Bagian 4: Langit Berbintang di Balik Langit Berbintang
“Sepertinya dia dalam kapal pengintai dari Tentara Bersayap di dekat Pulau Ke-66."
"...kok dia bisa ada di sana?"
"Aku tidak tahu, tapi dia berkata akan kembali ke rumah. Dia akan naik kapal dulu untuk sementara, sisanya dia akan terbang sendiri."
Dengan sebuah ketukan, Naigrat memutus hubungan dari kristal komunikasi.
"Cara kabur dari rumah yang menarik, ya? Sepertinya dia tidak tahu betapa khawatirnya kita..."
"Iya. Anak-anak yang punya sayap punya banyak cara untuk berekspresi, ya? Aku cemburu. Caraku menghilangkan stress cuma makan saja yang banyak." Perasaan putus asa terukir pada wajahnya ketika dia mendesah. "Mereka sangat menyukaimu. Bukan hanya dia, tapi anak-anak lain juga. Sebagai pengurus mereka, aku akui aku ini sedikit iri."
"Hmm... aku tidak tahu soal itu."
"Kamu belum sadar?" Naigrat menutup mulut dengan kedua tangan karena terkejut. "Kamu ini bodoh, ya? Atau kamu itu tipe yang sembunyi-sembunyi?"
"Maksudnya apa..."
"Hm, kalau boleh dikatakan, itu adalah klasifikasi bagi 'lelaki yang pura-pura tidak tertarik dengan hubungan romantis, tapi diam-diam ingin didekati oleh perempuan'."
... itu sama sekali tidak membuatku mengerti.
"Kalau kamu ini yang tipe orang bodoh, itu berarti kamu benar-benar tidak sadar kalau kamu ini disukai, dan mungkin tidak akan pernah menyadarinya sendiri. Si perempuan akan frustasi seiring dengan usahanya yang terus ada untuk mendekatimu, yang merupakan hal sia-sia. Itu adalah salah satu tipe kesalahan, yakni kesalahan dalam memahami perasaan cinta perempuan, malah menganggapnya perasaan lain
Sedangkan si tipe sembunyi-sembunyi sebenarnya sadar kalau ia disukai, tapi pura-pura tidak tahu. Efeknya sama seperti tipe yang bodoh, tapi mungkin akan timbul rasa bersalah karena terus-terusan berbohong, atau mungkin si perempuan nantinya akan sadar juga kalau kamu cuma pura-pura.. masih bisa untuk ada perkembangan lagi kedepannya. Jadi intinya, kamu tipe yang mana?"
"...ada banyak hal dari penjelasanmu yang sedikit berlebihan sampai-sampai aku tidak tahu harus mulai dari mana." Willem mendesah panjang. "Kalau kau ingin membicarakan masalah fiksi dan percintaan, sebaiknya jangan. Maksudku, aku pun setuju bahwa aku sepertinya disukai oleh beberapa dari mereka."
"Hmm?" Naigrat membuka matanya lebar-lebar. "Itu sedikit mengejutkan. Aku kira kamu tipe karakter yang tidak akan sadar dengan masalah ini."
"Karakter apanya... aku bukan lagi pura-pura atau akting." Willem menggarukkan kepala. "Aku ingin kita serius bicaranya. Cinta ini sesuatu yang tiba-tiba muncul ketika sudah tiba masanya, entah kau sudah atau belum punya pasangan. Kebanyakannya bisa dengan cepat menemukan orang untuk mengisi perasaan itu. Orang terdekat yang merupakan lawan jenis, salah satu idola kita yang jauh, atau orang yang telah kita impi-impikan untuk bertemu. Beberapanya bahkan terus mengejar mimpi sia-sia itu dengan perasaan mereka sampai akhir.
... dan perempuan-perempuan di sini tidak pernah bisa dapat kesempatan untuk melakukan hal-hal itu. Kemudian, aku pun datang. Target mereka pun yang awalnya nol bertambah menjadi satu. Jadi, dengan pemikiran aneh mereka, mereka meyakinkan diri mereka kalau mereka sedang jatuh cinta. Kira-kira seperti itu --- kenapa matamu begitu?"
