Bagian 1: Si Kucing Hitam dan Si Gadis Pucat

From Baka-Tsuki
Revision as of 15:16, 27 April 2018 by Sakamiyo (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Seekor kucing hitam berlari. Bukan hanya sekedar berlari, namun laju larinya terlampau cepat. Kucing itu bergerak menuju jalanan sempit, melompati tembok tinggi, dan melompat dengan anggun ke atap kios-kios sisi jalan.

Tempat ini, dikenal sebagai Pasar Medlei, yang mana pada awalnya dibuat untuk menyelenggarakan perdagangan khusus yang dilaksanakan sebulan sekali. Seiring berjalannya waktu, karena terjadi banyak pembangunan tak terencana dan perbesaran bangunan, kini pasar itu telah berubah menjadi labirin yang sangat besar, bisa memberikan stres pada setiap pendatang baru yang melewat.

Melalui labirin yang akbar ini, si kucing hitam berlari dengan kecepatan penuh. Kenapa si kucing berlari? Karena kucing itu berusaha kabur. Kabur dari apa? Tentunya, dari si pengejarnya.

“Tunggu duluuuu!!" Teriak si pengejar, berusaha sekuat mungkin mengejar si kucing yang sebegitu cepatnya. Gadis muda itu tadi melewati gang sempit, lalu dengan cerobohnya memanjat tembok tinggi, dan mendarat dengan bising ke atap kios-kios pinggir jalan (sambil diteriaki pemiliknya). Meskipun perlawanan si kucing keras, dia tetap memfokuskan matanya ke depan, demi menangkap si kucing hitam.

Si gadis mengenakan pakaian yang biasa: sebuah topi kelabu, dipakainya dengan begitu rendah sampai hampir bisa menutupi matanya, dan sebuah jas dengan warna sama. Dilihat dari kombinasi tersebut, dia mungkin ingin tidak kelihatan begitu jelas, tapi teriakannya terhadap si kucing dan karena dia berlari mati-matian telah mematikan apapun pengaruh yang seharusnya diberikan pakaiannya.

“Aku… bilang… tunggu…” keliman jasnya bergerak naik-turun, si gadis meneruskan kejarannya, menghempas semua debu-debu dan mengobrak-abrik kaleng cat kosong ke tanah saat dia berlari. Terus dia berlari di jalan dengan kecepatan mengerikan, si gadis menarik banyak perhatian dari banyak orang: Orc yang menjual aneka macam barang, Reptrace [1]bersisik yang memiliki sebuah toko karpet, sekumpulan Lucantrobos mirip serigala yang lewat.

Lalu, tiba-tiba, si kucing hitam berhenti.

“Kena kamu!" Si gadis langsung bergerak lebih cepat, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Di waktu dia semakin dekat, hingga hampir bisa diraihnya, si kucing hitam berbalik, menampakkan benda perak yang bersinar dekat di mulutnya. Si gadis membuka kedua tangannya dan memeluk hal yang dia cari-cari setelah begitu banyak pertikaian panjang.

Akan tetapi, sebelum dia bisa bersenang hati, sensasi yang tidak biasa seperti melayang telah melingkupi seluruh tubuhnya. Kemudian, dia sadar: tidak ada apa-apa di bawah kakinya.

“Eh?”

Penglihatannya akan Pasar Medlei bercampur aduk dengan satuan warna yang memusingkan. Si gadis baru mengerti bahwa dia, akibat terbutakan oleh mangsanya yang telah begitu dekat, tidak sadar kalau jalan yang dia lalui berujung pada tepi atap salah satu apartemen.

“Ah…”

Langit biru yang agung, ditambahi sedikit awan putih, mengisi penglihatannya. Masih terus memeluk si kucing hitam, si gadis muda melayang jatuh di udara. Tepat di bawahnya, dia melihat Pusat Perbelanjaan Briki Barat ke-7, yang mana kios-kiosnya lebih terfokuskan pada barang-barang yang seperti panci besi yang keras dan pisau dapur yang sangat tajam. Mengacu pada ketinggian bangunan yang ada, kira-kira butuh 4 lantai lagi jaraknya sampai dia menyentuh tanah.

