Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab3

From Baka-Tsuki
Revision as of 18:49, 6 October 2011 by 222.124.198.172 (talk)
Jump to navigation Jump to search

Bab 3 Hari libur Tristania

Bagian 1

Lonceng Kuil Saint Rémy berdentang menandakan jam 11 tiba.

Saito tengah berlari menuju plaza pusat di jalan De Chicton.

Alasa dia lari adalah...,itu karena dia terlambat untuk sebuah kencan. Dia menyikut menyibak melalui massa untuk berjalan, dan hampir saja tak sampai tepat waktu di plaza pusat, dimana disana dia melihat orang yang menungguinya tengah merajuk.

"H-hei."

Melihat Saito, Louise, yang tengah duduk di pancuran, menggembungkan pipinya.

"Ada apa denganmu?! Kau telat!"

"Tidak...aku dicegat scarron saat hendak berangkat."

"Abaikan saja dia."

"Tak bisa, dia majikanku saat ini..."

Sambil menekan, Louise menarik Saito. aah, seharusnya aku menyelamatkan diri dan tak datang ke kencan ini bila dia marah-marah seperti ini.

Louise berdandan untuk kesempatan ini. dia malu-malu, karena meski dia terlihat cantik, pakaiannya tetap tak pantas bagi seorang ningrat...Dia berpakaian dalam trend terkini, yang terkenal diantara gadis-gadis kota __beret hitam dan baju hitam dengan garis leher yang tegas. Kalung yang diberikan Saito tergantung di lehernya. Dia nemar-benar terlihat seperti gadis kota dalam pakaian ini. Sebagaimana kita duga dari gadis dalam masa puber, sulit bagi Louise untuk mendapatkan baju yang cocok di kota.


Aaah, dia benar-benar memikat bila diam. Dengan lengan terlipat dan dagu terangkat, sang gadis memandangi jalan penuh fokus. Rambur pink blondenya berkilau lemah dibawah cahaya sang surya. Mata hazel besarnya merupakan tanda nyata bahwa dia dari dunia lain. Aah, Tuan tercintanya terlihat sangat manis sekarang, tengah menggerak-gerakkan kakinya tanda tak sabar.

"Hai, ayo pergi! Biar sampai sebelum acara dimulai." kata Louise yang tetap terdengar sedikit malu-malu.

Saito mengangguk dan terus berjalan namun Louise tetap berdiri di tempatnya.

"Ada apa sih?"

"Muu! Dampingi aku dengan benar dong!"

"Mendampingi?"

"Benar. Hei!"

Louise langsung menarik lengan Saito.

"Kuh?" Dia terlihat kaget dengan terangkainya lengan.

Berpegangan Tangan! Hal ini membuat Saito bertingkah aneh. Walau Louise biasa menggunakan tangannya sebagai bantalan tidur akhir-akhir ini, dia tetap tak terbiasa berjalan sambil berpegangan tangan di tengah-tengah kota. Saito merasa tegang. Lalu Louise menginjak kakinya.

"A-Apa?!"

"Kau harus memimpin jalan selama Hari Void kita. Mengapa kau tak mengatakan sesuatupun? Uuuuh!" Louise mengamuk.

"Ka-karena ini hari Void kita, bagaimana kalau kita ke te-teater?"

Louise menggelengkan kepala sambil mendesah lalu menarik lengan saito dan menyeretnya.

"Muu! Pendamping payah! Lewat sini!"

Dan begitulah yang terjadi, berjalan dengan cara dimana tak jelas siapa memimpin siapa, pasangan ini menyusuri jalan-jalan Tristain, di bawah terik sinar matahari musim panas.


Lalu, mengapa mereka ingin menonton pertunjukan?

Hari ini adalah Hari Rag dan penginapan Tutup. Louise mengatakan dia ingin pergi menonton pertunjukan pagi-pagi sekali saat tengah sarapan (meski sebenarnya ini makan malam, karena mereka tidur telat malam kemarin) dengan Saito di loteng.

"Pertunjukan?"