Ia sadar kalau Naigrat sekarang sedang menatapnya dengan sangat serius.
"Mata ketidakpercayaan akan lelaki tenyata jauh lebih buruk dari yang aku kira."
"Apa... aku yakin aku tidak mengatakan hal yang aneh. Pokoknya, aku merasa sebagian dari mereka menginginkan figur ayah. Tentunya aku senang mereka menyukaiku, tapi hanya sebatas itu saja."
"Jawaban membosankan, ya?"
"Membosankan berarti damai. Tidak ada yang lebih baik daripada itu, kan?"
"Mungkin... memang benar, sih, tapi..." Naigrat menunjuk tepat pada dada Willem. "Sebagai seorang gadis, biar aku katakan ini. Meski aku menghormati tanggapanmu yang dengan filosofis ini, pada akhirnya kamu masih tetap mengabaikan perasaan mereka. Meskipun mereka anak-anak, mereka ini masihlah perempuan yang punya perasaan. Aku tidak suka laki-laki yang tidak bisa mengerti."
Willem berpikir apa Naigrat masih bisa digolongkan sebagai 'gadis' di umurnya sekarang, tapi memilih untuk tidak sampai membahasnya. Setidaknya ia sudah mengerti itu.
"Dan meskipun membosankan, bagi beberapa dari mereka mungkin itu adalah terakhir kali untuk mereka memiliki perasaan seperti itu lagi. Jadi aku ingin kamu untuk menghadapi mereka dengan baik. Aku tidak sedang bercanda di sini; ini permintaan langsung dari lubuk hatiku."
"Tidak bisa." Jawabannya langsung saja. "Kalau percintaan atau apapun itu sangat penting, maka akan lebih pantas untuk tidak memaksanya hingga terburu-buru dalam tempat sempit ini. Regul Aire itu luas. Ada ribuan lelaki tulen di luar sana. Adalah tugas seorang ayah untuk membuat anak perempuanmu dipinang oleh salah satu dari lelaki di luar sana."
Willem butuh waktu untuk memikirkan apa yang baru saja ia katakan. Tentu, ia tidak pernah begitu memerhatikan sekitar dengan kedua matanya, jadi ketika ia berpikir tentang lelaki, yang ada dalam pikirannya adalah orang-orang yang punya kulit hijau atau muka babi atau sisik pada tubuhnya. tapi tunggu... apa mungkin diskriminasi penampilan dan ras sekarang ini sudah tidak ada lagi? Karena kalau kamu hanya melihat sifatnya saja, mungkin di luar sana masih ada laki-laki yang masih lumayan... ia membayangkan sebuah skenario. Bagaimana jika suatu hari Kutori datang ke rumah dan mengenakan sesosok Borgle dan berkata, 'kami sedang dalam hubungan yang serius'? Apa ia masih bisa tetap memberikan senyum?
“Ah!? Kamu kenapa?”
“Oh, maaf. Baru saja terpikirkan, ternyata Grick memang bukan orang yang buruk, kalau kita lihat ia dari sudut pandang itu..."
"Itu tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kita!"
Willem memandang ke luar jendela. Tidak ada sebutir pun awan mengalir di udara. Ini malam yang damai.
"Aku ingin keluar. Kalau kau masih mau bicara, kita lakukan saja nanti."
"Tunggu, kamu mau ke mana?"
"Lihat-lihat bintang atau semacamnya. Aku pinjam kuncinya.". Ia melambaikan tangan dengan pelan, kemudian keluar dari ruangan.
"Eh? Hei! Tunggu. Kuncinya!"
Ia pura-pura tidak dengar teriakkan Naigrat di belakang.
✵
Willem berdiri di puncak bukit di dekat ujung Pulau Ke-68 sambil membawa Seniolis yang ia bawa dari gudang. Angin lembut berlalu, udaranya terasa bersih dan menyegarkan, dan bintang-bintangnya berkilap dari kejauhan. Ini adalah malam yang sempurna.