Si gadis mengumpulkan kekuatannya dan berhasil menghasilkan cahaya redup yang meliputi seluruh tubuhnya. Mereka yang memiliki kemampuan untuk melihat Sihir Veins pasti melihat Venenum di dalam tubuhnya berusaha untuk terbakar. Namun apapun yang ingin dia lakukan dengan Venenum itu, kini sudah sangat terlambat.

Venenum adalah substansi yang seperti api. Percikan kecil saja tidak akan berakibat banyak, namun api besar yang membara bisa punya kekuatan yang luar biasa. Supaya apinya bisa sampai sekuat itu, butuh waktu dan tenaga yang banyak. Dengan kata lain, Venenum tidak begitu berguna jika digunakan secara tiba-tiba, seperti situasinya si gadis sekarang.

Kedua tubuh itu, satu manusia dan satunya lagi kucing, terus bergerak ke bawah. Cahaya lemah yang keluar dari si gadis dengan rapuhnya menari di udara sebelum lenyap. Dia bahkan tidak punya waktu untuk berteriak. Pavin blok, yang mana terasa jauh tadi, mulai mendekat dengan kecepatan tinggi. Dia secara refleks semakin mengencangkan pelukannya terhadap si kucing, yang membuat si kucing menjerit. Tanpa bisa melawan tarikan gravitasi, si gadis menutup mata dan bersiap menerima benturan.

Seorang gadis jatuh dari langit. Dilihat dari rupanya, mungkin masih muda, dan juga jatuh dengan sangat kencang. Kalau begitu, dia tak lama akan berbenturan dengan keras pada jalanan yang dipenuhi pavin blok, dan meninggalkan pemandangan mengerikan yang tidak selaras dengan suasana siang hari yang damai.

Itulah yang merasuki penglihatan Willem ketika ia dengan santai menengadahkan kepala. Sebelum otaknya bisa memproses gambaran itu secara penuh, kakinya telah bergerak, seakan-akan bergerak sendirinya. Ia berlari menuju ke bawah arah lintas si gadis dan merentangkan tangannya, bersiap untuk menangkap.

Tetapi, Willem kemudian sadar kalau ia telah melupakan momentum jatuhnya gadis tersebut. Tangan-tangannya yang tak berguna itu tidak kuat menahan benturan keras, sehingga Willem jatuh di belakang tubuh si gadis, mengeluarkan suara yang mirip dengan saat menghancurkan seekor kodok. "Aw…” rintihnya dengan hanya sedikit ruang udara yang bisa ia dapat.

“M-Maaf!!"

Si gadis, yang akhirnya telah menyadari keadaan, melompat dan mulai panik.

"Apa kamu terluka!? Kamu masih hidup!? Apa ada organ yang rusak!? A--"

Si gadis yang was-was telah lupa akan kucing hitam yang masih berada di tangannya, si kucing hitam itu pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lari. Secara refleks si gadis langsung menjulurkan tangannya lagi, tapi yang bisa dia raih hanyalah angin; cuma butuh sesaat untuk si kucing menghilang ke dalam kerumunan yang mengelilingi mereka.

Sebuah teriakkan keluar dari mulut si gadis, separuhnya karena rasa frustasi akibat kehilangan hewan yang memulai semua kekacauan ini, dan separuhnya lagi karena terkejut akan penampilan dirinya sendiri. Entah di saat berlari-lari dengan gila-gilaan barusan atau waktu dia terjatuh, topi yang dia kenakan sampai hampir menutupi matanya telah lepas. Rambut biru nan bagaikan langit, yang sebelumnya tersembunyi, kini jatuh hingga melewati pundak.

Hei, lihat dia.

Dia mendengar bisikan dari sekitar; orang-orang dan penjaga toko Pusat Perbelanjaan Briki Barat ke-7, semua menghentikan transaksi mereka demi melihat wajah dan rambut si gadis.

Dalam pulau yang melayang ini, yang dikenal sebagai Regul Aire, hiduplah bermacam-macam ras, semua berhubungan jauh dengan para Pendatang. Tentunya, setiap jenis ras memiliki penampilan yang berbeda-beda. Ada yang bertanduk, ada yang bertaring hingga menjulur keluar dari mulut, ada yang bersisik di seluruh tubuh, dan ada juga yang punya wajah seperti gabungan dari bermacam-macam hewan-hewan liar.

