Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-27753 kali
Sepak bola saat jam olahraga.
Karena Aku mimisan, Aku tidur di pangkuan Mogi-san.
Kemudian Aku mulai memikirkan tentang perasaannya untuk
membolehkanku tidur di pangkuannya. Apa mungkin dia mencoba,
meski sedikit, untuk menarik perhatianku?
Aku tidak mempunyai ide apapun; ekspresinya tetap saja datar
ketika aku memandangnya.
“…Mogi-san”
“Ada apa?”
“Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?”
“Eh?”
Mogi-san memiringkan kepalanya. Tetapi jawaban dia sepertinya
tidak akan keluar. Satu-satunya reaksi atas pertanyaan yang
kuajukan adalah wajah yang kebingungan.
Hal itu membuatku berpikir. Kalau merasakan perasaan pasangan
saja sangat sulit, apa cinta bisa berjalan mulus?
Kenapa Aku bisa jatuh cinta dengan gadis yang sulit?
Lagipula — sejak kapan Aku jatuh cinta?
Aku mencoba mengingat.
“…………Huh?”
“…Ada apa?”
Mogi-san bertanya saat Aku tiba-tiba mengeluarkan suara.
“T-tidak…Tidak ada!”
Wajahku mungkin tidak mengatakan ‘tidak ada’. Mogi-san tahu
hal itu. Tap karena dia tidak punya kemampuan untuk menanyaiku
tentang hal itu, dia tetap diam tanpa melakukan apapun.
Aku berdiri tanpa memberitahu Mogi-san.
“Ah, um…sepertinya mimisanku sudah berhenti.”
“…mh.”
Pembicaraan kami terhenti dengan kata-kata datar.
Kenapa Aku rela meninggalkan situasi yang nyaman ini?
Kenyamanan ini mungkin tidak datang dua kali.
Tapi—itu tidak mungkin.
Kau lihat, berapa kalipun kucoba—Aku tetap tidak bisa
mengingatnya.
Aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku
tidak bisa mengingatnya!…Aku tidak bisa mengingat kapan Aku
jatuh cinta padanya!
Kenapa aku jatuh cinta? Apa pemicunya? Atau Aku memang
tertarik dengan dia tanpa kusadari, bahkan tanpa ada kejadian
spesial apapun?
Aku seharusnya tahu; Tidak mungkin aku melupakannya, tapi…Aku
tidak bisa mengingatnya, berapa kalipun kucoba.
Itu bukanlah cinta pada pandangan pertama. Kecuali karena
fakta bahwa kami sekelas, kami hampir tidak punya hubungan
apa-apa.
Tetap saja, kenapa ya? Jangan-jangan kau bilang kalau ini
adalah cinta yang tiba-tiba—
“—Tidak mungkin…”
Meski sulit untuk dipercaya, cuma itu alasan yang bisa
kupikirkan. benar-benar cinta yang tiba-tiba.
“Ada apa? Apa kau baik-baik saja?…Perlukah kita pergi ke ruang
UKS?”
Mogi-san memberi saran dengan suara kalemnya. Aku tentu saja
senang dia mengkhawatirkanku. Hanya bahagia. Perasaan ini
tidaklah bohong.
“…Aku baik-baik saja. Aku cuma sedang memikirkan sesuatu.”
Aku berulangkali bertanya pada diriku apakah ini bukanlah
suatu kesalahan. Tapi semakin Aku menimbangnya, semakin
terlihat kebenarannya bagiku.
Aku belum tertarik pada Mogi-san.
Sampai kapan? Benar—
—Aku belum tertarik padanya sampai kemarin.
“—Ah, begitu rupanya.”
Aku memandang si murid pindahan yang sedang berdiri di
tengah-tengah lapangan — Aya Otonashi.
Sejak kapan ada kejadian yang membuatku tertarik dengan Mogi-
san? —ah, itu mudah. Bukan kemarin. Tapi hari ini Aku sudah
jatuh cinta. Jadi kapan?
Hal itu cuma bisa terjadi—antara kemarin dan hari ini.
Hanya selama lebih dari 20.000 kali pengulangan yang
terjadi karena ‘Rejecting Classroom’.
Ah, Aku ingat. Cuma pecahan saja, tetapi aku mungkin
mengingatnya lebih dari biasanya. Tetap saja, itu cuma pecahan
saja, jadi ingatanku banyak yang terlupakan.