Ia menanggalkan kain yang menutup Seniolis, membeberkannya pada angin. Lalu Willem menyalakan Venenum dengan jumlah sedikit. Sebuah bekas luka menggerogoti dahinya, namun untuk sekarang ia bisa menahannya.
"Mulai perbaikan," gumamnya dan menyentuh sebagian dari serpihan logam bersinar yang ada di tubuh pedangnya. Dengan bunyi kecil, sebagian itu terpisah dari pedang dan melayang di udara hingga berhenti lima langkah dari Willem. Setelah sudah pada posisinya, bagian itu memancarkan suara dering dari saron[1] yang dipukul.
Ia menyentuh bagian logam yang lain. Yang itu pun melayang di udara sebelum berhenti di jarak yang tak jauh. Suara yang dihasilkannya sedikit berbeda dengan yang sebelumnya. Ia terus ulangi proses itu dengan yang lain. Dan yang lain lagi.
Pedang Seniolis legendaris ini berisikan empat puluh satu pecahan logam yang disatukan dengan garis mantra. Dengan memanipulasi garis mantranya, Willem bisa menguraikan pedangnya menjadi serpihan-serpihan. Tak lama, hanya sebuah kristal, yang sebelumnya ada di dalam pedang, yang masih berada di tangannya. Empat puluh satu serpihan tadi mengelilinginya dengan melayang sembari memancarkan cahaya lemah seakan membuat langit berbintang miliknya sendiri.
"Baiklah..."
Pertama, ia lihat keadaan senjatanya secara umum. Beberapa daya tahannya, seperti terhadap racun atau kutukkan, sepertinya bekerja dalam tingkatan lebih tinggi dari biasanya, sementara yang lain seperti terhadap kelumpuhan, sangat sulit bekerjanya. Ini pasti karena lamanya penggunaan tanpa pernah diperbaiki sama sekali. Kebiasaan si pengguna dan tipe pertarungan yang telah pedang ini lalui mungkin jadi yang paling mempengaruhinya selama ini.
Lalu, ia memeriksa beberapa parameter lain. Kalau boleh dikatakan, ini sudah kacau balau. Karena sudah digunakan untuk waktu lama dengan memaksakan sihir masuk ke dalamnya, masalah muncul di mana-mana. Penghalang Venenum besar telah terbentuk di akar sirkuit utama yang mana ada di sekujur pedangnya, ditambah tonjolan-tonjolan yang ukurannya nya berbeda-beda di sekitarnya. Tiga garis mantra telah hancur sepenuhnya, dan hampir semuanya sudah sangat parah kondisinya, ini semua bekerja dengan kondisi efisiensi yang di bawah tiga puluh persen dari biasanya.
"Bagaimana bisa kalian tetap bertarung dengan ini..." gumamnya sambil tertawa.
Willem sedikit menyentuh kristalnya dengan ujung jari, memberikan sedikit Venenum. Itu menyalakan garis mantra yang sebelumnya tak terlihat, yang kemudian garis mantra ini tersedot oleh salah satu serpihan logam. Terdengar kembali deringan logam di udara. Ia mengirimkan lagi Venenum, yang mana menyebabkan garis mantra yang berbeda bersinar dan serpihan logam lain pun berdering.
Ia ulangi prosesnya. Lagi dan lagi. Cahaya dan suara menari-nari di udara sekitar Willem. Satu demi satu, garis mantra yang terbengkalai pun bangun, dan serpihan logam yang mati pun kembali mendapatkan tenaga.
--- ia merasakan seseorang ada di belakangnya.
"Selamat datang, Nona yang Melarikan Diri." kata Willem tanpa membalikkan badannya pada si pendatang.
"... kamu sedang apa?" si orang yang ada di belakang bertanya dengan curiga, tanpa dulu membalas sapaannya.
"Seperti kelihatannya. Sedikit mengurusi partnermu."
"Tunggu dulu. Kamu tidak meminta izin pada penggunanya dulu?"
"Aku ini manajer di sini, kan? Aku hanya butuh izin dari diriku sendiri." Ia terkikih.
