Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid4 Bab02

From Baka-Tsuki
Revision as of 06:54, 21 September 2009 by Obakasan (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bab 2


Hari 18 Desember akhirnya berakhir seakan-akan lengket di botol lem, dan esok harinya tiba.

19 Desember.

Seterusnya kami hanya sekolah setengah hari. Seharusnya sekolah setengah harinya dari awal-awal, tapi beberapa waktu lalu sekolah kami dikalahkan sekolah saingan dalam hal hasil jumlah nilai ujian percobaan. Kepala sekolah memuntahkan api dan menanamkan perubahan paksa dengan tema memajukan prestasi pendidikan. Sejarah ga berubah, ternyata.

Tidak ada apapun kecuali perubahan disekitarku, di sekolah North dan sekitar Brigade SOS. Seperti terjebak dalam rencana sewenang-wenang seseorang, aku pergi ke sekolah, hanya untuk menemukan lebih banyak yang absen dari Kelas 1-5. Taniguchi tidak ditemukan dimanapun, mungkin panasnya akhirnya sampai 40 derajat Celcius.

Dan hari ini Asakura masih duduk di belakangku yang seharusnya Haruhi.

"Selamat Pagi. Sudah bangun hari ini? Baguslah, kalau memang begitu."

"Yah, liat aja ntar."

Aku meletakkan tasku di meja dengan wajah kosong. Asakura menyangga dagunya dengan tangannya.

"Kalau cuma matamu yang kebuka bukan berarti kamu bangun. Menangkap situasi dengan matamu bakalan jadi langkah pertama untuk mengerti. Apa kabar? Udah bisa nangkap situasinya?"

"Asakura."

Aku condong kedepan dan menembakkan pandangan kagum pada air muka Asakura Ryouko yang dipahat dengan baik.

"Bilang sekali lagi: kamu benar-benar ga ingat atau kamu cuman pura-pura bego? Bukannya tadinya kamu pengen bunuh gw?"

Wajah Asakura tiba-tiba jadi suram, dengan mata yang sama ketika seseorang melihat pasien.

"...Kayaknya kamu belum bangun. Saranku: Pergi ke dokter gih! Pergi sana sebelum telat!"

Lalu dia terus menutup mulutnya, mengabaikan aku dan lalu dia bercakap-cakap dengan gadis tetangga.

Aku berbaik ke depan, melipat tanganku, dan menatap lurus pada udara tipis.



Coba disimpulkan kayak gini.

Misal di suatu tempat ada orang yang sangat sangat tidak beruntung. Orang ini luar biasa tidak beruntung, apakah dilihat secara subjektif ataupun objektif. Orang ini adalah penjelmaan dari ketidakberuntungan, dan bahkan tetua Pangeran Siddharta yang sudah mendalami arti pencerahan akan memalingkan matanya dari orang tersebut. Suatu hari, orang ini hanyut dalam tidur ketika disiksa oleh ketidakberuntungannya, dan ketika esok hari waktu dia bangun tidur, dunia sudah terbalik. Dunia itu sudah menjadi tempat luar biasa tak terbilang kata-kata, tak terdeskripsikan bahkan dengan kata “Utopia”. Di dunia ini, ketidakberuntungannya benar-benar hilang, dan tubuh dan badannya penuh keberuntungan dari ujung kepala ke kaki di semua aspek. Tidak ada ketidakberuntungan akan jatuh ke pundaknya, dan dia mustinya sudah diangkat oleh seseorang dari neraka ke surga dalam semalam.

Tentu saja, kehendak orang tersebut tidak berperan. Dia diangkat oleh seseorang yang dia tidak tahu, dan identitas asli seseorang tersebut benar-benar tidak diketahui. Tidak diketahui kenapa seseorang tersebut melakukan ini ke orang itu. Mungkin hanya surga yang tahu.

Jadi, di kasus ini, apa seharusnya orang itu senang? Dengan merubah dunia, ketidakberuntungan orang itu sudah habis hilang. Namun, dunia ini sedikit berbeda dengan dunia aslinya, dan misteri terbesarnya apa alasan dari perubahan ini.

Dalam kasus ini, dengan menggunakan kriteria evaluasi yang ada, kepada siapa orang itu memberikan rasa terima kasihnya?

Dari yang dikatakan diatas, orang itu bukan aku. Kadarnya terlalu berbeda.

Yah... Analoginya memang buruk untuk kasusku, kukira. Aku tidak mencapai dasar ketidakberuntungan sampai kemarin, dan sekarang aku juga bukan orang yang paling beruntung.

Bagaimanapun, mengacuhkan luas masalahnya, analoginya cukup dekat, walau tidak terlalu tepat menjelaskan maksudnya. Urat sarafku sudah hampir berderak oleh kejadian-kejadian aneh di sekitar Haruhi setiap waktu, dan sekarang cerita tersebut rupanya tidak ada sangkut-pautnya denganku.

Betapapun--

Disini, tidak ada Haruhi, tidak ada Koizumi, Nagato dan Asahina-san adalah manusia normal, dan keberadaan Brigade SOS sudah sama sekali dihapus. Tidak ada alien, tidak ada penjelajah waktu, tidak ada ESP. Di atas semua itu, kucing tidak bisa bicara. Ini dunia normal, hanya dunia normal.

