karena dia memang sedang bingung, kata-kata yang keluar dari mulutnya kian tidak masuk akal. Juga, dia sepertinya sedang tidak sadar diri.

"P-Pokoknya, aku ingin ada kenangan... apa salah?" Dia merangkul bros perak di dekat dadanya. "Jika kamu akan mati.. setidaknya kamu akan merasa tidak ingin lenyap, 'kan? Kamu ingin diingat oleh seseorang. Ingin tetap ada hubungan dengan seseorang." Perlahan, tangisan pun berkumpul di matanya. "Apa salahnya..."

"Bukan itu yang aku maksud. Yang salah itu kau yang terlalu gegabah." Dengan lembut Willem menyentuhkan tangannya pada kening Kutori. Masih panas. "Maksudku kau tidak seharusnya begitu ingin melakukannya sampai-sampai mau melakukannya dengan siapa saja hanya demi bisa melakukannya. Terlalu terburu-buru seperti itu tidak akan menghasilkan akhir yang baik."

“Tidak masalah, kok! Aku tidak perlu mengkhawatirkannya--”

“Lalu, jika kau ingin menangis, keluarkan saja semuanya selagi ada seseorang di sampingmu. Menangisi sendiri hanya dilakukan oleh mereka yang sudah ahli, yang bisa berhenti di saat mereka ingin. Aku tidak merekomendasikannya pada pemula."

"Berisik. Kalau kamu tidak mau menciumiku, sudah diam saja. Aku tidak menangis juga."

"Dari suaranya juga sudah jelas, tahu."

"Aku tidak menangis," dia kembali menolaknya.

-- Dulu, aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk kembali menetapkan ini: cangkang dari seorang pahlawan yang telah kehilangan segala yang ingin ia lindungi. Dan tentunya, cangkang tidak memiliki keinginan, cangkang hanya bisa mati.

"... aduh." Ia menggaruk-garuk kepala. "Coba kau tengkurap."

"Tidak kedengaran." Kutori menutup kedua telinganya dengan jari sambil memalingkan wajah.

"Ayo, cepat."

"Tidak dengar."

"Oke, kalau kau tidak mau dengar..."

Willem menggenggam pundak Kutori dan dengan paksaan, ia membalikannya agar saling berhadapan. Lalu, ia bergerak mendekat, dengan lirih membenamkan bibirnya pada kening Kutori.

"Eh?"

Sekujur tubuh Kutori melemas, seakan otaknya menghentikan segala aktivitas sebagai respon terhadap rasa kejut tadi. Dia tidak bisa memproses segala hal yang terjadi barusan pada keningnya. Yang dia sadari hanya ada sesuatu yang mengejutkan hingga tubuhnya berhenti bergerak. Sensasi yang seharusnya terasakan pada keningnya justru sulit untuk mencapai otak.

"Sekarang mau dengar? Tengkurap."

"Eh. Tunggu. Tadi apa?"

"Cepat "

Mulai dongkol, Willem kembali menggenggam pundak Kutori dan membalikkan wajahnya agar menghadap kasur.

"Ahh!!?"

"Aku akan menyembuhkan demammu. Supaya aman, tutup mulutmu."

"M-mulut? Eh? Apa?"

Ia menempatkan tangan di punggungnya dengan perlahan dan memeriksa kondisi otot-otot dan aliran darah dengan jari-jarinya. Satu hal yang jadi ciri khas dari keracunan Venenum adalah menurunnya fungsional jaringan tubuh yang menghasilkan Venenum. Sistem imunitas tubuh terkadang menganggap ini semacam penyakit dan menimbulkan demam. Pemeriksaan secara hati-hati dapat menemukan letak-letak yang jadi masalah di mana Venenum mungkin ada dan bebas.

"Di sini... dan di sini..."

"Agh!"

Dengan keras ia tekan dengan ujung jarinya.

Setelah menghabiskan waktu panjang di Quasi Brave, tidak sulit untuk menemukan penyakit ini baik dari dirinya ataupun dari rekannya. Ketika terjadi dalam pertarungan, dibutuhkan cara yang paling sangkus dan mangkil untuk meredam gejala penyakitnya sebanyak mungkin. Apalagi ketika dalam ekspedisi panjang, penting untuk mencegah kehabisan tenaga setelah bertarung, jadi pernah satu waktu Willem memanggil tentara medis dan mempelajari teknik ini.

"Aw! Sakit!"

"Itu karena sisa Venenumnya membuat seluruh ototmu kaku. Kalau aku bisa membenarkannya lagi, kau akan enakan."

"Walaupun kamu bilang begitu pun, rasanya masih --- ah! Geli -- ah!"

"Coba tahan."

"Kan sudah aku bilang, susah --- ah!"

Caranya hanyalah menekan sepuluh titik tertentu, yang mana secara berurutan dan simetris dengan tulang belakang. Pemulihan aliran darah yang masih baik akan membantu membersihkan Venenum yang beku. Sebagai perbandingan saja, penanganan ini memberikan sensasi yang mirip dengan memijat otot-otot yang kaku. Sebenarnya, selain hanya ditambah stimulasi terhadap titik-titik akupuntur tadi, kedua proses itu sulit untuk dibedakan.

“Ahhh…”

Cari titik dengan kondisi Venenum tersebut, lalu berikan tekanan. Cari titik lain, lalu lakukan lagi, dan cari lagi. Setelah sepuluh menit, Willem akhirnya berhenti. Telah cukup penanganannya, dan sekarang tubuhnya akan secara alami membersihkan Venenum yang tersisa setelah otot-otot dan aliran darahnya telah kembali pulih.

"Baiklah, sudah selesai." Ia menyelimuti punggung Kutori, yang kelihatan lelah dan kewalahan seusai dihujani oleh stimulasi. "Istirahat saja dulu. Setelah tidur semalam, kau akan baikan."

Tanpa sepenuhnya sadar, dia menggunakan jawaban yang tidak begitu jelas. "Ihhyah..."

Jika ditinggal sendiri, paling Kutori akan langsung tidur cepat atau lambat. Willem memutuskan untuk keluar dari klinik setelah yakin dia akan baik-baik saja.

Aku ini apa? pikirnya pada diri sendiri. Namun ia muak memikirkannya dan langsung berhenti. Saat itu ia punya hal lain untuk dipikirkan.

Kertas. Kertas. Kertas.