Dengan adanya ciri khas itu, sangat sedikit ras yang tidak memiliki tanduk, taring, sisik, atau yang seperti hewan buas lain, tapi mereka masih ada. Mereka adalah ras yang tidak punya ciri khas, atau 'tanda' yang bisa membedakan identitas mereka, ini lebih dikenal sebagai 'tak bertanda'.

Kenapa dia di sini?

Brengsek, ini pasti membawa sial.

Secara umum, yang 'tak bertanda' dijauhi oleh ras lain. Berdasarkan legenda, ras yang dikenal sebagai manusia, atau Emnetwyte, mendatangkan malapetaka di tanah luas bawah dan membawa semua ras lain ke langit. Karena Emnetwyte dianggap hampir menyerupai ras yang tak bertanda, dan yang diterima oleh akal publik adalah bahwa mereka yang kelihatan mirip dengan mereka pasti akan bertingkah laku serupa pula, mereka yang tak bertanda dicap sebagai makhluk kejam dan hina. Meski penganiayaan akibat perbedaan ras sangat jarang terjadi, terekspos di publik bahwa dia tak bertanda langsung membuat si gadis merasa segan.

Ada hal lain lagi, di luar kendali si gadis, yang mana telah membuat situasi kini semakin buruk lagi baginya. Walikota sebelumnya adalah contoh sempurna politisi yang korup, yang menerima sogokan, mempekerjakan pembunuh bayaran untuk menumbangkan lawan politiknya, dan dengan legowo membawa setiap aspek yang ada di kota ke dalam kendalinya. Kelihatannya, Kongres Utama telah membuangnya dari pulau dan semua pun bahagia setelahnya… namun walikota tersebut rupanya adalah Imp. Imp, keturunan dari Ogre, biasa bersembunyi di kalangan Emnetwyte dan membobrokkan moral mereka. Itu karena mereka punya penampilan yang mirip seperti manusia dan ras lain yang tak bertanda. Sekarang setiap kali orang-orang di sini melihat seorang yang tak bertanda, mereka hanya bisa mengingat kemarahan dan kebencian mereka terhadap walikota mereka yang sebelumnya.

Meski tidak ada yang secara gamblang menyerang dia secara fisik atau verbal, si gadis merasakan tatapan warga sekitar menusuk seperti duri ke dalam wajahnya.

"B-Baiklah, aku akan pergi, jangan khawatir...”

Si gadis bangkit dan mencoba lari dari pandangan orang-orang, namun dia tidak bisa bergerak. Willem, yang masih bersandar di tanah, telah berpegangan pada pergelangan tangan si gadis.

“Kau melupakan sesuatu." Ia mengulurkan tangan satunya lagi dan menjatuhkan sebuah bros kecil ke dalam telapak si gadis.

“Ah...”

“Kucing hitam itu menjatuhkannya. Kau mengejar-ngejar ini, 'kan?"

Dengan perlahan si gadis mengangguk. "Te-Terima kasih." Masih berkarut akan situasi yang kini, dengan hati-hati dia menyembunyikan bros tersebut dengan kedua tangan dan menerimanya. "Kau baru di daerah ini?" Si gadis mengangguk lagi.

"Aku mengerti... kalau begitu apa boleh buat," kata Willem dengan helaan nafas. Ia langsung bangun, melepas jubahnya dan memakaikannya pada kepala si gadis, membuatnya tidak bisa menolak. Tudung yang menutupi Willem sudah tak ada lagi, penampilan Willem terpampang jelas pada setiap orang. Terulang lagi, alunan keributan kembali mendesir di kerumunan itu, namun sekarang ditujukan pada Willem.

"Eh..." Si gadis terkesiap.

Meski Williem tidak bisa melihat wajahnya sendiri, ia tau persis seperti apa wajahnya. Jadi ia mengerti kenapa kerumunan tadi dan si gadis hanya tergemap di depannya. Rambut hitam berantakan. Tidak bertanduk. Tidak bertaring. Tidak bersisik.

"Ayo."

Ia menarik tangan si gadis dan melalui jalan dengan langkah-langkah panjang. Si gadis, yang terkesiap, mengikutinya dengan lari kecil. Mereka buru-buru meninggalkan jalanan dan menemukan toko topi terdekat, di mana ia membelikan sesuatu untuk menutupi kepala si gadis.