Nah gimana tuh?

Dunia mana yang lebih cocok sama gue? Dunia mana yang bakalan bikin gue senang? Dunia dulu, sampai saat ini? Atau dunia sekarang?

Apa gue senang sekarang?



Sehabis sekolah, kakiku di-auto-pilot-kan ke Ruang Klub Sastra karena kebiasaan. Ini reflek khas – tubuh bergerak tanpa membuat otak berpikir ketika tindakan tersebut dilakukan tiap hari. Sama dengan urutan waktu mandi. Urutan itu tidak ditentukan sebelumnya tentang bagaimana menggosok badan waktu mandi, tapi dari waktu ke waktu seterusnya urutan tersebut disatukan seperti dengan mesin setiap waktu.

Setiap hari ketika habis pelajaran, aku langsung pergi ke Brigade SOS, minum teh yang disiapkan oleh Asahina-san, dan main game dengan Koizumi sambil mendengar omongan gila Haruhi. Mungkin kebiasaan jelek, tapi sangat sulit untuk kutendang, bahkan walau aku sudah dikasih tahu, justru karena itu adalah kebiasan jelek.

Lalu hari ini keadaannya sedikit berbeda.

“Apa yang bakal gue lakuin dengan ini?”

Aku menatap formulir registrasi kosong sewaktu aku berjalan. Nagato memberiku ini kemarin, mungkin secara tak langsung mendorongku untuk masuk Klub Sastra. Tapi aku tidak mengerti; Ngapain dia ngundang gue masuk? Karena Klub Sastra tidak punya member lain dan bakalan dibubarin? Tapi berani juga dia ngerekrut gue, yang secara harfiah muncul entah dari mana dan nyerang dia. Mungkin di dunia salah ini, hanya Nagato yang tidak pernah merubah pemikiran ganjilnya.

“Argh!”

Waktu berjalan ke blok ruang klub, aku berpas-pasan dengan pasangan Asahina-Tsuruya. Asahina-san benar-benar melompat mundur takut melihatku dan melekat pada Tsuruya-san, sembunyi di belakangnya. Sakit karena reaksi senior menawan waktu melihatku, aku cepat-cepat memberi bungkukan ringan dan kabur. Oh kumohon, biarkan hari-hari biasa kembali, jadi gue bisa nikmatin melon sekali lagi! (T/L note : gue juga ga ngerti, kenapa tiba-tiba ada melon disitu. :)) )

Aku mengetuk kali ini dan mendengar jawaban rendah. Hanya ketika itu aku baru membuka pintu.

Nagato melarikan matanya ke epidermis mukaku dan mengembalikannya ke buku di tangannya. Gerakan menekan kacamatanya ternyata adalah salamnya.

“Apa ga masalah gue kembali?”

Kepala kecilnya mengangguk kuat. Namun, matanya lebih tertarik dengan buku yang terbuka di depannya, dan dia bahkan tidak mengangkat kepalanya.

Aku meletakkan tasku di sana dan langsung melihat sekeliling untuk mencari hal selanjutnya yang harus kulakukan. Akan tetapi, di ruang yang tidak ada apa-apanya ini, tak banyak barang kecil buat kumainkan. Jadi tiada pilihan mataku berlabuh pada lemari buku.

Semua rak penuh dengan buku disemua ukuran. Lebih banyak buku hardcover daripada buku softcover atau novel, yang mana mungkin indikasi sukanya Nagato pada bacaan berat.

Sunyi.

Aku seharusnya sudah terbiasa dengan diamnya Nagato, tapi hari ini di ruangan ini sunyinya sungguh menyakitkan. Aku bakalan di pinggir kursiku kalau aku tidak mengatakan apapun.

“Buku ini semuanya punyamu?”

Langsung ada respon.

“Beberapa ada disitu waktu aku datang.”

Nagato memperlihatkan kepadaku cover buku yang dia bawa.

“Ini pinjaman. Dari perpustakaan umum.”

Di buku itu ada stiker barcode yang menyatakan kalau itu kepunyaan perpustakaan umum. Cahaya berpendar terpantul dari cover berlaminatingnya, dan kacamata Nagato bersinar sebentar.

Percakapan selesai. Nagato kembali pada tantangan membaca-bisu buku tebalnya, dan aku kehilangan tempatku berada.

“Apa kamu menulis karangan?”

Setelah itu ada diam 3/4 ketukan.

“Aku cuma baca.”

Matanya terbang satu pecahan detik ke komputer sebelum bersembunyi di belakang lensa, tapi itu tidak terlepas dari mataku. Oh gitu. Makanya itu Nagato melakukan sesuatu sebelum membiarkan aku memakai komputernya. Aku membuat rasa ingin tak tertahankan untuk membaca cerita yang Nagato tulis. Apa yang bakal dia tulis? Mungkin sci-fi. Ga bakalan cerita cinta, kan?

“...”

Dari awal memang sulit mengobrol dengan Nagato. Sekarang pun, Nagato yang ini pun tiada bedanya.

