Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-27753 kali

From Baka-Tsuki
Revision as of 10:14, 6 January 2012 by Bakayarou (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Sepak bola saat jam olahraga.

Karena Aku mimisan, Aku tidur di pangkuan Mogi-san.

Kemudian Aku mulai memikirkan tentang perasaannya untuk

membolehkanku tidur di pangkuannya. Apa mungkin dia mencoba,

meski sedikit, untuk menarik perhatianku?

Aku tidak mempunyai ide apapun; ekspresinya tetap saja datar

ketika aku memandangnya.

“…Mogi-san”

“Ada apa?”

“Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?”

“Eh?”

Mogi-san memiringkan kepalanya. Tetapi jawaban dia sepertinya

tidak akan keluar. Satu-satunya reaksi atas pertanyaan yang

kuajukan adalah wajah yang kebingungan.

Hal itu membuatku berpikir. Kalau merasakan perasaan pasangan

saja sangat sulit, apa cinta bisa berjalan mulus?

Kenapa Aku bisa jatuh cinta dengan gadis yang sulit?

Lagipula — sejak kapan Aku jatuh cinta?

Aku mencoba mengingat.

“…………Huh?”

“…Ada apa?”

Mogi-san bertanya saat Aku tiba-tiba mengeluarkan suara.

“T-tidak…Tidak ada!”

Wajahku mungkin tidak mengatakan ‘tidak ada’. Mogi-san tahu

hal itu. Tap karena dia tidak punya kemampuan untuk menanyaiku

tentang hal itu, dia tetap diam tanpa melakukan apapun.

Aku berdiri tanpa memberitahu Mogi-san.

“Ah, um…sepertinya mimisanku sudah berhenti.”

“…mh.”

Pembicaraan kami terhenti dengan kata-kata datar.

Kenapa Aku rela meninggalkan situasi yang nyaman ini?

Kenyamanan ini mungkin tidak datang dua kali.

Tapi—itu tidak mungkin.

Kau lihat, berapa kalipun kucoba—Aku tetap tidak bisa

mengingatnya.

Aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku

tidak bisa mengingatnya!…Aku tidak bisa mengingat kapan Aku

jatuh cinta padanya!

Kenapa aku jatuh cinta? Apa pemicunya? Atau Aku memang

tertarik dengan dia tanpa kusadari, bahkan tanpa ada kejadian

spesial apapun?

Aku seharusnya tahu; Tidak mungkin aku melupakannya, tapi…Aku

tidak bisa mengingatnya, berapa kalipun kucoba.

Itu bukanlah cinta pada pandangan pertama. Kecuali karena

fakta bahwa kami sekelas, kami hampir tidak punya hubungan

apa-apa.

Tetap saja, kenapa ya? Jangan-jangan kau bilang kalau ini

adalah cinta yang tiba-tiba—

“—Tidak mungkin…”

Meski sulit untuk dipercaya, cuma itu alasan yang bisa

kupikirkan. benar-benar cinta yang tiba-tiba.

“Ada apa? Apa kau baik-baik saja?…Perlukah kita pergi ke ruang

UKS?”

Mogi-san memberi saran dengan suara kalemnya. Aku tentu saja

senang dia mengkhawatirkanku. Hanya bahagia. Perasaan ini

tidaklah bohong.

“…Aku baik-baik saja. Aku cuma sedang memikirkan sesuatu.”

Aku berulangkali bertanya pada diriku apakah ini bukanlah

suatu kesalahan. Tapi semakin Aku menimbangnya, semakin

terlihat kebenarannya bagiku.

Aku belum tertarik pada Mogi-san.

Sampai kapan? Benar—

Aku belum tertarik padanya sampai kemarin.

“—Ah, begitu rupanya.”

Aku memandang si murid pindahan yang sedang berdiri di

tengah-tengah lapangan — Aya Otonashi.

Sejak kapan ada kejadian yang membuatku tertarik dengan Mogi-

san? —ah, itu mudah. Bukan kemarin. Tapi hari ini Aku sudah

jatuh cinta. Jadi kapan?

Hal itu cuma bisa terjadi—antara kemarin dan hari ini.

Hanya selama lebih dari 20.000 kali pengulangan yang

terjadi karena ‘Rejecting Classroom’.

Ah, Aku ingat. Cuma pecahan saja, tetapi aku mungkin

mengingatnya lebih dari biasanya. Tetap saja, itu cuma pecahan

saja, jadi ingatanku banyak yang terlupakan.