Itulah hal pertama yang ia lihat sesaat setelah masuk ruangan. Hal selanjutnya yang ia lihat, lalu selanjutnya, dan selanjutnya, adalah kertas-kertas juga. Karena bingung, ia mundur selangkah untuk memeriksa plat tembaga yang ada di samping pintu. Tulisan yang terukir padanya adalah 'Ruang Referensi'.

Kembali ia melangkah ke dalam, yang mana terasa lebih sempit akibat kertas-kertas yang berserakan. Terlebih, kertas-kertas yang bertumpukan begini nampak berisikan topik-topik yang variatif. Surat permintaan untuk membetulkan toilet di gudang peri sini, petunjuk cara berkomunikasi dengan ras lain ketika bertarung melawan ketujuh belas makhluk buas, surat permintaan untuk wortel dan kentang dalam jumlah besar, laporan dari misi patroli malam, dan potongan-potongan gambar dari majalah perempuan yang saling bertumpukkan.

Bunyi tik, tik, tik dari jam di tembok lagi juga terdengar begitu keras dalam kacaunya ruangan.

"Wah..."

Dengan hati-hati ia masuk, berjalan di permukaan yang naik-turun nan menutupi lantai, dan menuju meja. Willem duduk dan mengamati ruangan ini lagi setelah ia singkirkan kertas-kertas yang mengisi tempat duduk.

"Wah..."

Ia menyilangkan tangan dan berpikir untuk membereskan ruangan ini. Setelah dipertimbangkan, ia memutuskan, betapapun ia memikirkannya, ia takkan pernah mendapatkan keputusan. Setelah menyingkirkan pilihan itu untuk sekarang, Willem mengambil secarik kertas yang ada di bawah tumpukan di dekatnya. Dan itu adalah laporan inspeksi senjata untuk lebih dari sedekade lalu. Jadi ruangan ini berisi sejarah tidak berguna dari sepuluh tahun silam. Ia jadi merasa seperti arkeologis.

Yah, duduk diam begitu hanya akan buang-buang waktu. Setelah sampai di salah satu tumpukkan, ia memutuskan untuk mengelompokkan kertas-kertas kacau itu, yang kemudian ia sadari ada seseorang berdiri di sebelah pintu. Seorang perempuan rambut abu-abu yang menatap dengan tatapan mendalam dan sulit dimengerti pada ruangan itu.

Willem menunggu untuk sesaat, dan tersadar kalau dia pasti kemari untuk mengambil dokumen atau semacamnya, tapi belum mau beranjak. Dia terus hinggap dan menatap ke dalam ruangan dengan tatapan yang tak mudah dibaca.

"Butuh sesuatu, Nephren?"

"Tidak, kok," jawabnya langsung tanpa nada suara berarti, dan kemudian berbalik lalu pergi.

"Dia ini kenapa..."

Seusai mengangkat bahu, Willem kembali bekerja. Ia penasaran akan sesuatu. Dan sesuatu ini kemungkinan berada suatu tempat dalam lautan kertas ini.

Jam dinding berbunyi dua belas kali dengan sempurna, menandakan bahwa ini awal hari baru. Ia baru saja selesai mengatur-atur tumpukkan kertas yang ada di meja. Begadang semalam suntuk mungkin takkan terelakkan, dan entah apakah terus-terusan bekerja sampai pagi akan berhasil dan berguna atau tidak.

"Aku capek..."

Mendengar gerutuan dari perutnya membuat Willem sadar kalau ia lupa soal makan. Sedari tadi ia bekerja tanpa ada asupan nutrisi untuk selama setengah hari, ia terakhir makan pada siang hari.

"Sial..."

Kalau saja ia menyadarinya lebih awal, mungkin ia bisa memesan makanan ringan dahulu di kafeteria. Yah, menyesalinya sekarang tidak akan membantunya mengisi perut. Untuk sekarang, ia menyandarkan jidatnya pada meja dan memejamkan mata. Ia bisa tolerir perutnya yang kelaparan, tapi kalau masalah lelah hanya akan menurunkan kemampuan konsentrasinya. Sedikit istirahat mungkin akan bisa memberinya tenaga lagi untuk bekerja.

Tiba-tiba saja, sebelum kehilangan kesadaran, harumnya kopi singgah di hidungnya. Telinganya menangkap suara deringan sebuah cangkir yang ditaruh ke atas meja. Minuman? Oh, ya, pintunya aku biarkan terbuka.

"Ah, terima kasih---"

Baru saja ia akan berterima kasih pada Naigrat ketika tepat saat itu, kepala berambut abu memasuki ruang pandangnya. Sepasang mata berwarna hitam arang menatap dengan kosong pada sesuatu yang tidak jelas.

"-- Nephren?"

"Panggil saja aku Ren."

Oke. terima kasih, Ren."

Kembali melihat ke meja, ia menemukan sebuah piring yang terdapat sebuah roti lapis biasa di atasnya, yang juga ditempatkan berdampingan dengan secangkir kopi. "Kamu tidak perlu berterima kasih," katanya seraya mengamati ruangan. "Aku hanya penasaran, jadi aku kemarin Apa yang kamu lakukan?"

"Hmm... aku rasa hanya lihat-lihat saja."

"Di dalam sini?"

"Ya. Harta Karun tersembunyinya jauh di pelosok labirin bawah tanah, kan? Untuk mencari sesuatu yang berharga, diperlukan kerja keras."

"Hmm..."

Willem meneguk kopinya. "Manis." Ia bisa merasakan gula yang telah larut dengan jumlah banyak pada lidahnya.

"Aku pikir akan baik untukmu selagi capek. Atau kamu tidak suka manis?"

"Tidak, justru ini kesukaanku."

Lalu Nephren dibuatnya terkejut setelah ia menghabisi langsung kopinya dan melahap roti lapis yang hanya berisikan daging merpati panggang, dengan sedikit selada lisut pada roti kering pula. Mungkin terlalu banyak moster, tapi tambahan rasa ini membantu memulihkan tubuh lelahnya.

"Ahh..." Ia keluarkan helaan nafas penuh kepuasan saat ia rasakan sedikit tambahan nutrisi mulai bekerja.

"Jadi?" Nephren memandangnya dengan ekspresi kosong dan bertanya, "Apa yang kamu cari malam-malam begini?"

"Yah... percuma saja kusembunyikan. Aku sedang mencari riwayat bertarung kalian."