Aku mulai operasi-bisu-ku dengan lemari buku.

Entah bagaimana mataku berhenti di salah satu punggung buku.

Judul yang kukenal. Waktu Brigade SOS sedang tumbuh, Nagato meminjamkanku buku pertama dari seri sci-fi panjang dari luar negeri, buku dengan jumlah kata-kata yang mengerikan (ED note : Dan Simmon's Hyperion according to the anime). Sekarang aku ingat, Nagato masih pakai kacamata waktu itu, dan dia maksa meminjamkan buku ini kepadaku tanpa menerima alasan apapun. “Ambil ini,” dia melempar kata-kata itu lalu pergi dengan cepat. Aku menghabiskan dua minggu untuk membaca semuanya. Bagiku seperti sudah setahun lalu ketika itu terjadi. Banyak yang sudah terjadi dalam waktu itu.

Rasa nostalgia aneh mulai tumbuh, dan aku mengambil buku itu dari lemari buku. Aku tidak berdiri dan membaca di toko buku, jadi aku tidak benar-benar membaca. Sembarangan kubolak-balik halamannya dan akan memasukan bukunya ke posisi semula ketika secarik kertas kecil jatuh diantara kakiku.

“Hmmm?”

Aku mengambilnya. Sebuah pembatas buku dengan gambar bunga. Seperti pembatas buku yang toko buku pun akan memberi tanpa bertanya – pembatas buku?

Seakan-akan dunia mulai berputar di sekelilingku. Ah... waktu itu...Gue buka bukunya di kasur...Nemu pembatas buku yang sama... Terus gue cabut pake sepeda...Aku bisa menceritakan susunan kata-kata itu dari belakang kepalaku.

Jam tujuh malam ini, menunggumu di taman di luar setasiun.

Menahan nafas, kuputar tangan gemetarku – dan aku melihat.




“Kondisi Program Jalan: Kumpulkan kuncinya. Batas Waktu: Setelah Dua Hari.”




Kalimat itu, seperti pesan dari waktu itu, ditulis dengan tulisan rapi seperti huruf komputer di pembatas buku yang jatuh dari buku hardcover.

Langsung, aku berputar dan buru-buru ke depan meja Nagato dengan tiga langkah. Menatap erat ke pupil hitam melebarnya, aku bertanya, “Apa kamu yang nulis ini?”

Memandang bagian belakang pembatas buku yang kupegang, Nagato menelengkan kepalanya. Dengan ekspresi bingung dia menjawab, “Tulisannya sama denganku. Tapi... Aku ga tau. Aku ga ingat pernah nulis itu.”

“... Oh gitu. Seperti yang udah kuduga. Yah, ga papa. Aku malah susah kalau kamu tahu. Ada yang lagi ganggu pikiranku, lho. Ah sudahlah, ga usah perduliin ocehanku...”

Ocehan alasan keluar dari mulutku, aku merasa pikiranku terbang ke tempat lain.

Nagato.

Jadi ini toh pesan darimu. Cuman susunan kata yang membosankan dan menjemukan, tapi gue senang. Bisa ga gue anggap ini kayak hadiah dari Nagato yang gue kenal lama? Ini petunjuk biar bisa ngancurin situasi sekarang, kan? Kalau engga kamu ga bakalan nulis komen pengingat ini?

Program. Kondisi. Kunci. Batas Waktu. Setelah Dua Hari.

...Setelah Dua Hari?

Hari ini tanggal 19. Seharusnya aku menghitung dua hari dari waktu sekarang? Atau seharusnya menghitung dari kemarin, ketika seluruh dunia mulai sinting? Yang lebih buruk jadi paling buruk, batas waktunya besok tanggal 20.

Kejutan satu-kali sudah mulai mendingin seperti magma yang keluar lambat dari kerak bumi. Gue ga ngerti apa-apa, tapi kayaknya gue harus ngumpulin kunci biar bisa ngejalanin program. Tapi kunci apaan? Dimana dijatuhinnya? Ada berapa banyak tuh? Abis ngumpulin semuanya, kemana gue harus bawa buat dituker oleh-oleh?

Tanda tanya banyak melayang-layang di atas kepalaku, dan akhirnya bersatu menjadi satu tanda tanya besar.

Kalo gue ngejalanin program ini, apa dunia bakal balik jadi normal?


Tergesa-gesa kukeluarkan buku dari rak mulai dari sisi terjauh, dan mengecek kalau ada pembatas buku terselip diantaranya. Menahan pandangan heran Nagato aku tetap menggali, tapi tiada hasil. Tidak ada yang lain.

“Cuman ini doang, ya?”

Yah, kalo orang jadi terlalu rakus berlebihan dan ngambil semua item yang bisa dia temukan, beratnya bakal ngejatuhin dia, kembali ke petak pertama. Mondar-mandir ga jelas tanpa tujuan tertentu cuman ngabisin waktu dan HP. Pertama-tama; ambil kuncinya. Konferensi masih jauh, tapi paling engga aku sudah melihat papan tanda penunjuk.