Aku sudah melupakan hal yang paling penting untukku —

bagaimana Aku bisa jatuh cinta dengan Mogi-san. Dan pastinya

Aku tidak akan mendapatkannya kembali. Aku tidak bisa

membaginya dengan Mogi-san. Cinta sebelah tangan yang tidak

bisa kuapa-apakan, tak peduli lamanya waktu berjalan; hanya

perasaanku yang akan semakin kuat.

Tidak, mungkin lebih dari itu. Cinta ini mungkin menghilang

segera setelah ‘Rejecting Classroom’ berakhir. Maksudku, cinta

ini seharusnya tidak pernah ada tanpa adanya ‘Rejecting

Classroom’.

Ini aneh. Sesuatu seperti ini sangatlah aneh. Tidak ada

keraguan dalam cinta ini.

Tapi tetap saja cinta ini adalah kepura-puraan yang seharusnya

tidak ada?

Angin yang tiba-tiba berhembus sebelum pelajaran berakhir. Hal

itu mengangkat rok Mogi-san. Kenapa ya? Tapi Aku sedikit

merasa kalau Aku sudah mengetahui celana dalam berwarna biru

muda itu.

Tidak, Aku memang tahu itu.

Fakta bahwa Mogi-san mengenakan celana dalam biru muda hari

ini.

Dan fakta bahwa Aya Otonashi mengorbankan Kasumi Mogi lebih

dari siapapun untuk mengambil kembali ingatannya.


Karena itu Aku memutuskan.

Untuk mempertahankan ‘Rejecting Classroom’ ini.



Kali ini Aya Otonashi tidak mendatangiku.

Tidak, kupikir sama saja dengan waktu sebelumnya. Aku hanya

mengingatnya sedikit, tapi sudah seperti ini sampai sekarang.

Selama jam makan siang, Aya Otonashi sendirian, mengunyah

rotinya dengan bosan.

Kali ini Akulah yang mendatanginya.

Hnaya melakukannya saja, tubuhku menegang dan detak jantungku

meningkat. Penolakan Otonashi-san terhadap yang lain sudah

membuat dinding besar, cukup untuk menambahkan tekanan

sendirian.

“…Otonashi-san.”

Aku mempersiapkan diriku dan memanggil namanya. Tetapi,

Otonashi-san bahkan tidak menoleh. Tapi seharusnya tidak

mungkin dia tidak mendengarnya dari jarak seperti ini, jadi

Aku terus melanjutkan perkataanku tanpa peduli.

“Aku punya sesuatu untuk dibicarakan.”

“Aku tidak mau.”

Dia menolakku tanpa menggerakkan mata.

“Otonashi-san.”

Tidak ada reaksi. Dia terus mengunyah rotinya dengan setengah

hati.

Dia sepertinya berencana tidak mempedulikan apapun yang Aku

katakan. Kalau begitu Aku cukup membuat dia tidak bisa

mengindahkanku.

Hal itu langsung terlintas didalam pikiranku ketika Aku

memikirkannya.

“…Maria.”

Kunyahannya terhenti.

“Ada yang ingin kubicarakan.”

Meski begitu dia bahkan tidak melirik kearahku. Dia juga tidak

mengatakan apapun.

Ruang kelas benar-benar sunyi. Teman-teman sekelasku hanya

melihat kami sambil menahan napas mereka.

Dan akhirnya Otonashi-san sudah kehilangan kesabaran dan

menghela.

“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan nama itu.

Sepertinya kau sudah mengingat banyak hal kali ini.”

“Yeah, karena itu—”

“Karena itu, tidak ada yang bisa dibicarakan denganmu.”

Sekali lagi dia mulai mengunyah rotinya tanpa peduli.

“Kenapa!”

Pandangan teman-teman sekelasku fokus pada diriku ketika Aku

dengan refleks mulai berteriak.

“Kenapa?! Apa aku ini bukanlah seseorang yang mesti kau

lakukan sesuatu padanya?! Jadi kenapa kau bahkan tidak mau

mencoba mendengarkanku!?”

“Kenapa, kau tanya?”

Otonashi-san memicingkan matanya.

“Kau benar-benar tidak tahu? Ha! Benar. Kau selalu bodoh,

beraksi seperti ini. Kau tidak memikirkan dirimu sendiri.

Kenapa aku harus bersama dengan orang seperti itu?”

“…well, kadang-kadang aku sendiri tidak tahu apa yang sudah

kulakukan.”

“Kadang-kadang? Payah. Apa yang berbeda dengan keadaanmu saat

ini, huh? Kau sama saja, ya kan?”