“Itu mungin sudah cukup."

Mungkin ukurannya sedikit kebesaran, tapi topinya sangat cocok untuknya. Willem mengangguk puas dan mengambil jubahnya lagi.

“Umm… ini apa…?” Tanya dia dengan lugu setelah dia kembali sadar sepenuhnya.

“Supaya orang-orang tidak tau kalau kau tak bertanda."

Meski mereka yang tak bertanda, seperti Willem dan si gadis, biasanya dijauhi oleh masyarakat, sebenarnya mereka tidak dibenci. Asalkan kau tidak melakukan hal yang terlalu mencurigakan, orang-orang biasanya akan mengabaikanmu. Tapi ya, lebih baik tidak ketahuan.

“Aku tidak tahu dari Pulau mana kau asalnya, tapi tempat ini tidak cukup baik untuk yang tak bertanda. Sekarang cepat-cepat lakukan apa yang kau mau dan cabut dari sini. Pelabuhannya lewat jalan sana," ucap Willem sembari menunjukkan jalan. "Kalau kau merasa tidak aman, aku bisa mengantarkanmu ke sana."

"Ah... tidak... tidak perlu..." gumam si gadis.

Willem sulit membaca ekspresi si gadis. Karena perbedaan tinggi yang mudah diukur, ditambah topi yang kebesaran, yang mana buat dia pas untuk menyamar, entah kenapa menghambat kemampuan mereka untuk berkomunikasi.

“Apa kamu… tidak bertanda?"

“Ah iya… kau melihat wajahku tadi," tilik Willem, setelah memberi anggukan kecil di bawah tudung jubah.

“Lalu kamu kenapa di sini? Dari seluruh pulau di barat daya Regul Aire, pulau ini yang terkejam terhadap yang tak bertanda, 'kan?"

“Menurutku, kita bisa terbiasa hidup di mana pun. Memang hal yang tidak menyenangkan seringkali terjadi, tapi kalau kau terbiasa, tempat ini cukup nyaman sebenarnya," timbalnya. “Kalau kau sendiri bilang begitu, kenapa kau ke sini?"

“Yah… itu sih...”

Si gadis tidak ingin menjawab. Willem agaknya merasa bersalah karena telah bertanya.

Ia menghela nafas dan mulai berjalan, mengarahkan si gadis supaya mengikutinya. Dia tidak beranjak dari tempatnya.

“Kenapa? Kau mau ketinggalan?"

“U-Umm… terima kasih banyak… atas semuanya," jawab si gadis dengan suara gelisah, separuh wajahnya tertutupi topi besar itu. "Dan atas semua masalah yang aku buat… maaf. Juga… um… aku tidak pantas bilang ini… tapi… ah…”

Willem menggarukkan kepalanya.

“Kau ingin pergi ke suatu tempat, ya? Ingin ke mana?" Sontak ekspresi si gadis jadi ceria karena kata-kata itu ― mungkin. Ia hanya bisa melihat separuh wajahnya saja, jadi. Ia tidak tau.



Seperti yang si gadis lihat tadi, jalanan di sekitaran Pasar Medlei agak sulit untuk dilalui. Meskipun kau tau persis ke mana kau akan pergi, kau bisa saja berakhir tersesat setelah terjadi serangkaian kali memutar-mutar jalan.

Keduanya berada di atas Menara Garakuta, titik tertinggi yang ada di pulau, setelah terjadinya perjalanan yang panjang dan banyak lika-liku di labirin jalanan. Meski Williem pun orang lokal, mereka masih berakhir menanyakan jalan pada salah satu golem umum, penjaga otomatis yang ditempatkan di jalan oleh pemerintah. Persimpangan yang Willem ingat punya tiga jalan yang mengarahkan ke lima tempat berbeda. Secara tak sengaja mereka berpapasan dengan seekor Frogger yang dikejar oleh sapi yang mengamuk, lalu berakhir jatuh ke atap rumah ayam, dan kabur sambil terus meminta maaf pada Ballman marah pemilik ayam-ayam tersebut.