Setelah minta ijin, kubuka kotak makanku dan duduk diagonal dengan Nagato. Mengunyah makan siangku, aku juga membuka pikiranku. Nagato sepertinya menggerakkan matanya dari waktu ke waktu kepadaku, tapi aku hanya menggerakkan sumpit seperti mesin, dan konsentrasi dengan masalah mendesak yang ada sekarang – untuk terus rutin memberi makan ke sel-sel otakku.

Setelah beberapa saat, kotak makanku kosong. Aku mau minta dibuatkan teh ketika aku sadar Asahina-san tidak bersama kami. Aku frustasi, tapi tetap berpikir. Sekarang waktu penentuannya. Aku ga bisa bikin petunjuk yang sulit didapat jadi tak berguna. Kunci. Kunci. Kunci. Kunci...

Selama sekitar dua jam, aku terbenam dalam pencarian merah-panas ilham.

Mulai penuh dengan rasa jijik ke kebodohanku sendiri, aku dibanjiri dengan rasa kesal.

“Gue sama sekali ga ngerti!” Aku mengumpat ke diriku sendiri dari bawah nafasku.

Kuncinya dari awal juga ambigu. Ga mungkin artinya kunci beneran buat ngunci dan buka kuncian, jadi tebakan gue kunci itu kayak kata kunci atau personel kunci. Cuman lingkupnya tetap kegedean. Itu tu barang atau kata-kata? Bisa bergerak atau engga? Gue pengen banget minta petunjuk laen kayak tadi. Gue coba ngebayangin apa yang Nagato pikirin waktu nulis di pembatas buku itu, tapi gue cuman bisa ngebayangin dia baca buku-buku susah, atau ngasi keputusan hebat tapi lama banget keluarnya – hanya Nagato yang selama ini gue kenal.

Dengan minat tiba-tiba aku memutar kepalaku ke arah diagonal, disana ada Nagato yang tak bergerak seperti tidur sebentar. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi dia tetap di satu halaman tanpa ada kemajuan. Namun, sebagai bukti-tandingan bahwa dia tidak tidur siang, pipinya mulai merah merona ketika dia menyadari pandangan linglungku. Nagato ini dari Klub Sastra memang sangat pemalu dari sananya, atau tidak terbiasa sama perhatian orang lain. (T/L note : duhh Kyon... -_-' )

Dari luar dia kelihatan persis, tapi dia tetap berkelakuan tidak seperti biasa yang menstimulasi perhatianku. Dengan segaja, kupelototi dia dengan maksud observasi.

“...”

Walau fokus matanya pada halaman buku, jelas sekali dia tidak membaca satu kata pun. Nagato menghembuskan nafas dengan diam dengan mulut sedikit terbuka, dan ritme lembut dadanya mulai terlihat. Rona di sekeliling pipinya semakin memerah di setiap menit. Kalo boleh jujur, Nagato ini lumayan – tidak, sangat cute. (T/L note : you bet she is! Dan si Kyon baru sadar sekarang -_-' ) Walau hanya sesaat, sebuah ide muncul berkilas di kepalaku: Ga jelek juga kayaknya kalo gabung sama Klub Sastra dan nikmatin dunia baru tanpa Haruhi.

Tapi tidak. Aku tidak akan menyerah. Aku mengeluarkan pembatas buku dari kantungku dan meremasnya tanpa menghancurkannya. Menyelipkan pembatas buku di dunia ini berarti Nagato yang mengenakan topi kerucut masih punya urusan denganku. Aku pun punya urusan yang belum beres! Aku belum mencoba masakan buatan Haruhi. Aku belum membakar image Santa Asahina-san di retinaku. Gameku dengan Koizumi dihentikan pas aku sedang menang sewaktu dia sibuk mendekor ruangan. Aku akhirnya bakal menang kalau diteruskan, jadi kalo tidak aku bakal kehilangan hak seratus yen-ku.



Matahari terbenam bersinar menembus jendela, dan sudah waktunya untuk bersembunyi dibelakang blok kampus sebagai bola oranye besar.

Aku capek membenarkan cara dudukku, dan tiada hal yang menguntungkan keluar dari otakku walau kuperas bagaimanapun juga. Aku berdiri dan mengambil tasku.

“Hari ini disudahin aja.”

“Oke.”

Nagato menutup bukunya yang entah dia baca atau tidak, memasukannya ke dalam tasnya dan berdiri. Apa dia emang nunggu gue ngomong itu?

Kuambil tasku. Dia tak bergerak sedikitpun, seolah-olah tidak akan bergerak selamanya sampai aku duluan keluar.

“Hei, Nagato?”

“Apa?”

“Kamu tinggal sendiri, kan?”

“...Iya.”

Dia mungkin mikir, darimana dia tahu itu?

Tadinya aku ingin tanya apa dia tinggal dengan keluarganya, tapi langsung berhenti ketika kulihat bulumatanya menurun lembut. Ingatan akan kamarnya yang hampir kosong dengan peralatan kembali padaku. Pertama kali bertamu tujuh bulan lalu, dan obrolan kosmis-telepatis di skala yang tak terbatas itu di cara pandang apapun yang ada hanya menakutkan. Kunjungan kedua waktu Tanabata tiga tahun lalu, dan aku bersama Asahina-san. Kunjungan kedua terjadi sebelum yang pertama di gariswaktu, yang mana merupakan prestasi bagiku.