"Tawa itu tidak cocok buat kamu."
"Hmm, iya, kah?"
"Aku lebih suka tawaan kamu yang lembut."
"Hmm..."
Belum lama tadi, ia mengatakan pada Naigrat kalau ia sadar pada perasaan perempuan. Ia telah mencoba untuk tetap tenang dengan mengatakan ia akan dengan logis menolak perasaan-perasaan itu. Akan tetapi, barusan, jantungnya sempat berdegup kencang.
"Baiklah, silahkan lanjutkan konsernya."
"Konser?"
"Suara-suara indah itu. Tapi kurang begitu harmoni, sih."
“Aku tidak sedang konser simfoni atau apapun."
"Kalau begitu konser jalanan saja. Aku tidak akan memberi uang, sih..."
"...kau ini pengunjung aneh, ya?"
Willem mengembalikan fokusnya pada kristal yang tergeletak di telapak tangannya. Kutori duduk di samping Willem, saling bersandaran. Sekali lagi, bunyi deringan logam itu mengisi langit malam di sekitar bukit.
"Cahaya ini... dari mana?"
"Kaliyon dibuat dari banyak Talisman yang disatukan dengan garis mantra dalam bentuk pedang. Kau tahu Talisman itu apa?"
"Aku pernah dengar sebelumnya."
Sekarang ini, semua metode yang berhubungan dalam pembuatan maupun perbaikan pedang itu sudah hilang, wajarnya, hilang pula detail-detail kecil dan teknik rahasianya. Yang dia ketahui adalah bahwa sihir-sihir kuat itu atau Keistimewaan bisa dituliskan ke dalam kertas, keramik, atau potongan logam. Mereka yang bisa menguasai serpihan itu mendapatkan fungsi dari sihir yang terkandung padanya... atau semacamnya.
Biasanya, benda seperti itu masih dibawa dari tanah bawah oleh pemburu. Sepertinya, benda itu tidak begitu langka untuk dipindahtangankan di kalangan orang kaya kelas atas.
"Cahaya melayang yang di depan matamu ini... adalah Talisman untuk melindungi lidahmu agar tidak terasa terbakar ketika kau meminum sesuatu yang panas."
"...eh?"
"Yang di sebelahnya bisa memberitahumu jalan menuju Utara sekalipun kau sedang ada di tempat antah-berantah. Yang di atasnya bisa menghalau mimpi buruk saat kau tidur ketika demam. Juga, kami punya yang bisa membuatmu menirukan suara kucing dengan sempurna, yang bisa melindungi kuku jarimu agar tidak tergores, yang bisa membuatmu dapat sisi gambar dengan rasio enam banding sepuluh saat pelemparan koin..."
"Tunggu dulu. Ini Seniolis, kan? Seniolis senjata legenda? Bukan seratus jimat-jimat kecil, kan?"
"Coba bayangkan sebuah makanan. Beberapanya, kalau kita makan secara terpisah, rasanya akan enak dan aman saja. Tapi kalau kau makan semuanya sekaligus, atau dikombinasikan sedemikian rupa, makanan ini bisa menghancurkan perutmu. Ini pun sama.
Kalau kau satukan Talisman-Talisman berbeda dengan garis mantra, maka hasilnya akan berbeda karena ada mekanisme kompleks yang bereaksi. Aku bukan spesialis jadi aku tidak begitu tahu detailnya, tapi insinyur yang ada di atelir pusat berkata seperti itu.
Bicara mengenai Seniolis sendiri, itu merupakan salah satu Kaliyon tertua. Aku dengar senjata ini ada karena kecelakaan yang ajaib di medan perang. Itu kenapa sangat banyak Talisman-Talisman aneh dan tidak jelas."
"Hmm..." Kutori memiringkan lehernya dengan bingung, melihat ke semua Talisman yang melayang. "Aku tidak tahu soal itu. Karena ini senjata legendaris suci dan seterusnya, aku kira ini diturunkan oleh dewa atau semacamnya."
"Yah, sayangnya bukan begitu."