Singkat kata, mau pergi ke mana-mana di kota ini butuh perjuangan. Tapi di sisi baiknya, Willem melihat kalau si gadis jadi sedikit lebih luwes ketimbang waktu perjuangan mereka di jalan. Dia mau tertawa dan membuat komentar-komentar lucu setelah selesai setiap insiden berlalu atau waktu mereka berhasil kabur di saat-saat sempit. Willem tidak tau apakah itu memang sifatnya yang sebenarnya atau dia hanya terbawa arus keanehan akan kemalangan-kemalangan mereka sebelumnya, tapi apapun itu, ia lebih suka ini daripada sikap bungkamnya tadi.

Si gadis menyandarkan tangan pada pagar rapuh di ujung menara dan mengeluarkan desahan akan pemandangan. Jika dilihat dari ketinggian ini, kota sibuk di bawah kelihatan seperti lukisan indah yang detail. Jalanan yang penuh lika-liku membentang terus hingga melewati kanvas meluas sendirinya seakan hidup dan bukan karena dikerjakan oleh kuli bertahun-tahun lalu.

Dengan sedikit menaikkan pandangannya dapat memberi tilikkan dia sebuah pelabuhan. Karena terletak di paling ujung pulau, tempat itu seperti jalan masuk, sehingga memberikan fasilitas seperlunya untuk kapal mendarat dan lepas landas. Setelah pelabuhan yang dilapisi baja, terdapat langit biru yang menyebar ke segala penjuru yang bisa dipandang si gadis.

Langit ini, di mana terdapat setumpukkan besar batu nan bergerak di angin yang disebut 'Pulau Melayang', menjadi satu-satunya suaka tempat manusia bisa hidup. Tanah tempat kehidupan awalnya bermula kini berada jauh di bawah, sudah tak bisa dijangkau.

“Ada apa?" Tanya si gadis yang berbalik melihat Willem.

“Oh bukan, hanya sedang mengamati pemandangan." Ia menggelengkan kepala dan menjawab dengan senyum hangat biasa.

Dengan lembut si gadis tertawa, lalu, setelah memastikan tak ada siapapun, dia melepas topinya. Rambutnya, yang mana punya warna biru seperti langit yang mengelilingi mereka, terurai, seakan beriak dalam angin.

“Apa ini alasanmu datang kemari? Untuk pemandangannya?"

“Ya. Aku sudah banyak melihat pulau dari tempat lebih tinggi ataupun lebih jauh dari ini sebelumnya, tapi aku belum pernah sempat untuk melihat kota dari tengah-tengahnya sampai sekarang." Dia pasti tinggal di pulau yang paling ujung,, pikir Wiillem.

“Menurutku pasti bagus kalau aku mencobanya sekali." Si gadis berhenti sesaat, mengembalikan pandangannya menuju langit biru tak berujung, lalu meneruskan, "Hmm… mimpiku sudah terwujud, dan aku sudah dapat ingatan yang seru. Aku rasa aku tidak punya penyesalan lagi."

Dia mengatakan hal yang tidak menyenangkan...

“Aku sungguh-sungguh berterima kasih padamu," terus si gadis. "Aku bisa melihat banyak hal yang indah, semua berkatmu."

"Menurutku itu agak berlebihan." Willem menggaruk-garuk kepalanya. Baginya, kejadian hari ini rasanya seperti menemukan anak kucing aneh di sisi jalan dan membawanya berkeliling. Ia hanya kebetulan sedang senggang, jadi ia melakukan itu untuk mengisinya. Rasanya agak aneh diterima kasihi hanya karena itu. “Jadi… itu jemputanmu?"

“Eh?”

Willem mengangkat-angkat kepala untuk mengisyaratkan belakang si gadis. Dia berbalik dan mengeluarkan teriakkan kecil, wajahnya menampakkan rasa terkejut dan kebingunan. Di sana terdapat Reptrace tinggi-besar yang menyeramkan, yang baru sekarang disadari si gadis.

Dibandingkan ras lain, si ras bersisik, Reptrace, diketahui memiliki besar tubuh yang bermacam-macam. Meski biasanya hanya sebesar ras lainnya, terkadang ada satu yang besarnya hanya sampai seukuran anak kecil, dan ada juga yang begitu besar sampai rasanya aneh.

Reptrace yang ada di hadapan mereka tentunya adalah yang kedua disebutkan tadi. Hanya diam di sana dengan seragam tentara, ia membuat suasana tegang yang mengintimidasi.