“Gimana kalau miara kucing? Kucing asik loh! Mungkin mereka keliatan lemah terus-terusan, tapi kadang-kadang aku mikir apa mereka bisa ngerti apa yang gue omongin. Aku ga bakal kaget kalau ada kucing bisa ngomong. Aku lagi ga becanda.”

“Hewan piaraan dilarang.”

Setelah menjawab, dia diam beberapa waktu, mengedip-kedipkan matanya sedih. Seperti suara burung layang-layang yang diterbangkan angin, dia menarik nafas, dan berbicara dengan suara rapuh.

“Mau kesana?”

Nagato melihat kuku jariku.

“Kemana?”

Kuku jariku menjawab balik.

“Rumahku.”

Diam istirahat setengah-not.

“...Apa boleh?”

Apa-apaan? Apa dia malu, takut-takut, atau agresif? Kurva psikologis Nagato yang ini terhenti seketika! Atau, apa mental gadis SMA biasa sekarang ini tidak rata seperti periode kurva ringan Mira A? (T/L note : HELP! Apaan ini...? Si Tanigawa-sensei suka pake analogi aneh-aneh T__T)

“Boleh.”

Nagato keluar, keluar dari pandanganku. Dia mematikan lampu ruangan, membuka pintu dan menghilang ke koridor.

Tentu saja, aku mengikuti. Kamar Nagato. Kamar 708 di apartemen mewah. Bisa saja aku intip ke kamar tamunya. Aku mungkin dapat petunjuk disitu.

Kalau aku menemukan aku yang lain tidur disitu, bakal kubangunkan dia dengan tinjuku.



Di perjalanan pulang dari sekolah, Nagato dan aku tidak berbicara sama sekali.

Nagato hanya berjalan lurus turun di landaian dengan diam, berjalan seolah-olah ada angin kuat dingin menerpanya. Rambutnya berkibar, diterbangkan hembusan angin tiba-tiba. Melihat belakang kepalanya, aku lanjut menggerakkan kakiku tak berbelit-belit. Tak banyak topic yang kurasa baik untuk dibicarakan, dan aku merasa sebaiknya aku tidak bertanya kenapa aku diajak.

Setelah berjalan sedikit lama, Nagato akhirnya menghentikan langkahnya di depan apartemen mewah. Berapa kali aku datang kesini? Aku datang ke kamar Nagato dua kali, kamar Asakura sekali, dan atap sekali. Menekan password ke panel masuk, Nagato membuka pintu dan berjalan masuk ke lobby tanpa melihat ke belakang.

Dia bahkan membisu di lift. Di kamar kedelapan di lantai ketujuh dia memasukan kunci ke pintu dan membukanya, tapi dia hanya mengundangku masuk dengan gerak tubuh.

Aku masuk tanpa bicara. Penataan ruangannya tidak begitu berbeda dengan kesan ingatanku. Hanya sebuah ruangan yang tidak ada apa-apanya. Tidak ada perabot rumah kecuali kotatsu. Seperti biasa, bahkan tidak ada gorden.

Dan lalu ada kamar tamu. Seharusnya kamar terpisahkan oleh pintu geser.

“Boleh liat kamar ini?”

Aku bertanya pada Nagato, yang lalu ke dapur dengan perangkat teh Jepang. Nagato berkedip pelan.

“Boleh aja.”

“Maaf ngeganggu.”

Pintu geser meluncur terbuka, seperti ada penunjang menempel disana.

“...”

Yang ada hanya karpet tatami di dalam.

Yah, sudah seharusnya diduga. Ga mungkin gue bolak-balik ke masa lalu beberapa kali.

Kugeser pintunya ke posisi semula, dan menunjukan tangan terbukaku ke Nagato yang memperhatikan aku. Sikapku mungkin tak berarti apa-apa untuknya. Namun, tanpa berkata, Nagato meletakan dua cangkir teh ke meja kotatsu, duduk tegak dengan kaki terlipat, dan mulai menuangkan teh.

Aku duduk dihadapannya dengan menyilangkan kaki, posisi yang sama ketika aku mengunjunginya untuk pertama kali. Aku minum tanpa arti beberapa cangkir teh yang disiapkan oleh Nagato, dan lalu mendengarkan monolog tentang alam semesta. Waktu itu musimnya penghijauan segar dan panas luar biasa, benar-benar dimensi berbeda dari dingin yang sekarang. Bahkan hatiku lebih dingin sekarang.

Minum teh berhadap-hadapan di keheningan, mata Nagato turun di balik kacamatanya.

Untuk beberapa alasan Nagato ragu-ragu. Mulutnya terbuka, lalu kemudian tertutup. Dia melihat kepadaku seperti sudah mengumpulkan seluruh keberanian, tapi kemudian menunduk lagi. Dia mengulangi ini beberapa kali. Akhirnya, dia menyingkirkan cangkir tehnya dan memaksa suaranya keluar dengan usaha besar.

“Aku pernah ketemu dengan kamu.”

Kayak menambahi.

“Di luar sekolah.”

Dimana?