Aku sudah melupakan hal yang paling penting untukku —
bagaimana Aku bisa jatuh cinta dengan Mogi-san. Dan pastinya
Aku tidak akan mendapatkannya kembali. Aku tidak bisa
membaginya dengan Mogi-san. Cinta sebelah tangan yang tidak
bisa kuapa-apakan, tak peduli lamanya waktu berjalan; hanya
perasaanku yang akan semakin kuat.
Tidak, mungkin lebih dari itu. Cinta ini mungkin menghilang
segera setelah ‘Rejecting Classroom’ berakhir. Maksudku, cinta
ini seharusnya tidak pernah ada tanpa adanya ‘Rejecting
Classroom’.
Ini aneh. Sesuatu seperti ini sangatlah aneh. Tidak ada
keraguan dalam cinta ini.
Tapi tetap saja cinta ini adalah kepura-puraan yang seharusnya
tidak ada?
Angin yang tiba-tiba berhembus sebelum pelajaran berakhir. Hal
itu mengangkat rok Mogi-san. Kenapa ya? Tapi Aku sedikit
merasa kalau Aku sudah mengetahui celana dalam berwarna biru
muda itu.
Tidak, Aku memang tahu itu.
Fakta bahwa Mogi-san mengenakan celana dalam biru muda hari
ini.
Dan fakta bahwa Aya Otonashi mengorbankan Kasumi Mogi lebih
dari siapapun untuk mengambil kembali ingatannya.
Karena itu Aku memutuskan.
Untuk mempertahankan ‘Rejecting Classroom’ ini.
✵
Kali ini Aya Otonashi tidak mendatangiku.
Tidak, kupikir sama saja dengan waktu sebelumnya. Aku hanya
mengingatnya sedikit, tapi sudah seperti ini sampai sekarang.
Selama jam makan siang, Aya Otonashi sendirian, mengunyah
rotinya dengan bosan.
Kali ini Akulah yang mendatanginya.
Hnaya melakukannya saja, tubuhku menegang dan detak jantungku
meningkat. Penolakan Otonashi-san terhadap yang lain sudah
membuat dinding besar, cukup untuk menambahkan tekanan
sendirian.
“…Otonashi-san.”
Aku mempersiapkan diriku dan memanggil namanya. Tetapi,
Otonashi-san bahkan tidak menoleh. Tapi seharusnya tidak
mungkin dia tidak mendengarnya dari jarak seperti ini, jadi
Aku terus melanjutkan perkataanku tanpa peduli.
“Aku punya sesuatu untuk dibicarakan.”
“Aku tidak mau.”
Dia menolakku tanpa menggerakkan mata.
“Otonashi-san.”
Tidak ada reaksi. Dia terus mengunyah rotinya dengan setengah
hati.
Dia sepertinya berencana tidak mempedulikan apapun yang Aku
katakan. Kalau begitu Aku cukup membuat dia tidak bisa
mengindahkanku.
Hal itu langsung terlintas didalam pikiranku ketika Aku
memikirkannya.
“…Maria.”
Kunyahannya terhenti.
“Ada yang ingin kubicarakan.”
Meski begitu dia bahkan tidak melirik kearahku. Dia juga tidak
mengatakan apapun.
Ruang kelas benar-benar sunyi. Teman-teman sekelasku hanya
melihat kami sambil menahan napas mereka.
Dan akhirnya Otonashi-san sudah kehilangan kesabaran dan
menghela.
“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan nama itu.
Sepertinya kau sudah mengingat banyak hal kali ini.”
“Yeah, karena itu—”
“Karena itu, tidak ada yang bisa dibicarakan denganmu.”
Sekali lagi dia mulai mengunyah rotinya tanpa peduli.
“Kenapa!”
Pandangan teman-teman sekelasku fokus pada diriku ketika Aku
dengan refleks mulai berteriak.
“Kenapa?! Apa aku ini bukanlah seseorang yang mesti kau
lakukan sesuatu padanya?! Jadi kenapa kau bahkan tidak mau
mencoba mendengarkanku!?”
“Kenapa, kau tanya?”
Otonashi-san memicingkan matanya.
“Kau benar-benar tidak tahu? Ha! Benar. Kau selalu bodoh,
beraksi seperti ini. Kau tidak memikirkan dirimu sendiri.
Kenapa aku harus bersama dengan orang seperti itu?”
“…well, kadang-kadang aku sendiri tidak tahu apa yang sudah
kulakukan.”
“Kadang-kadang? Payah. Apa yang berbeda dengan keadaanmu saat
ini, huh? Kau sama saja, ya kan?”