Ketika itu, para Emnetwyte, tentunya, berusaha mati-matian untuk bertahan hidup. Untuk memenuhi tujuan itu, mereka mengerahkan semuanya. Bertarung bukanlah bisnis yang menarik. Akan tetapi, mereka masih tetap mengejar keindahan dan kesempurnaan. Jadi mereka menamai simbol kekuatan yang mereka tunggu-tunggu dengan sebutan Kaliyon, atau pedang suci.
“Aku mengerti.” Kutori terdiam untuk sesaat. Bunyi dering dan cahaya masih menari mengelilingi mereka. "Tadi, aku bicara dengan Pak Opsir Kelas Satu." Perlahan, dia mulai berbicara lagi. "Ia bilang kalau aku tidak mau, aku tidak perlu membuka gerbang menuju tanah peri. Demi menumbuhkan kekuatan dan memantapkan hatiku, ia berani bertaruh mengenai jatuhnya Pulau Melayang Ke-15."
"... Begitu, ya?"
"Apa aku bisa jadi kuat?"
"Kalaupun kau tak mau, aku pastikan kau akan bisa. Lagipula, aku manajermu."
"Aku yakin kamu akan bilang begitu." Willem bisa merasakan punggung Kutori bergerak ketika dia tertawa. "Yah, aku rasa aku akan terus terang saja. Aku tidak ingin jadi kuat."
"Tunggu, tunggu. Bukankah ini saat di mana kau sadar betapa banyak cinta dan dukungan yang kau dapat dari orang-orang sampai kau mengeluarkan perasaanmu yang sesungguhnya sambil menangis?"
"Aku ini sedang jujur. Bisa tolong mengerti?"
Willem berpura-pura tidak mendengar kata-kata ini. Jadi ia sudah menjadi tipe lelaki yang sembunyi-sembunyi seperti yang dikatakan Naigrat tadi, ya? Perasaan bersalahnya sedikit lebih parah dari yang telah ia kira.
"Baiklah, bagaimana kalau begini. Kalau kau bertarung ke sana dan kembali pulang, aku akan mengabulkan satu keinginanmu. Apapun, terserah."
"Eh?" Untuk sesaat, Kutori terkejut. "A-Aku bukannya ingin kamu melakukan sesuatu untukku. Lagian, meskipun kamu bilang 'apapun', palingan kamu tidak akan melakukan apapun yang besar. Misalnya kalau aku bilang 'nikahi aku!' atau semacamnya..."
"Tepat."
"... aku juga tahu. Tapi aku penasaran. Kenapa?"
"Yah, itu hanya bukan hal yang bisa aku lakukan. Seperti kau meminta 'hidupkan kembali orang yang mati' atau basmi semua Makhluk Buas,' itu jelas tidak bisa."
"Menikahiku sama mustahilnya seperti itu?"
"Tentunya."
Anak seumuran itu merasakan ketertarikan pada sesosok yang lebih tua darinya yang bisa diandalkan itu wajar saja. Mungkin itu adalah salah atau bentuk rasa cinta, tapi itu juga merupakan nafsu sementara yang muncul karena tidak adanya pilihan lain. Jadi, mundur dahulu selagi menunggu demamnya turun adalah kewajiban yang perlu dilakukan sebagai orang dewasa.
“Setidaknya tunggu sampai kau tumbuh sedikit lagi."
"Ya, kalau aku punya waktu juga aku bakala---!"
"Kau punya," kata Willem, memotong perkataan Kutori. "Yang akan kau lakukan ini adalah bertarung dan mendapatkan waktu itu, kan?"
"... tapi aku tidak tahu nantinya akan bagaimana."
"Kalau begitu cari alasan yang lebih pas untukmu kembali pulang. Kau tahu? Prajurit yang sudah punya calon pasangan hidup menunggu di rumah atau semacamnya akan memiliki kesempatan untuk bertahan hidup yang tinggi. Mereka memiliki tekad yang kuat untuk hidup betapapun pertarungan yang mereka hadapi."