“Bagaimana kau bisa menyatakan hal itu? Mungkin aku akan

memberimu bantuan. Kalau begitu—”

“Tidak peduli.”

Otonashi-san mengeluarkan kata-kata itu tanpa menungguku

selesai berbicara.

Aku baru akan memprotesnya secara refleks. Tetapi protesku

terhapus oleh kata-kata Otonashi-san berikutnya.

“Karena kau tidak membuat proposal ini hanya dua atau tiga

kali saja.”

“Eh—?”

Aku sangat terkejut sehingga wajahku mungkin terlihat lucu.

Sedikit membuka mulutnya, Otonashi-san menaruh rotinya yang

sudah termakan setengah dan berbicara:

“Baiklah. Kali ini penuh dengan hal yang sia-sia. Ini bukan

cuma kedua atau ketiga kalinya aku menjelaskannya, tapi akan

aku katakan.”

Otonashi-san berdiri dan mulai berjalan menjauh.

Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.



Seperti biasa dia mengajakku menuju ke belakang gedung

sekolah. Dan Otonashi-san seperti biasa menyandarkan diri di

dinding.

“Saat ini aku akan mengatakannya sekarang. Aku tidak akan

berdialog denganmu. Kau hanya akan mendengarkan kata-kataku

seperti seorang idiot.”

“…Aku bisa memutuskannya sendiri.”

Aku mengatakannya supaya sedikit menentang, tetapi Otonashi-

san hanya melemparkan tatapan dinginnya kearahku.

“Hoshino, apa kau tahu sudah berapa kali saat ini? Tidak, kau

tidak tahu. Kali ini pengulangan ke 27.753 kali.”

Angka itu terlalu fantastis.

“…apa kau selalu menghitungnya dengan detil?”

“Yeah, karena tidak mungkin aku bisa mengetahui hal ini kalau

aku berhenti menghitung bahkan kalau hanya sekali saja. Kalau

aku lupa, aku akan kehilangan pandangan pendirianku. Karena

itu aku menghitung.”

Tentu saja, hal itu sedikit menenangkan kalau seseorang tahu

berapa banyak langkah yang sudah dilakukan menuju tujuan akhir

yang tidak diketahui.

“Aku sudah mengulangnya sampai saat ini. Aku sudah mencoba

hampir semua cara untuk mendekatimu. Aku sedang berada dalam

situasi ketika aku bahkan tidak lagi memikirkan cara yang

tidak pernah kucoba sebelumnya.”

“Karena itukah kau berpikir tidak ada gunanya berbicara

denganku?”

“Yeah.”

“Karena itu kau bahkan tidak mencoba mendesakku menyerahkan

‘box’ kepadamu?”

“Aku sudah menyerah pada hal itu sejak dulu sekali.”

“Kenapa? Entah dimana saat pengulangan berlangsung, disana

seharusnya ada aku yang bekerjasama.”

“Yeah, tentu saja. Ada saat kau memperlakukanku dengan

permusuhan, dan ada juga saat kau bekerjasama denganku. Tapi

kau tahu? Hal itu tidak berarti lagi. Kau tidak menyerahkan

‘box’ dengan dua cara tersebut.”

Aku tidak menyerahkan ‘box’ bahkan saat Aku bekerjasama?…tapi

yah, itu logis. Kalau Otonashi-san sudah mendapatkan ‘box’,

maka yang «sekarang» ini didalam ‘Rejecting Classroom’ tidak

akan ada.

“Hanya mengonfirmasi: kau yakin kalau aku mempunyai ‘box’,

benar?”

“Aku sudah berkali-kali meragukannya. Tetapi kesimpulannya

tetap sama. Kazuki Hoshino adalah, tanpa ragu, si ‘pemilik’.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Disana tidak terlalu banyak tersangka seperti yang kau

pikirkan. Penjelasannya terlalu panjang jadi aku akan

mempersingkatnya. Tidak mungkin untuk beberapa orang

mengelabuiku selama 27.753 kali. Karena itu, cuma kau yang

mungkin adalah si ‘pemilik’. Selain itu, tidak terhubung

dengan ‘Rejecting Classroom’, disitu secara tidak langsung ada

bukti yang tidak terbantahkan, ya kan?”

Seperti yang dia katakan. Aku sudah bertemu dengan penyalur

‘box’—“*”.

“Meski begitu, kau tidak melepaskan ‘box’ sama sekali. tentu

saja, kau tidak bisa. Aku sudah menandaimu sebagai si ‘pemilik

’ lebih dari 20.000 kali.”

“Jadi kau masih belum menyerah?”