"Hm?" belum mengerti maksudnya, dia sedikit memiringkan kepalanya "Untuk apa?"

"Aku ini orang luar, teknisi jadi-jadian, dan aku bukan dari generasi ini. Ada terlalu banyak hal yang tidak aku mengerti. Menanyakan pada Naigrat selalu bisa jadi pilihan, tapi dia bukan tentara, informasi darinya berasal dari sudut pandang yang berbeda. Dan jalan terbaiknya adalah dengan aku mencari tahu dengan mataku sendiri data-data dari tentara."

"Hmm..."

"Jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya ingin tahu beberapa hal."

"Oke." Angguk Nephren. "Apa ada yang perlu aku bantu?"

"Kau mau membantu? Kalau begitu, aku butuh dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan frekuensi kemunculan Teimerre dan riwayat pertarungan-pertarungan dari sepuluh tahun lalu dengan waktu, jumlah uang yang perlu dikeluarkan, dan korban, semua dirincikan. Juga, kalau memungkinkan, aku ingin riwayat-riwayat dari perbaikan dari Kali -- Senjata Galian. Misalnya, dokumen-dokumen yang berisikan percobaan mereka, lalu apa yang mereka targetkan, dan hasil akhir."

"Hm. Rinci sekali."

"Aku yang akan memeriksanya secara rinci. Kalau kau bisa mendapat apapun yang relevan, aku akan sangat tertolong."

"Siap."

Seusai perutnya telah diurusi, saatnya kembali bekerja. Willem menggulung lengan bajunya, dan sesaat kemudian, Nephren pun mengikuti. Keduanya mulai mengarungi lautan kertas yang mengisi penuh ruangan. Akan tetapi, seiring malam berjalan, mereka mulai tenggelam.

Pagi pun tiba. Bangun di waktu biasanya, Kutori Nota Seniolis bangkit dengan lesu dari kasur dan mengamati sekitar, dia sadar dia tidak seperti sedang di kamarnya. Setelah teringat kembali kalau dia berada di klinik, dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi semalam, karena heran kenapa bisa bangun di sini.

Ketika dia telah mengingat sepenuhnya kejadian malam tadi bersama Willem, sontak saja mukanya memanas. Demam kemarin telah melemahkannya. Dia kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan benar, kemarin. Tidak mungkin dia akan melakukan ataupun mengatakan hal seperti itu jika dia dalam keadaan normal. Alasan ini-itu muncul dalam kepala, namun tak ada satupun yang dapat membatalkan kejadian kemarin.

Kalau aku akan mati 5 hari nanti, apa kamu mau bersikap lebih baik padaku?

"Ahhh kenapa aku mengatakan itu!?"

Kutori sontak membenamkan diri kembali ke kasur yang baru saja dia tiduri dan memukul-mukul dengan liar, tanpa hirau akan bunyi kertak-kertak keras akibatnya.

...kalau aku minta untuk dicium. Bagaimana?

"Aaaaahhhh!!"

Dia memeluk bantal dengan sekuat tenaga kemudian memukul-mukul dan melemparkannya ke tembok. Kenapa dia mengatakan hal-hal itu? Dia sendiri tidak tahu. Memang , dia tidak membenci Willem, malah dia cukup mengaguminya, dan kalau boleh dia katakan, dia lebih ke menyukai Willem, tapi menyukai orang secara pribadi dan menyukai orang karena itu sudah beda hal dan jangan sampai tertukar dan tapi yang jadi kenyataannya ialah sosoknya seringkali muncul dalam benak Kutori selama demam dan -- ahhh! Dia tidak kuat memikirkannya lagi.

Akan tetapi, hampir sebagian ingatannya mengenai hal kemarin jadi agak samar. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi setelahnya... ia bilang ia akan menghilangkan demamnya atau semacamnya --

"Kutoriii, sudah enakaan!?"

"Ah!" Suara entah dari mana tiba tiba saja muncul, jadinya dia secara tanpa sengaja panik hingga bersembunyi di balik selimut. "Oh, sekarang aku baikan."

"Ah, umm... aku dengar kamu kecapekan waktu kamu pulang kemarin, tapi apa sekarang kamu sudah sehat lagi? Sudah bisa makan lagi, begitu?" Dilihat dari gestur dan suara, Kutori menganggap kalau kedua orang ini hanya ingin menengok.

"Collon dan... Lakish?"

Dengan hati-hati dia mengintip dari kasur dan memastikan tamu-tamunya. Dan dengan hanya melihat rambut mereka yang pink dan jingga sudah cukup untuk menyadari kalau itu mereka.

"Hm? Wajahmu merah," tunjuk Collon si rambut pink.

"A-Ah, masa, sih? Yakin bukannya gara-gara cahayanya?" Kutori menghindari kontak mata.

"Tapi kelihatannya tubuhmu baik-baik saja. Setiap kalian kembali dari Medan pertempuran, pasti kondisi tubuhnya memburuk, jadi aku senang kamu baikkan sekarang," ujar Lakish si rambut oranye.

Barulah setelah dijelaskannya, Kutori menyadari tubuhnya terasa aneh karena jadi lebih ringan. Semalam, dia pingsan karena terlalu banyak menggunakan Venenum dalam pertarungan sebelumnya. Setiap kali terjadi hal itu padanya, paginya pastilah terasa berat karena lelah akan menjangkiti dirinya. Dia mencoba untuk melompat naik-turun setelah keluar dari kasur dan merasa memang dia tidak merasa kelelahan sama sekali. Malahan, dia merasa luar biasa seakan baru saja disembuhkan oleh sihir.

"Benar juga, aku merasa lebih ringan."

"Tinggal sedikit semangat dan keberanian saja lagi!"

Mungkin masalahnya tidak begitu besar, pikir Kutori pada dirinya sendiri.

"Kamu baru sadar sekarang?"

"Ah, yah..." Dia pikirkan apa yang terasa aneh baginya kali ini. Apa mungkin karena -- kepala dia mulai panas kembali sehingga dia tidak jadi mengingatnya -- pesan aneh itu? "... oh, apa kalian tau ia di mana?"

"Ia?" Lakish terlihat bingung untuk sesaat, namun mulai mengerti kemudian. "Kalau yang kamu maksud itu Willem, terakhir kali aku lihat ia ada di ruang referensi."

"Ruang referensi... tempat kita menumpukkan kertas-kertas?"