“Kamu ga ingat?”

Hah?

“Perpustakaan.”

Setelah mendengar kata ini, roda gigi di belakang otakku mulai berdecit melakukan sesuatu. Ingatan dengan Nagato keluar. Waktu kejadian pertama Pencarian hal-hal Misterius.

“Mei tahun ini,

Nagato menurunkan matanya,

“Kau membantuku bikin kartu perpus.”

Jiwaku disetrum oleh petir, dan gagal berfungsi.

...Iya lah. Kalo engga kamu bakalan tetap nongkrong di depan lemari buku! Panggilan Haruhi udah kayak telepon iseng, dan ga ada jalan lain kembali ke tempat kumpul dengan cepat...

“Kau...”

Akan tetapi, sewaktu Nagato menlanjutkan penjelasan, aku sadar deskripsinya tentang situasinya berbeda dengan ingatanku. Inilah yang penjelasan Nagato dengan menggunakan suara rendah berbisik:

Kira-kira pertengahan Mei Nagato pergi ke pusda untuk pertama kalinya, tapi dia ga tau gimana caranya bikin kartu perpus. Sudah cukup sih kalo dia nanya ke pustakawannya, tapi pustakawannya sedikit dan semuanya sibuk. Lebih lagi, sebagai introvert yang ga biasa ngobrol, Nagato tidak bisa ngumpulin keberanian buat nanya, jadi dia mulai mondar-mandir dengan sia-sia. Mungkin ga tahan liat dia begitu, cowo SMA yang kebetulan lewat sukarela melakukan prosedur di tempat dia.

“Dia itu kamu.”

Nagato menolehkan kepalanya kepalaku, dan mata kami bertemu setengah detik, sebelum akhirnya dia menurunkan kembali ke kotatsu.

“...”

Titik-titik-titik itu terbagi atas Nagato dan aku. Kesunyian kembali memenuhi ruang tamu yang kosong, tapi aku tidak bisa berkata-kata. Itu karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan apakah aku ingat. Ingatanku dan dia sedikit berbeda. Memang benar aku membuatkan kartu perpus untuknya, tapi aku bukan kebetulan lewat; Malahan, aku yang membawa dia ke perpus. Melepaskan tugas patrole Pencarian hal-hal Misterius yang terancam gagal, kami memilih pergi ke perpustakaan untuk berkeliaran menghabiskan waktu. Kalaupun kemampuanku mengingat itu lebih kecil daripada bayi anemon laut, aku tidak mungkin bisa lupa kesan bisu Nagato pakai seragam.

“...”

Tidak pasti bagaimana menghadapi kesunyianku, Nagato mengedutkan bibirnya dengan bumbu derita, dan membuat lingkaran di bibir cangkir teh dengan jari rampingnya. Memperhatikan gemetar hampir tak terlihat jarinya, aku malah jadi lebih mundur untuk memulai topik, dan keheningan menebal.

Lebih gampang untuk menjawab apa yang kuingat. Tidak akan jadi bohong murni. Ada beberapa celah yang benar. Di kasus ini, celah-celah ini jadi masalah terbesar.

Kok bisa ada perbedaan besar?

Alien yang kutahu pergi entah kemana, hanya meninggalkan pembatas buku.



Ding-dong!

Bel intercom memecah keheningan abadi. Aku hampir melompat dari posisi dudukku mendengar suara tiba-tiba itu. Tubuh Nagato kaget dengan kejutan, dan menoleh ke pintu masuk.

Belnya berdering lagi. Tamu baru telah tiba. Tapi, sapa sih yang mau bertamu ke kamar Nagato? Aku tidak bisa membayangkan satu orangpun kecuali pak pos atau tukang kredit.

“...”

Seperti roh sudah tercabut dari badannya, Nagato berdiri dan meluncur di dinding tanpa mengeluarkan suara langkah. Dia menekan beberapa tombol di panel intercom dan mendengar suara seseorang. Lalu dia menoleh kepadaku dengan sedikit ekspresi sulit.

Nagato berbicara pelan ke speaker, mungkin mengucapkan penolakan seperti “Tapi...” dan “Yah...”

“Tunggu.”

Sepertinya Nagato dikalahkan. Dia melayang-layang di pintu masuk dan membuka kunci.

“Lihat sapa disini?”

Gadis itu menyerobot masuk dengan pundaknya menyender di pintu.

“Kok kamu disini? Berita baru nih – Nagato-san bawa masuk cowo.”

Gadis dengan seragam SMA High membawa panci dengan kedua tangan, dan dengan ahli melepas sepatunya dengan menekan jempol kaki di ambangan pintu.

“Jangan bilang kalo kamu maksa masuk!”

Bilang dulu, kenapa juga kamu kesini? Mengejutkan ngeliat mukamu diluar ruang kelas!

“Saya itu kayak sukarelawan. Benar-benar kejuta liat kamu disini!” Wajah cantik itu mulai tersenyum.

Dia adalah ketua kelas yang duduk di belakangku.

Dengan kata lain, Asakura Ryouko yang ngebel tadi.



“Saya mungkin bikin kebanyakan. Terlalu panas dan berat!”