“-- menurutku juga begitu. Aku merasa senang… rasanya hampir seperti mimpi. Tapi aku harus bangun sekarang," ungkap si gadis dengan nada yang menyesakkan. Dia berbalik dan, sebelum berlari ke samping Reptrace, mengatakan satu hal terakhir pada Willem: “Ada satu hal lagi yang ingin aku minta darimu… tolong lupakan aku."

Apa? Willem tertegun di sana, tanpa bisa mencari kata yang tepat untuk meresponnya. Ia tau kalau si gadis ada masalah yang tak biasa. Tapi dari informasi yang bisa ia dapat, masalah-masalah itu tidak secara langsung memberikan penderitaan. Karena itu, tidak perlu Willem ikut campur. Jika pemilik si anak kucing itu muncul, tidak perlu lagi kita menemaninya jalan-jalan lagi.

Si gadis berbalik lagi untuk yang terakhir kali dan merendahkan kepala sebagai gestur untuk berterima kasih, kemudian menghilang menuruni tangga bersama si Reptrace.

“Waktu mereka jalan bersebelahan… perbedaan tingginya jelas sekali," gumam Willem kala ia menatapi mereka pergi.

Terdengar jauh dari pelabuhan bunyi merdu dari menara lonceng yang menandakan datangnya waktu malam.

"Hm… sudah jam segini ya?"

Tak lama, ia akan bertemu dengan seseorang. Willem sekali lagi mengamati jalanan indah di bawah dan pada langit biru yang menyelimuti, lalu bergegas menuju kota ramai itu lagi.


Telah berlalu 562 tahun sejak punahnya Emnetwyte. Tidak ada sejarah yang bisa dipercaya mengenai tanah bawah sana yang tersisa. Buku sejarah punya rekaman yang bervariasi, semua menyatakan kalau itu asli, tapi tidak ada satupun yang yakin rekaman tersebut nyata sedikitpun; semua rekaman itu bisa saja hanya spekulasi liar dari sejarawan yang belum hidup di saat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi. Tetapi, ada beberapa hal yang selalu ditemukan sama di banyak buku.

Pertama, Emnetwyte, atau manusia, hidup dengan penuh perjuangan. Bertahun-tahun mereka berkuasa, tumbuh dengan luar biasa cepat dan tersebar di seantero daratan. Tapi ternyata itu justru membawa kepunahan mereka, karena mereka saling berjauhan, mereka rentan untuk diserang ras lain. Mereka terus-terusan menghadapi ancaman demi ancaman dari Raksasa, nama sekumpulan makhluk liar yang berbahaya. Iblis dan Raja Iblis berupaya memancing manusia masuk ke jalan yang salah. Bentrokan dengan para Orc dan Elf sering terjadi sampai keluar tempat pertempuran. Ancaman pun datang jua: sekumpulan manusia dikutuk dan berubah menjadi Ogre, yang kemudian berubah menjadi fase tertuanya.

Dalam waktu yang sangat jarang sekali, manusia pun harus menghadapi serangan dari sang Pendatang, musuh terkuat.

Apalagi, Emnetwyte adalah ras terlemah. Mereka tidak punya sisik, taring, ataupun sayap, dan mereka tidak bisa menggunakan sihir kuat. Bahkan kemampuan mereka untuk berkembang biak dengan cepat, yang mana adalah salah satu kekuatan mereka, kalah jauh dibandingkan dengan para Orc. Walau begitu, manusia masih menguasai tanah bawah.

Berdasarkan sebuah teori, sebagian besar kekuatan militer mereka ada dari sebuah grup sukarelawan yang disebut Avonturir dan Sekutu, sebuah organisasi yang mengkoordinasikan dan membantu aktivitas para Petualang. Mereka meningkatkan efisiensi pertarungan grup mereka dengan membagi-bagi pasukan ke Kelas yang berbeda-beda dan menandai setiap macam Talenta supaya pelatihannya bisa diatur lebih baik lagi. Bahkan mereka berhasil menyegel kemampuan sihir, yang mana sangat langka sekali bisa dilakukan manusia, ke dalam sebuah azimat yang disebut Talisman untuk diproduksi ulang secara masal. Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, para Petualang jadi memiliki kemampuan bertarung lebih hebat daripada manusia biasa.