Apa yang bisa ia lakukan di sana? Hanya tumpukkan kertas kacau adanya, bukan tempat yang cocok untuk melakukan riset. Sejauh yang Kutori tahu, para peri hanya ke sana untuk sembunyi dari kewajiban piket, karena siapa juga yang mau memeriksa tempat itu.

"Ia bersama Nephren."

"... eh?"

"Collon!"

Lakish langsung menyentaknya karena menambahkan informasi yang tidak penting, tapi Collon nampak tidak peduli. "Mereka tidur berbarengan di sofa." Dia malah lanjut dan memperkeruh suasana.

"... ah,"

"Um... Kutori?"

"Aku ingat lagi ada urusan, aku mau keluar dulu. Terima kasih mau menengokku. Seperti yang kalian lihat, aku sudah sehat, kok, jangan khawatir."

"Ah, oke. Tapi..." Lakish dengan perlahan melihat Kutori. "Jangan keras-keras... ya?"

"Apa-apaan, sih?"

Kutori tertawa dan meninggalkan klinik.


Thumb


Untungnya mereka sudah merapikan sofa semalam. Willem bangun dengan posisi Nephren masih tidur di atas lututnya.

"Yah... kurasa kami mendapatkan cukup informasi," gumamnya dengan pelan agar tidak membangunkan asistennya.

Masih dipegang dalam tangannya segepok kertas-kertas. Meski belum cukup untuk mencapai target yang diinginkan dan ada beberapa hal tak terduga yang ikut tercampur ke dalamnya, Willem bisa mendapat sedikit dari hal yang ingin ia ketahui.

Ia arungi satu demi satu kertas yang menjelaskan mengenai usul dari peri. Berdasarkan yang ia baca, kata peri itu sendiri bisa dimaksudkan pada beberapa spesies-spesies berbeda: roh api yang kerap menipu wisatawan yang tersesat di hutan, anak-anak bersayap yang dikitari oleh aura cahaya yang terus bersinar, orang-orang cebol yang hanya tumbuh sampai selutut orang dewasa. Kesemuanya nampak sulit dimengerti dan berbahaya yang takkan sampai menyakiti.

Semuanya juga menggunakan suatu macam sihir dan lebih memilih untuk tinggal di hutan. Terakhir, kebanyakan, mereka ada ketertarikan khusus terhadap manusia, mereka lebih suka untuk menjahilinya.

Penjelasan ini sepertinya memang cocok dengan peri-peri yang ditemui Willem. Tetapi, ia belum bisa tenang. Ia masih penasaran mengenai alasan kenapa ras peri, yang mana sulit dibedakan dari perempuan-perempuan Emnetwyte kecuali karena rambut warna-warninya, disebut dengan Leprechaun. Tapi saat ini, ia singkirkan dulu hal ini, karena masih ada hal lain yang harus ia ketahui.

Banyak hal yang bisa terjadi dalam lima ratus tahun... Pikir Willem sambil lanjut membaca.

Salah satu kertas menjelaskan teori dasar penujuman[3]. Dimulai dengan menganggap keberadaan arwah dan banyak hal gaib lainnya. Misalnya saja, awal mulanya, arwah berwarna putih suci sampai kehidupan pun mewarnainya. Alhasil, arwah butuh lebih lama untuk sampai dewasa ketimbang tubuh. Meskipun seorang anak kecil punya tubuh yang sangat sempurna, arwahnya akan sangat berbeda secara struktur ketimbang dengan yang dimiliki orang dewasa.

Jadi, jika seseorang kehilangan tubuhnya sebelum arwahnya diwarnai oleh dunia, bisa dibilang ia akan mati sebelum ia terlahir sepenuhnya. Arwah-arwah yang menghadapi kontradiksi ini semacam menolak aturan dunia, yang mana mereka seharusnya menuju alam baka (kalau tempat seperti itu memang ada), malahan mereka hanya menggentayangi mereka yang masih hidup , tanpa punya tujuan.

Keberadaan itu disebutnya peri. Roh hilang yang telah mati di usia belia hingga mereka tidak ingat kematian mereka. Karena ini, sikap mereka bisa seperti bayi atau anak kecil. Hanya dituntun oleh rasa penasaran, tidak tau yang hak dan batil, terkadang lugu dan kadang pula kejam, mereka meneruskan kenakalan mereka.

"Tapi mereka tidak akan pernah punya tempat di dunia ini..."

Willem melihat si anak kecil yang tertidur di atas lututnya, kemudian kembali melihat dokumen itu. Akhiran dari artikel ini membuatnya muak. Mudahnya, sisanya ini menjelaskan cara konkrit untuk melahirkan peri lagi untuk menggunakannya. Sekalinya membahas pengorbanan atau semacamnya, ia langsung berhenti membaca. ia tidak begitu tertarik mempelajari penujuman.

Dokumen lain menceritakan pertikaian yang terjadi lima tahun lalu. Seorang peri yang tidak diketahui Willem telah membawa Kaliyon yang disebut Insania ke dalam pertempuran. Dia telah bertarung dengan tiga tubuh 'Makhluk Buas ke-6' hingga Venenum miliknya hampir menggil, namun mampu bertahan dan kembali ke rumah. Langsung Willem membalik halaman selanjutnya, yang mana isinya mengenai hal yang sama juga. Sesekali ia temui tulisannya 'pembukaan gerbang menuju tanah peri', yang kemungkinan besar mengarah pada ledakan akibat penggunaan Venenum yang berlebihan pada diri sendiri.

Terus terang, peri-peri termasuk sub tipenya, Leprechaun, tidak hidup. Mereka dianggap sebagai hantu. Karenanya, mereka tidak bisa dianggap sebagai prajurit meskipun bertarung bersama tentara. Meskipun sesosok peri tumbang dalam pertarungan, dia tidak akan dihitung sebagai korban jiwa.

"Jadi itu kenapa mereka dianggap sebagai senjata, bukan prajurit..." gumam Willem dan mengelus-elus rambut abu di atas lututnya. Ia dengar erangan kecil dan mengira ia telah membangunkan Nephren, namun kemudian suara dia mendengkur kembali ada.

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Memang, apapun jawaban yang bisa ia temukan adalah kebohongan. Namun begitu, ia merasa harus memilih. Sekarang ini, siapa ia? Sebuah cangkang tanpa tempat kembali di umur yang kini? Sebuah anakronisme dari Quasi Brave yang telah kehilangan segalanya dan mimpinya? Seorang teknisi palsu yang menghabiskan hari-harinya hanya untuk mendapat uang? Atau mungkin...