"Ya, tapi pilihan untuk punya calon pasangan hidup yang menunggu di rumah ini barusan sudah dihancurkan..." sela Kutori dengan mata dingin pada Willem.
"Ah --- yah, kau tahu. Kau tidak bisa mati-matian mengejar masa depan yang tidak realistis. Coba mimpinya yang lebih mudah dilakukan."
"Bukannya salah kalau begitu? Kalau kekuatan ini asalnya dari perasaan, terus kenapa kamu malah membatasinya dengan realita sekarang?"
"... kau pintar ngomong, ya?"
Yang bisa ia lakukan hanya tertawa. Untuk mendapat alasan untuk kembali ke rumah --- tentunya, ini bukan kata-katanya Willem langsung. Ia hanya meminjamnya dari orang lain. Terlebih, ia merasa jadi sedikit munafik, karena setelah seseorang mengatakan hal itu padanya, ia berakhir mengamuk dan tidak bisa memenuhi janjinya untuk pulang. Meski Kutori tidak mengetahui hal itu, sepertinya dia sudah memahami kedangkalan sarannya ini.
"Kalau aku memang sepintar itu, aku ingin kamu berhenti menganggapku sebagai anak kecil."
"Sayangnya aku tidak bisa."
"Kenapa, sih, kamu keras sekali pada aku soal itu?" Ucap Kutori dengan helaan nafas seperti orang dewasa. "...manisan."
"Eh?"
"Kamu tahu, hidangan penutup yang waktu itu kamu buat di kafeteria. Apa kamu masih punya resep lain?"
"Aku rasa ada, beberapa."
"Kalau begitu, bagaimana dengan kue mentega?"
---Ah.
"Itu, kamu pilih itu?"
"Eh?"
"Jangan hiraukan." Itu bukan tidak terkira. Ia sudah merasa pembicaraan ini akan mengarah ke sana. "Aku tahu cara membuatnya. Sebenarnya ini diajarkan oleh guruku. Tapi, ada orang yang sangat lebih baik dariku dalam membuatnya saat itu, jadi aku belum pernah membuatnya sendiri."
"Yah, asalkan tahu saja juga sudah cukup. Salah satu seniorku selalu kelihatan senang ketika makan kue mentega setelah pulang bertarung. Tapi setelah aku sudah bisa menggunakan pedang, sudah tidak ada lagi kue mentega di menu makan malam, jadi aku tidak pernah bisa jadi seperti dia. Makannya, aku minta padamu."
Willem mengambil nafas dalam, dan mengeluarkannya dengan perlahan. "Baiklah," jawabnya, kemudian melanjutkan pekerjaannya."
Setelah beberapa saat, ia selesai melakukan perbaikan, mengembalikan tingkatan resistasi yang ada ke semula, kecuali resistansi terhadap sihir yang masih tetap tinggi. Sisa garis mantra yang berasal dari potongan berbagai fungsi yang sudah tak dipakai kini digunakan lagi untuk memperkuat fondasinya.
Dengan ujung jari, Willem dorong kristalnya. Serpihan logam yang mengelilingi mereka di udara, satu demi satu berkumpul pada kristal itu. Saat setiap fragmennya kembali pada tempatnya semula, keluar suara deringan pelan. Simfoninya berlalu untuk waktu sesaat, lalu seusainya, pedang besar pun kembali ke tangan Willem.
"Oke, oke. Akan kubiarkan kamu makan yang banyak sampai kamu sakit perut. Siap? Kau harus tetap hidup dan kembali pulang."
Ia memberikan. kembali Seniolis pada pemilik palsunya.
"Serahkan saja padaku," kata si gadis dengan senyuman.
Catatan Penerjemah[edit]
- ↑ Metallophone, alias alat musik yang terbuat dari logam yang dipukul. Karena metalofon ga ada di KBBI, jadi yang mudah aja seperti saron. (walau saron lebih khas lagi sih, dengan Indonesia.)
Bagian 3: Si Peri Hilang dan Si Kadal Terbang | Halaman Utama | Bagian 5: Meski Jika Pertarungan itu Berakhir |