"Ya benar." gumam Louise yang entah kenapa mali.

"Kau suka hal-hal semacam pertunjukan?"

"Aku tak suka, tapi aku ingin melihat salah satu."

"Menontonnya?."

"Louise mengangguk. Bila dipikir baik-baik, Louise tumbuh di lingkungan yang berbeda. Louise dididik keras di rumah sehinggadia mungkin tak pernah ke teater kota.

Saito tiba-tiba merasa kasihan pada Louise saat memikirkan ini.

"Baiklah, tapi mengapa sekarang?"

"Jessica bilang hari ini ada pertunjukan yang sangat terkenal dipentaskan."

Louise tetap seorang gadis, yang tertarik hal-hal yang tengah ngetrend, sama seperti yang lain

Dan.

Louise bersikeras hal itu harus dilakukan dengan kencan untuk alasan tertentu.

"Rasanya tak benar hanya pergi kesana. Rasa itu penting! Karenanya ayo ketemuan!"

"Ketemuan?"

"Mau kan? Ketemuannya di air mancur di plaza pusat."

"Repot."

"Tentu tidak. makanya, ayo ke Teater Tanaijiiru Royal."

“Fuu~n.”

Jadilah mereka ketemuan.

Teater Royal Tanaijiiru benar-benar megah, sebuah teater agung dari pahatan nan indah. Kolom-kolom yang berbaris membuatnya bagaikan kuil.

Para lelaki dan wanita yang berpakaian indah berkumpul di sana.

Saito juga mengikuti mereka.

Setelah membeli tiket yang ternyata murah (mengejutkan!!!) dari loket, saito menuju kursi penonton. Sebuah tirai tebal diturunkan di panggung, membuat keadaan sekitar merinding...Saito memang bergairah oleh suasana yang misterius ini.

Kursi-kursi ditandai angka-angka yang juga tertulis pada tiket, menunjukkan dimana orang seharusnya duduk, namun karena saking bersemangatnya, Saito duduk di kursi yang berbeda tanpa menyadarinya.

saat dia dan Louise menunggu pertunjukan dimulai, seorang ningrat tampan berusia pertengahan dengan rambut perak nan indah menepuk pundaknya.

“Hai kawan.”

“Y-ya?”

“Ini kursi yang kupesan sejak lama. Bukankah kursimu beda?”

Dengan itu, nomor kursi dicocokkan. Memang sebagaimana yang dikatakan orang tadi. Dengan agak enggan, Saito, sambil dibujuk Louise, berdiri.

“Muu! Kau memalukan!” keluh Louise sambil menggelengkan kepala. Sambil mencari kursinya, saito menanyai Louise.

“Eh, pertunjukannya apa ya tadi?”

“ ...hari libur Tristania.”

“Gimana alurnya?”

“Putri sebuah negri dan pangeran negeri lain datang ke Tristania secara diam-diam. Psangan ini saling bertemu sambil menyembunyikan identitas mereka, namun begitu mereka jatuh cinta...mereka menyingkap identitas masing-masing dan berpisah. Sebuah kisah sedih.”

Cerita semacam itu sangat terkenal bagi gadis-gadis remaja. Dan memang teater disesaki gadis-gadis remaja.

Setelah dia bersusah payah menemukan kursinya, tirai terangkat. Pertunjukan dimulai. Musik dimainkan dan...terdengar indah dalam teater.

“Luar biasa.”

Louise menonton panggung dengan perhatian penuh.

Saito, yang menonton pertunjukan Helkeginia untuk pertamakalinya, awalnya memperhatikan penuh perhatian juga, Namun...dia segera bosan.

Skenarionya tak buruk – pikirnya. Tapi para pemainnya tak ahli. Meski Saito tak terlalu tertarik pada pertunjukan, dia pernah menonton berbagai movie di bumi dan beberapa pertunjukan sekolah.

Dibandingkan dengan itu...orang-orang ini pemain kelas teri. Terkadang suara mereka fals dan adegan menyanyi dilakukan dengan tak bernada. Apa ini benar-benar opera raya?