Secercah cahaya memasuki jendela. Awan hujan masih menutupi langit, namun mentari pagi menembus retakan kecil untuk bisa tampil. Willem menyipitkan mata karena sontaknya cahaya datang. Menatap cahaya yang bersinar itu, untuk sesaat ia merasa melihat sesosok yang ia kenal.

"...aku ingin cepat-cepat bayar utang ini dan ke sana juga..." Ia tertawa kecil.

"Berisik... berhenti mengeluh, cepat lakukan saja sebisamu," nampaknya si sosok di balik cahaya itu menjawab.

Ah, sial. Si brengsek itu. Ia tidak tau apa yang sudah aku lalui dalam enam bulan ini.

"... Willem?" panggil suara dari atas lututnya.

"Ah, kau sudah bangun? Terima kasih atas bantuannya, aku temukan banyak hal."

"Hm, aku tidak melakukan apapun yang perlu kamu terimakasihkan." Dia kini melihat lurus padanya dari lutut. "Kamu kelihatan suram kalau aku tinggalkan sendiri, jadi aku bantu sedikit."

"Tapi tetap saja, terima kasih," kata Willem sambil ia elus lagi rambut abunya. Nephren kelihatan sedikit jengkel, tapi tidak menghentikan Willem.

"Baiklah, kita harus bangun. Kelihatannya kita kedatangan tamu."

Setelah ia katakan itu, ia dengar teriakkan kaget datang dari pintu yang setengah terbuka. Pintunya terbuka dengan bunyi keriat-keriut, menampakkan Kutori yang kelihatan mengantuk dan marah.

"... um, pagi."

"Pagi. Bagaimana keadaanmu?"

"Eh? Oh, um... sudah sangat baikkan."

"Syukurlah... aku ingat kalau aku belum pernah melakukannya pada anak-anak sebelumnya. Sedikit khawatir karena aku melakukannya dengan berlebihan, tapi..." Kutori terlihat jadi kaget ketika membahas pijatan tadi malam. "Juga... kau datang di waktu yang tepat. Aku harus memeriksa sesuatu. Ren, bangun. Sudah pagi." Ia angkat kepala Nephren dan menaruhnya di sofa, lalu berdiri.

"Kutori, ayo kita olahraga pagi."

"....eh?"



Di kala mereka bicara, langit yang tak menentu ini memutuskan untuk jadi cerah.

"Eh?"

Kutori berdiri di tengah-tengah lapang yang biasa digunakan anak-anak untuk main bola. Di dekatnya dia lihat Willem melakukan pemanasan dengan pakaian yang kelihatan fleksibel. Dan di samping dia, ada Nephren yang memegang sebuah buntelan kain panjang, yang pastinya adalah Senjata Galian. Dia lihat pada Nephren dan benda itu, lalu mengambilnya. Dia sangat kenal sentuhan itu. Melepas kain yang meliputinya akan mengekspos pedang peraknya. Senjata Galian dengan efisiensi aura sihir tertinggi dari semua Regular Aire, Seniolis. Kenapa dia membawanya sekarang?

"Kutori. Apa kau suka anak-anak yang ada di sini?"

"Eh?"

"Alasanmu siap untuk mati... apakah demi melindungi masa depan mereka?"

"Itu... itu tidak penting."

Willem sangat benar, tapi sekarang ini dia merasa tidak ingin secara jujur mengakuinya. Perasaan campur aduk yang dia lalui hingga sekarang ini tidaklah semudah itu hingga bisa hanya diucapkan oleh kata-kata. Juga, dia tidak ingin mengingat kalau dia menggunakan anak-anak itu sebagai alasan atas kematiannya.

"Ah... baiklah."

Willem melepas buntelan kain yang ia pegang, memperlihatkan sebuah model Senjata Galian yang besar.

Beberapa senjata sejenis sudah pernah digali, namun biasanya dianggap lebih lemah daripada pedang seunik milik Kutori.

"Aku ingin tahu apa rumornya benar. Ayo serang aku!"

"E-Eh?!"

Untuk sesaat Kutori meragukan apa yang baru saja dia dengar. Disenjatakan dengan Senjata Galian, dia bisa disebut sebagai salah satu pasukan terkuat di seantero Regul Aire. Dengan kata lain, sangatlah kuat.

Bahkan Reptrace yang disenjatakan dengan senjata berbubuk mesiu tidak bisa menyainginya.

"Apa kamu mengerti? Hanya karena kamu membawa Senjata Galian juga, tidak berarti kamu bisa sebanding denganku. Hanya kami yang punya kekuatan untuk mengaktifkan senjata-senjata itu."

"Hmm, kau yakin? Ayo kita coba. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi."

"Aku tidak sedang bercanda. Kamu mau jadi daging cincang?"

"Jadi tidak seru kalau begitu... tapi mungkin Naigrat akan suka itu. Pokoknya, jangan khawatir. Cepat tunjukkan apa yang kau bisa."

"... baiklah, kalau begitu."

Setelah dia pikirkan kembali, Kutori sadar kalau ini bukanlah pertama kalinya Willem mengatakan hal tidak masuk akal. Juga, dia harus menanyakan mengenai tidurnya Willem dan Nephren tadi. Menakutinya dengan kegagahan dalam bertarung sebelum menanyakan hal itu bukanlah ide buruk.

Merasakan si penggunanya memasuki kuda-kuda bertarung, Seniolis mengeluarkan suara teriakkan pelan. Retakkan kecil yang menyelimuti pedang itu kini melebar hingga jadi celah, yang memancarkan cahaya remang, perwujudan dari Venenum.

Susunan dan inti dari Senjata Galian tidak begitu dimengerti oleh tentara. Akan tetapi, mereka tahu kalau dari pedang itu akan tumbuh kekuatan di dalamnya yang proporsional dengan jumlah Venenum yang diberikan oleh si pengguna; jika sesosok Leprechaun mengerahkan semua Venenumnya, Teimerre sekali pun tidak akan mampu menahannya. Dan itu saja hal yang perlu mereka ketahui.

"Kamu yang minta... jadi jangan menyesal nanti."