Teori lain menyatakan keberadaan grup prajurit lain yang disebut Brave, yang mana sudah beda lagi dengan Avonturir. Para Brave ditujukan untuk membalikkan karma dan takdir yang merekat dengan jiwa mereka menjadi kekuatan yang tanpa batas nan menakjubkan. Namun yang jadi masalahnya adalah hanya sedikit saja orang yang 'terpilih' dan bisa menjadi Brave.

Ada pula teori lain menyatakan Emnetwyte menggunakan pedang khusus yang disebut Kaliyon. Senjata-senjata ini memiliki banyak Talisman di dalamnya, yang mana kekuatan-kekuatan tersebut membuat efek interferensi mutual yang kompleks, yang mana menghasilkan kemampuan penghancur yang tak tertandingi.

Tentunya, teori-teori tersebut kedengaran mengada-ngada, dan kamu akan sulit sendiri untuk menemukan seseorang yang bakal mempercayai apapun yang tertulis tadi. Tetapi, adalah kebenaran bahwa Emnetwyte yang tak berbakat punya suatu cara khusus untuk mengalahkan musuh-musuh kuat yang ditemuinya. Dengan logika yang sama, setidaknya ada sedikit kebenaran yang berada dalam teori-teori yang tersebar luas itu.

Pada 527 tahun yang lalu, di kastil kerajaan langit dari Kerajaan Suci, pusat daerah kekuasaan manusia, mereka muncul. Mengenai apa sebenarnya mereka saat itu, atau apa mereka pada saat ini, lagi-lagi buku-buku sejarah itu mencuatkan teori-teori yang bervariasi. Semisal, mereka adalah kutukan di antara manusia yang menjadi nyata. Atau itu adalah sebuah senjata rahasia nan masih dalam pengembangan untuk perusakan besar-besaran yang mengamuk. Atau entah kenapa, itu disebutnya isi dari gerbang neraka yang terbuka. Atau tiba-tiba terbangunnya sebuah mekanisme untuk memurnikan kembali dunia, yang tertidur jauh di dasar ngarai sejak terbentuknya dunia.

Setelah kemunculan mereka, banyak orang langsung mengungkapkan masing-masing pendapat, dengan sedikit gurauan, namun beberapa justru jadi tolak ukur yang membuat teori-teori bisa diterima kebenarannya. Bagi mereka, dunia hampir akan berakhir, dan tidak ada teori lagi yang bisa menolaknya. Meski jika teori 'sebuah tomat sebatang kara di ladang kentang tak tahan sepi dan mengalami evolusi super' dibuktikan benar adanya, tetap tidak akan berpengaruh pada sisa-sisa waktu hidup mereka.

Yang jadi pokoknya adalah bahwasanya mereka penyerang. Mereka pembunuh. Mereka melambangkan arti asasi dari irasionalitas dan ketidakadilan. Dengan mengambil bentuk tubuh sebagai tujuh belas macam hewan buas yang beragam, mereka mulai menelan dunia dengan kecepatan yang menakutkan. Para Emnetwyte tidak bisa melawan ancaman baru ini. Dalam kurun waktu beberapa hari, dua negara seutuhnya lenyap dari peta. Pada minggu selanjutnya, lima negara, empat pulau, dan dua samudera lenyap dari peradaban. Lalu di minggu setelahnya, peta sudah tak berarti lagi. Dikatakan bahwa tidak pernah ada setahun berlalu yang memisah waktu kedatangan mereka dan kepunahan manusia.

Para hewan buas tidak bersantai setelah menghancurkan Emnetwyte. Para Elf bertarung untuk mempertahankan hutan mereka yang luas, dan mati. Para Moleian bertarung untuk mempertahankan gunung sakral mereka, dan mati. Para Naga bertarung untuk mempertahankan harga diri mereka sebagai makhluk terkuat di daratan, dan mati.

Semua yang ada di tanah bumi lenyap, seakan-akan ini hanya lelucon yang kejam. Tak lama, setiap ras yang masih hidup pun tersadar: tak ada masa depan bagi mereka di sana. Jika mereka ingin hidup, mereka harus lari dari daratan. Menuju ke sebuah tempat di mana taring tajam dari makhluk buas takkan dapat meraih mereka. Menuju langit.







Bab 1: Sebelum Dunia Ini Berakhir Halaman Utama Bagian 2: Si Pria yang Tak Bertanda