“Bagaimana kau bisa menyatakan hal itu? Mungkin aku akan
memberimu bantuan. Kalau begitu—”
“Tidak peduli.”
Otonashi-san mengeluarkan kata-kata itu tanpa menungguku
selesai berbicara.
Aku baru akan memprotesnya secara refleks. Tetapi protesku
terhapus oleh kata-kata Otonashi-san berikutnya.
“Karena kau tidak membuat proposal ini hanya dua atau tiga
kali saja.”
“Eh—?”
Aku sangat terkejut sehingga wajahku mungkin terlihat lucu.
Sedikit membuka mulutnya, Otonashi-san menaruh rotinya yang
sudah termakan setengah dan berbicara:
“Baiklah. Kali ini penuh dengan hal yang sia-sia. Ini bukan
cuma kedua atau ketiga kalinya aku menjelaskannya, tapi akan
aku katakan.”
Otonashi-san berdiri dan mulai berjalan menjauh.
Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.
✵
Seperti biasa dia mengajakku menuju ke belakang gedung
sekolah. Dan Otonashi-san seperti biasa menyandarkan diri di
dinding.
“Saat ini aku akan mengatakannya sekarang. Aku tidak akan
berdialog denganmu. Kau hanya akan mendengarkan kata-kataku
seperti seorang idiot.”
“…Aku bisa memutuskannya sendiri.”
Aku mengatakannya supaya sedikit menentang, tetapi Otonashi-
san hanya melemparkan tatapan dinginnya kearahku.
“Hoshino, apa kau tahu sudah berapa kali saat ini? Tidak, kau
tidak tahu. Kali ini pengulangan ke 27.753 kali.”
Angka itu terlalu fantastis.
“…apa kau selalu menghitungnya dengan detil?”
“Yeah, karena tidak mungkin aku bisa mengetahui hal ini kalau
aku berhenti menghitung bahkan kalau hanya sekali saja. Kalau
aku lupa, aku akan kehilangan pandangan pendirianku. Karena
itu aku menghitung.”
Tentu saja, hal itu sedikit menenangkan kalau seseorang tahu
berapa banyak langkah yang sudah dilakukan menuju tujuan akhir
yang tidak diketahui.
“Aku sudah mengulangnya sampai saat ini. Aku sudah mencoba
hampir semua cara untuk mendekatimu. Aku sedang berada dalam
situasi ketika aku bahkan tidak lagi memikirkan cara yang
tidak pernah kucoba sebelumnya.”
“Karena itukah kau berpikir tidak ada gunanya berbicara
denganku?”
“Yeah.”
“Karena itu kau bahkan tidak mencoba mendesakku menyerahkan
‘box’ kepadamu?”
“Aku sudah menyerah pada hal itu sejak dulu sekali.”
“Kenapa? Entah dimana saat pengulangan berlangsung, disana
seharusnya ada aku yang bekerjasama.”
“Yeah, tentu saja. Ada saat kau memperlakukanku dengan
permusuhan, dan ada juga saat kau bekerjasama denganku. Tapi
kau tahu? Hal itu tidak berarti lagi. Kau tidak menyerahkan
‘box’ dengan dua cara tersebut.”
Aku tidak menyerahkan ‘box’ bahkan saat Aku bekerjasama?…tapi
yah, itu logis. Kalau Otonashi-san sudah mendapatkan ‘box’,
maka yang «sekarang» ini didalam ‘Rejecting Classroom’ tidak
akan ada.
“Hanya mengonfirmasi: kau yakin kalau aku mempunyai ‘box’,
benar?”
“Aku sudah berkali-kali meragukannya. Tetapi kesimpulannya
tetap sama. Kazuki Hoshino adalah, tanpa ragu, si ‘pemilik’.”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Disana tidak terlalu banyak tersangka seperti yang kau
pikirkan. Penjelasannya terlalu panjang jadi aku akan
mempersingkatnya. Tidak mungkin untuk beberapa orang
mengelabuiku selama 27.753 kali. Karena itu, cuma kau yang
mungkin adalah si ‘pemilik’. Selain itu, tidak terhubung
dengan ‘Rejecting Classroom’, disitu secara tidak langsung ada
bukti yang tidak terbantahkan, ya kan?”
Seperti yang dia katakan. Aku sudah bertemu dengan penyalur
‘box’—“*”.
“Meski begitu, kau tidak melepaskan ‘box’ sama sekali. tentu
saja, kau tidak bisa. Aku sudah menandaimu sebagai si ‘pemilik
’ lebih dari 20.000 kali.”
“Jadi kau masih belum menyerah?”