Peningkatan kemampuan konsentrasinya langsung mengubah pandangannya. Warna-warna hilang di sekitarannya, seakan dia bergerak di dalam air. Pandangannya harus mencakup hingga jarak sekitar dua puluh langkah, tapi, dalam kondisinya sekarang, hanya dua langkah saja akan cukup. Kekuatan langkah-langkahnya bisa saja membuat lubang kecil di tanah, tapi sekarang dia tidak ada waktu untuk memikirkan itu.

Willem masih terlihat belum siap. Serangannya pasti akan jadi serangan yang mengejutkan. Dia mengunci pandangannya pada Senjata Galian yang dipegang Willem dengan tidak erat di tangan kanan. Jika dia bisa mengenyahkan senjatanya itu, langsung akan selesai tanpa perlu ada yang terluka.

Jarak di antara mereka mendekat dengan cepat. Tangan kanan Willem mulai masuk ke dalam jarak serang dari Seniolis. Tidak ada yang bisa mengikuti kecepatan gerak Leprechaun, termasuk Willem tentunya. Ia tidak mungkin bisa menghindari ataupun menangkis serangannya.

-- Kutori disayat.

... eh? Sebilah pedang menyayat dari kiri dan terus secara diagonal hingga sejajar pundak kanannya, juga menghancurkan tulang rusuknya saat menerpa. Ujung peraknya menyibakkan paru-parunya dan terakhir, tenggelam dalam jantungnya. Inderanya yang diperkuat semakin bisa menerima rasa sakitnya. Darah merah menyala memancar keluar, melukiskan ketidaksesuaian yang jelas terhadap birunya langit di latar. Dia bisa merasakan kematian mendekat.

Kenapa... tidak mungkin... bagaimana... Pemikiran-pemikiran singkat muncul dalam pikiran dengan tidak menentu, dan hanya hilang di kemudian. Dia telah siap untuk mati, namun tidak mengira akan di sini. Kekosongan yang mendekat menakutkannya. Matanya hanya melihat birunya langit, terus berputar selama-lamanya.

Punggungnya menghantam tanah, menyebabkan paru-parunya menjerit seperti kucing yang dihancurkan.

"... eh?"

Dengan kedua tangan dan kaki yang terbuka lebar-lebar, dia terbaring di tanah, menatapi langit. Dia masih melamun begitu untuk beberapa saat, menunggu kematiannya saja. Namun ternyata, dia menyadari hal aneh. Dengan hati-hati dia gerakkan tangannya, dia tepuk rusuknya, tempat di mana pedang tadi pertama menusuk. Tidak ada bekas luka. Tidak ada juga darah yang memancar. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada bekas luka oleh kekerasan yang baru saja terjadi padanya.

"Apa... yang terjadi?"

Dia bangun dan duduk perlahan. Seniolis, yang dia jatuhkan barusan saat terhempas, terguling di tanah dekatnya.

"Kalian salah mengerti masalah fundamental Kaliyon."

Kutori panik dan melihat arah datang suara Willem. Si pemuda berambut hitam ini berdiri di sana dengan santainya tanpa kelihatan berhati-hati

"Ini tidak merubah kekuatannya mengikuti jumlah Venenum yang dikeluarkan si pengguna. Apa bisa kau bayangkan kalau pedang-pedang ini, ditempa untuk membantu Emnetwyte yang super lemah yang tidak punya Venenum untuk membantu mengalahkan para Elf dan Naga yang kuat, hanya menambah sedikit kekuatan saja pada si lemah ini?"

Willem mulai membicarakan suatu hal. Kutori mulai merasa jengkel, tapi tidak mengerti kenapa. Sesuatu dalam kepalanya seperti mengajarkan padanya kalau dia tidak bisa mendengar perkataannya Willem lagi.

Dia fokus. Lagi, penglihatannya kembali berubah. Bergerak secara sontak, Kutori mengambil kembali Seniolis dari tanah dan tetap merendahkan tubuhnya, bersiap untuk serangan Willem. Dia tidak melihat serangan yang barusan diterimanya, namun dia tahu betul kalau itu pastinya adalah teknik untuk menangkis yang menggunakan momentum dirinya sendiri sendiri terhadap dirinya sendiri. Kutori yang dibutakan oleh kelebihannya yang bisa mengaktifkan Senjata Galian dan kemampuan untuk mempercepat inderanya, tidak pernah mengira hal seperti itu sebelumnya. Willem menyerangnya tepat di titik buta akibat keteledorannya. Kematian semu yang dia lihat pun bukan hanya sebatas khayalan, namun masa depan konkrit yang akan ditemui Kutori jika Willem tidak menahan diri. Dia hanya bisa menerima bahwa ia memiliki kemampuan berpedang, entah kenapa.

Tetapi, Kutori menolak untuk mengetahui hal lainnya. Dia tidak bisa menolak cara para peri yang sudah dipegang dalam waktu lama untuk menggunakan Senjata Galian dalam pertarungan. Sekarang ini, tubuhnya bergerak dengan lebih mudah dari biasanya. Dia merasa terhina karena mungkin pijatan Willem ini yang sudah membuat tubuhnya ringan, tapi dia tetap merasa berterimakasih. Terbakar oleh Venenum, dia bergerak secepatnya sejauh dua langkah yang biasanya butuh sepuluh langkah jaraknya. Langsung berhenti di saat masih di luar jangkauan serang senjata Willem, Kutori sengaja menunggu sekian detik untuk melancarkan timing-nya, dan kemudian melompat ke udara. Pedang perak di tangan kanannya mengarah pada pundak, tapi serangan sesungguhnya adalah tendangan kaki kiri yang mengarah pada rusuknya Jika kena, tendangan yang diperkuat Venenum ini sudah bisa membuat Willem tidak sadarkan diri. Tapi dia harus melakukannya sampai sejauh itu, karena jika tidak, ia tidak akan mengerti.

Mengerti apa?

Keraguan pun muncul dalam benaknya, namun langsung dia singkirkan. Kali ini, dia bisa melihat pergerakan Willem. Dengan manuver tenang, ia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan dari Seniolis. Ini menyebabkan Kutori terpental untuk sepersekian detik, memberikan kesempatan bagi Willem untuk menggerakkan tangan kirinya pada sisi perut Kutori.

Dinamik dalam situasi ini berubah jadi buruk. Tubuh Kutori terputar dan terbalik ketika terhempas di udara.

A-Apa!?