Tersenyum, Asakura menaruh panci besar di atas kotatsu. Kalau ada seseorang yang menghampiri toko kelontong di musim ini dia akan disambut juga dengan harum ini. Oden-lah yang ada di panci. Apa ini dibikin Asakura?

“Ya iyalah. Saya bagi-bagi yang seperti ini, yang ga makan waktu lama kalo bikin banyak, dengan Nagato-san dari waktu ke waktu. Kalo kubiarkan dia sendirian, dia bakal kurang gizi.”

Nagato perti ke dapur untuk menyiapkan piring dan sumpit. Suara berdenting alat makan bisa terdengar.

“Jadi? Bisa saya tanya kenapa kamu disini? Aku penasaran.”

Aku kehabisan kata-kata. Aku disini karena Nagato mengundangku, tapi aku tidak tahu kenapa aku diundang. Karena cerita waktu di perpus? Ga masalah ngomongin itu di ruang klub. Bagiku, aku patuh datang karena kupikir ada petunjuk disini tentang “Kunci”, tapi aku ga bisa ngomongin itu keras-keras. Jelek banget bikin dia khawatir kalo-kalo aku punya masalah mental.

Aku asal-asalan berbohong.

“Yah... Tentu saja. Aku pulang dengan rute yang sama dengan Nagato... Yup, aku khawatir juga apa aku harus masuk anggota Klub Sastra. Jadi aku jalan dengan dia, nanya pendapatnya. Kami sampe di apartemen, tapi diskusinya belum beres, jadi dia ngundang aku masuk. Aku ga maksa maksud.”

“Kamu, di Klub Sastra? Sori, tapi kayaknya ga cocok deh. Apa kamu benar-benar baca buku? Atau kamu mau nulis buku?”

“Kesulitanku itu apakah aku baca atau nulis untuk sekarang ini. Itu aja.”

Tutup panci sudah dibuka, dan aroma menggoda-selera-makan memenuhi ruangan dari kotatsu. Telur rebus yang mengambang dan tenggelam dalam saus berubah jadi berwarna bagus sekali.

Asakura-san, yang duduk tegak dengan kaki terlipat ke sudut kiri, melempar pandangan curiga kepadaku. Mungkin hanya aku, tapi pandangan sekilas itu tajam sekali, kalau pandangan itu punya massa, pelipisku bakalan punya banyak lubang kecil. Asakura dulu berubah jadi pembunuh berantai di pertengahan, tapi Asakura ini, orang bisa membedakan kepercayaan diri yang mengakar-dalam dibalik perawakan bermartabatnya. Tidak diragukan lagi oden ini akan lebih enak dari oden lain di bumi ini. Aura tersebut menekanku. Di saat ini, aku kehilangan kepercayaan diri di beberapa aspek. Aku hanya berpikir kebelakang dan kedepan, tidak ada yang lain.

Tidak tahan lagi, aku mengambil tasku dan berdiri.

“Oh, jadi kamu ga makan bareng?”

Bertemu dengan nada ejekan Asakura dengan membisu, kuputuskan untuk mundur dari ruang tamu dengan langkah sembunyi-sembunyi.

“Oh.”

Aku hampir bertabrakan dengan Nagato yang keluar dari dapur. Di tangan Nagato ada tumpukan piring kecil, dengan sumpit dan tabung mustard diatasnya.

“Aku mau pulang. Sori dah ganggu. Sampe jumpa.”

Aku mau jalan, ketika aku merasakan tarikan selembut bulu di lenganku.

“...”

Nagato menarik lengan bajuku dengan jarinya. Tarikannya begitu lembut, kekuatannya sebanyak bagaimana seseorang mengangkat bayi hamster yang baru lahir.

Nagato menarik lengan bajuku dengan jarinya. Tarikannya begitu lembut, kekuatannya sebanyak bagaimana seseorang mengangkat bayi hamster yang baru lahir.

Ekspresi murung. Nagato hanya melihat kebawah sewaktu menyentuh lengan bajuku hanya dengan jarinya. Apa dia ga pengen gue pergi? Apa dia ngerasa tercekik sendirian dengan Asakura? Apapun itu gue ga ada masalah, apalagi pas gue ngeliat ekspresi pahit pasrah Nagato.

“...Cuman becanda! Aku makan kok! Oh ya ampun, gue kelaparan! Kalau aku tidak mengisi perutku sekarang aku ga bakal bisa bertahan pas pulang nanti!”

Jarinya akhirnya terlepas. Aku rindu pemandangan itu entah gimana. Biasanya tidak mungkin aku bisa melihat Nagato mengekspresikan pikirannya dengan jelas. Momen ini punya harga di kelangkaannya.

Melihatku terbang balik ke ruang tamu, Asakura menyipitkan matanya, seakan-akan dia mengerti semuanya.



Aku berkonsentrasi sepenuhnya memasukan oden ke mulutku. Indera perasaku berteriak dari rasa enak ini, tapi dasar hatiku gagal mengenali apa yang sedang kumakan. Fokus Nagato hanya pada kunyahan kecil, dan dia menghabiskan hampir tiga menit untuk mengunyah dan menelan konbu-nya. Diantara kami bertiga, hanya Asakura yang ngobrol ceria dan aku mengembalikan jawaban setengah-setengah kepadanya dari awal sampai akhir.

Seperti mendirikan bivak diluar Gerbang Neraka, makan malam berlangsung lebih dari sejam, dan pundakku jadi kaku.

“Nagato-san, tolong pindahin sisanya ke wadah lain dan taruh ke kulkas. Saya akan ambil pancinya besok, jadi tolong disimpen ya sampe nanti.”

Aku mengikutinya. Berasa seperti dilepas dari semua ikatan. Memberi anggukan ambigu, Nagato menjatuhkan pandangannya sewaktu dia mengantar kami pulang di pintu.

Kukonfirmasikan Asakura sudah pergi dulu sebelum aku berbisik pada Nagato.

“Sampe jumpa. Bisa ga aku ke ruang klub lagi besok? Aku ga punya tempat nongkrong setelah sekolah.”

Nagato menatapku, dan...

...Memberi *senyuman* yang kecil tapi pasti. (T/L note : 0_o .... HAIL NAGATO-MOE-SAMAAAAAA T_T)



Aku benar-benar terpesona.



Waktu lift turun, Asakura ketawa cekikikan.

“Hei, kamu suka Nagato-san?”

Yah, bukannya gue benci dia. Milih antar Suka atau Benci, gue milih yang pertama, tapi gue ga punya alasan buat benci dia dari awal juga. Dia itu penyelamat gue. Yup. Asakura, Nagato Yuki yang nyelamatin gue dari pisau laknatmu itu, jadi gimana gue bisa benci dia?

...Aku tidak bisa mengatakan kata-kata diatas. Asakura ini bukan Asakura itu, dan sama juga dengan Nagato. Di dunia ini kayaknya hanya aku yang punya perspektif berbeda, dan semua orang jadi normal. Tidak ada Brigade SOS sama sekali.

Bagaimana caranya teman sekelas cantikku ini menafsirkan bisuku ke pertanyaannya? Dia hanya tertawa dengan hidungnya.

“Ga mungkin ah, Oh gitu. Saya udah ngeliat terlalu banyak, kayaknya. Tipe favorit kamu bakal lebih ke sisi aneh, dan Nagato-san ga cocok dengan profil aneh.”

“Darimana kamu tau tipe favoritku?”

“Aku hanya denger itu dari Kunikida-san. Kalian berdua satu kelas di SMP, kan?”

Si bangsat, ikut campur urusan begituan aja. Itu cuman salah paham si Kunikida. Tolong abaikan.

“Tapi kamu! Kalau kamu pengen kencan sama Nagato-san, kamu sebaiknya serius. Kalo engga, ga bakalan kumaafkan! Nagato mungkin terlihat sebaliknya, tapi sebenarnya dia rapuh didalam.”

Kenapa juga Asakura perhatian banget sama Nagato? Di dunia asli gue, Asakura itu backup Nagato – itu gue ngerti. Yah, akhirnya sih dia ngamuk trus dihapus deh. (T/L note : gue pake kata “backup Nagato” karena artinya jadi mendua dan mendalam. Artinya bisa asisten/pembantu ato cadangan. Nagato kan Makhluk Data—Data Lifeform. Di buku aslinya juga pake kata “backup” koq ;) )

“Itu cuman persahabatan yang berkembang dengan tinggal satu blok apartemen. Entah gimana saya ga bisa ngebiarin dia sendirian. Ngeliat dari jauh, saya ngerasa dia dalam bahaya. Dan entah darimana didalam diriku muncul rasa ingin ngelindungin dia, ngerti?”

Aku mungkin ngerti maksudnya, atau juga ga ngerti.

Percakapan selesai disitu, dan Asakura keluar dari lift di lantai lima. Kamar 505, aku ingat.

“Sampe besok.”

Wajah tersenyum Asakura terlihat diantara pintu yang menutup.

Aku keluar dari blok apartemen, dan suasana gelap diluar sedingin makanan beku segar. Angin utara merebut sesuatu yang lain dari badanku bersama dengan kehangatan badanku.

Aku berpikir untuk menyapa penjaga apartemen, tapi akhirnya tidak jadi. Jendela kaca pos penjaga ditutup rapat, dan didalam gelap. Dia mungkin tidur.

Aku juga ingin kembali ke kasur sesegera mungkin. Bahkan mimpi pun tidak masalah. Gadis itu bisa saja dengan gampangnya masuk ke mimpi orang lain secara tak sadar.

“Loe cuman jadi masalah pas ada ato engga, jadi keluar aja napa pas lagi masa kritis gini! Bisa ga sih loe denger permintaan gue barang sekali...?”

Aku berbisik ke langit berbintang, dan tiba-tiba terkejut dengan apa yang sedang kupikirkan. Aku ingin memukul diriku kuat-kuat di kepala karena berpikir ide mengerikan.

“Apa-apaan...”

Bisikan dari mulutku berubah jadi nafas putih dan menguap jadi udara tipis.



Aku ingin bertemu dengan Haruhi.


Back to Bab 1 Return to Halaman Utama Forward to Bab 3