Sekali lagi, langit musim gugur yang tak berawan mengisi pandangannya. Tetapi, setidaknya dia tidak sekarat. Dengan tangan kirinya dia menggapai tanah dan memaksa menghentikan pentalan ini dengan jari-jarinya. Kelima kuku jarinya yang masuk ke dalam tanah serasa mau hancur, tapi Kutori bisa mempertahankan keseimbangannya.

"Wah... pengembalian yang baik."

Suara Willem yang terpanah hanya membuatnya semakin geram. Dia jadi yang terpanah sekarang.

"... kenapa bisa?" Tanya Kutori, suaranya gemetar karena frustasi.

"Hm? Kenapa?" Timbal Willem dengan datar.

Sepertinya ia tahu dia memiliki pertanyaan untuknya. Kutori, yang sudah tidak punya motivasi lagi untuk melakukan serangan kejutan lain, hanya jalan pincang dan mengayunkan Seniolis. Dengan tenang Willem menggunakan pedangnya untuk menangkis. Dia bisa melihat adanya cahaya keluar dari retakan pada Percival.

“Mau sekuat apapun aku paksa sihir penglihatannya, aku tidak bisa melihat ada Venenum yang keluar dari tubuhmu. Tapi pedang itu sudah aktif. Kenapa ada aturan yang terlanggar begini?"

"Aku baru saja mau menjelaskan waktu kau mau membunuhku... Kaliyon didesain untuk menggunakan kekuatan dari setiap orang yang disentuh pedang itu, bukan penggunanya. Semakin kuat musuhnya, semakin kuat juga pedang tersebut. Itu kenapa ini bisa digunakan untuk membunuh para Naga dan Dewa. Kali ini, Percivalku bisa dengan mudahnya meniru semua Venenum yang kau berikan pada Seniolis. Baiklah..."

Kutori merasakan sesuatu yang membuatnya gentar. Sebuah serangan datang. Langsung karena insting, tubuhnya bergerak mundur sekuat tenaga sembari meningkatkan setiap indera dan menyurutkan warna-warna dalam pandangannya. Setelah menghindar secepat kilat, dia hilang keseimbangan dan berakhir jatuh di tanah.

Dia tidak tahu apakah tadi gerakkan yang betul atau tidak untuk dilakukan, sementara Willem belum beranjak dari tempatnya sedikitpun. Ia masih dalam postur yang sama, hanya memegang pedangnya dengan begitu, hanya ekspresi terkesan saja yang kini jadi pembeda.

"Tubuh dan pikiranmu kelihatannya bergerak dengan baik. Venenummu pasti bekerja dengan baik. Juga, kau punya persepsi yang baik. Mungkin kau bisa meningkatkan strategimu, tapi tidak begitu penting jika tipe pertarungan yang kau geluti hanya itu. Juga, kau masih punya pilihan untuk mengamuk, kan? Yah. Wajar saja kau masih bisa bertarung dengan caramu itu hingga sekarang.

Willem menjatuhkan pedang di tangan kanannya. Kutori yang masih waspada terhadap trik lainnya, berdiri dengan kening yang mengerut, tapi Willem masih terus bicara.

"Aku senang. Kau kuat, dan kau masih bisa tumbuh lagi. Jadi...sebaiknya... kau harus pulang.". Pada akhirnya, suara Willem hampir seperti hanya bisikkan.

Goyah tubuhnya sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan menghadap langit, menyebabkan debu-debu bersebaran. Kutori masih tidak lengah. Dengan hati-hati dia melihat pedangnya yang telah tergeletak di tanah, kedua kakinya mengarah pada dia, kedua tangannya terbuka lebar seakan ingin memeluk langit, matanya yang tak bernyawa menatap ke atas... tak bernyawa?

Setelah Kutori menyadari ada hal yang aneh, Nephren mendekat untuk memeriksa denyut jantung dan nadinya.

"Ah." Dia kelihatan tidak begitu terkejut.

"A-Ada apa?" Tanya Kutori, yang masih waspada. Dia sedari tadi kerap dikejutkan oleh Willem, hingga kini masih belum mampu melemas. Atau begitulah kurang lebih hal yang dia katakan sambil terus menggenggam Seniolis.

"Ia sekarat," ucap Nephren dengan desahan.

"...eh?"















Bagian 5: Si Perempuan Mekanis yang Tangguh

Reptrace besar dengan wajah macam batu muncul melalui kristal komunikasi.

“Ramalannya masih berlangsung. Serangannya akan mengarah pada daerah yang sebelumnya ditandai. Kita harus cepat-cepat; lepaskan para elang dan asah anak panah."

Dia bertutur dengan karakteristik Reptrace yang aneh sikapnya dan sulit dimengerti pelafalannya. Orang yang tidak terbiasa akan sulit menangkap maksud dari pesannya, yang mana, jika diterjemahkan ke dalam bahasa biasa, jadinya begini:

"Masih belum ada perubahan dari yang kita prediksikan. Serangannya akan dilancarkan pada waktu dan tempat yang sudah kita antisipasi. Kita harus segera mempersiapkan medan tempur dan senjata kita."

"... ah, oke. Atau, yah, aku sudah tahu,". jawab Naigrat, yang lagi berusaha menahan amarahnya yang menggebu-gebu dalam kepala. Jika pergerakan musuh sesuai dengan yang direncanakan, ini berarti rencana Naigrat pun akan selaras. Bisakah mengatakannya tidak usah pakai 'anak panah' juga? Mulutnya serasa bergerak sendirinya dan meneriakkan ocehan tadi jika dia lengah.

Jadi Naigrat mengunci emosinya di dalam, dan, di salah satu sudut otaknya, dia buat dirinya yang baru. Diri yang selalu bisa memilih pilihan tanpa ragu dan bertindak tanpa diperdaya oleh emosi lemah. Diri mekanis yang dia bisa paksa untuk melakukan semua pembicaraan.

"Tiga hari dari sekarang, jam delapan, aku akan mengirim tiga dari lima pengguna Senjata Galian ke distrik pelabuhan, dengan persenjataan lengkap."

Kalian ini tentara, kan? Kerjaan kalian meresikokan diri di garis depan dan siap buat mati, kan? Terus kenapa belum ada satupun dari kalian yang mati!? Kenapa hanya perempuan-perempuan sini saja yang jadi korban!?

"Salah satu dari ketiga itu, Kutori Nota Seniolis si prajurit peri, akan membuka gerbang menuju tanah peri dalam misi."

Aku ragu kalian ini bekerja keras! Aku tidak bisa menerimanya! Berjuang lebih keras! berpikir yang benar! Cari cara lain untuk bertarung! Selamatkan anak-anak kami!

"Dua lainnya, Aiseia Muse Valgalis dan Nephren Ruq, Insania prajurit peri, akan siap jadi pengganti. Jika pertarungannya belum berakhir saat Seniolis membuka gerbang, mereka akan disenjatai sebagai tindakan preventif di sana."

"Mereka masih belum mengerti rasanya cinta. Mereka tidak akan tahu artinya kebahagiaan yang nyata. Tapi kenapa... mereka harus pergi dengan cepat?

"'Mata panah' yang disebut tadi akan disuplai pada Tentara Bersayap oleh Gudang ke-4 Perusahaan Perdagangan Orlandri."

... kenapa kami tidak bisa menggantikan mereka?

Tapi Naigrat sudah tahu jawaban dari pertanyaannya. Peri yang sudah dewasa mampu menggunakan kekuatan yang sangat besar. Jadi tentu, veteran dalam tentara paham betul keunggulan penggunaan mereka sebagai pengorbanan dalam pertarungan. Sama sekali tidak bimbang oleh perasaan seperti yang terjadi pada Naigrat, mereka mungkin lebih mengerti bahwa itu terpaksa harus dilakukan.

Akan tetapi pengorbanan dari senjata ini berarti para peri harus siap untuk menderita kekalahan permanen demi mendapat kesempatan untuk menang. Walau begitu, tetap tidak akan ada pengganti para peri. Apapun selain itu hanya akan seperti memasukkan segelas air ke dalam neraka yang membara, yang mengancam seantero pulau. Meski Naigrat mungkin ditakuti oleh masyarakat sekitar karena seorang troll, namun pada akhirnya dia hanya itu: sebatas troll saja. Dia tidak bisa melindungi satu pun hal yang dia ingin lindungi atau mendapat hal yang dia ingin dapatkan. Naigrat sadar.

Dia sangat menyadarinya.

Dengan bunyi kertak, pengiriman melalui kristal komunikasi terputus. Kemudian, emosi yang bertumpuk dalam dirinya juga menggertak.

"Agghhhh!!!" Naigrat berderu dengan menderitanya. "Kenapa!? Kenapa kenapa kenapa!?!?" Menghadap pada langit-langitnya, dia keluarkan semua kekecewaannya.

Diri mekanis yang telah dia buat di sudut otaknya? Sudah dia buang benda menjijikkan itu ke dalam tong sampah dan merobek-robeknya sampai kecil.

"Kenapa... kenapa..."

Ledakkan emosi ini pun mulai mereda, dan deruannya berubah menjadi seduan halus. Air mata melimpah di matanya sebelum menetes ke lututnya, menodai roknya.

Naigrat pernah memilih untuk jadi wanita yang kuat. Seseorang yang bisa diandalkan oleh anak-anak. Seseorang yang bisa menjadi sesuatu yang seperti sosok ibu bagi anak-anak itu yang tidak pernah miliki ibu .

Atau setidaknya, bisa menjadi seseorang yang bisa bertingkah begitu.

Hari itu, dia bersumpah pada dirinya sendiri. Apapun yang terjadi, dia tidak boleh menangis. Hanya anak-anak itu yang benar-benar butuh menangis, seseorang yang benar merasakan takut. Jadi Naigrat harus bisa ada di sana untuk menghentikan tangisan mereka. Betapapun dia merasa kecewa atau betapapun perasaan yang dia tahan, dia harus bisa mendukung anak-anak itu dengan senyuman.

Bodoh sekali... bagaimana bisa aku seperti itu? Bagaimana bisa aku menghentikan tangisan mereka kalau aku sendiri tidak bisa menghentikan tangisanku?

Kegagalan dari seorang wanita tangguh yang menangis seperti bayi. Tidak ada yang menenangkannya. Tidak ada yang mau menghentikan tangisan dia. Jadi dia menangis, dan menangis, dan menangis, tanpa terlihat akhir dari tangisan ini.

"Permisi masuk! Darurat!"

"Naigrat, kamu di sini?"

"B-B-Bahaya!"

Hal itu terjadi secara tiba-tiba. Pintunya terbuka dengan sangat kuat hingga bisa saja hancur, kemudian tiga peri kecil melompat masuk. Beruntung, dia masih menghadap kristal komunikasi sehingga hanya punggungnya saja yang bisa nampak dari pintu. Jika dia bisa menahan tangisnya sedikit, anak-anak itu tidak akan melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan ini.

"H-Hei, ketuk dulu sebelum masuk." Dia memarahi mereka dengan pelan dengan masih tidak menghadap mereka, dia mencoba menyembunyikan suara gemetarnya.

"Tidak ada waktu! Ini darurat!"

"Cepat! Kita harus buru-buru!"

"Kalau tidak sekarang, mereka akan mati!"

Mati? Oh... mungkin mereka membicarakan itu, ya? Jika mereka membicarakan Kutori, tentunya Naigrat sudah tahu. Tapi seharusnya tiga hari lagi. Kutori, sebagai peri tertua, di luar dia selalu bertingkah laku seperti orang dewasa, tapi di dalam dia hanyalah anak kecil. Anak kecil manja yang menolak untuk bertingkah seperti begitu, dan juga...

"Sepertinya Willem akan mati!" Hening.

... eh? Mati? Willem? Satu demi satu kata sampai pada otaknya, yang mana telah dilumpuhkan oleh tangisan-tangisan tadi. Dia hanya duduk dan memproses setiap informasi tadi untuk beberapa saat, hingga...

"Apa yang terjadi!?" dia teriak dan mengambil kotak obat, kemudian berlari ke luar ruangan.



















Referensi Penerjemah

  1. Kalau kalian kurang paham dengan kalimatnya yang begini, intinya adalah: hanya air yang dirasa enak bagi keduanya. Jadi begitu reaksinya mereka. Suram...
  2. Dug Weapon. Di animenya disebut Dug Weapon secara langsung, sih. Tapi Senjata Galian pun ga buruk. Gimana?
  3. Perihal ramal-meramal (Necromancy).





Bab 2: Dalam Dunia Misterius Ini Halaman Utama Bab 4: Tatkala Perjuangan Ini Berakhir