Namun Louise tetap tersentuh secara mendalam olehnya, sampai tertawa ‘ha!’ dan mendesah lemah. waa, seharusnya aku menikmati pertunjukan seperti mereka, pikir Saito.

Namun...pertunjukan tak menunjukkan kemajuan. Dia menerawangi, memperhatikan para penonton sekelilingnya dan menguap. Tampaknya ada beberapa wajah terkenal disana. Akan tetapi, hanya gadis-gadis remaja menonton para pemain dengan penuh fokus. Sepertinya ada hal-hal yang tak berubah meski dunianya berbeda.

Saito mulai mengantuk saat pertunjukan

Karena tak mampu lagi menahannya, dia mulai mendengkur perlahan.

  Louise melemparkan pandangan marah pada Saito yang tertidur,

A-Apa?! Dia ini...meski ini pertunjukan istimewa! Sia-sia Aku mengundangnya!

Ini adalah sebuah kencan bagi Louise. Seharusnya ini kencan pertama yang akan terus terkenang. Makanya dia begitu ribut soal-hal-hal kecil seperti cara bertemu dsb, tapi si familiar ini tak menyadarinya.

Terlebih lagi, dia tak membimbingku!

Dia tak tahu diaman teaternya!

Aku yang harusmembeli tiket!

Lebih jauh lagi, dia salah kursi, itu sangat memalukan!

Lalu...dia tertidur!

Meski dia memilih Saito sebagai teman kencan pertamanya yang telah begitu lama dinanti, familiar ini malas-malasan saat menjadi teman kencan tuannya!

Dan Saito memilih untuk acuh tak acuh! Tak Ter-Am-Pu-Ni! Louise menahan perasaan yang ingin ditumpahkannya dan menatap tajam Saito, yang telah memulai perjalanannya ke alam mimpi.

tapi..pertunjukannya sangat lama...dan Louise juga makin lelah seiring waktu. Lalu kantuk menguasanya dan dia perlahan menutup matanya.

Memang tak mungkin menahannya...dan dia menyenderkan kepalanya pada bahu saito...dia mulai menonton pertunjukan lain di alam mimpi...Louise mulai mendayung sebuah perahu.


Ada pengunjung lain yang juga tak menonton. Dia adalah bangsawan umur pertengahan yang kursinya diambil Saito secara salah tadi. Dia duduk di sebelahs eorang pedagang dan tengah mengadakan pembicaraan rahasia dengannya.

Isi pembicaran ini...adalah hal-hal yang mereka dengar dari Jenderal-jenderal Tristain. Rahasia militer Tristain yang sangat tertutup adalah objek gosip ini.

“Pembangunan armada?” tanya sang pedagang.

“Paling tidak makan waktu setengah tahun.” jawab sang bangsawan.

Ada lebih banyak bisikan selama pembicaraan...sebagai imbalan informasi rahasia terkait kerajaan. si pedagang memberikan sebuah kantong kecil pada si bangsawan.

Si pedagang berbisik, “Tapi...mengapa kita bertemu di teater?”

“Apa? Untuk mengadakan pembicaraan rahasia di keramaian. Sudah biasa bila kita membisikkan sebuah cerita disini. Karenanya- sebuah teater. Jika kau melakukannya di sebuah ruangan sempit, orang-orang akan curiga kau merencanakan suatu makar.”

“Haha. Saya yakin Yang Mulia akan sangat tertarik pada informasi Tuah. Dia bahkan mungkin memberimu sebuah medali jika kau datang ke atas awan.”

“Orang Albion ini berhati dingin.”

“Apa? Seluruh daratan ini akan dipanggil dengan nama itu, cepat atau lambat. Terima kasih untuk kerjasamanya.”

Setelah mengatakan ini, si pedagang mencoba berdiri. Sang Bangsawan menghentikannya.

“Apa lagi?”

“Mengapa kau tak berlaku lebih tenang? Tunggu hingga menit terakhir pertunjukan.”

Lantai batu Istana Kerajaan Tristain menggemakan suara derap sepatu begitu seorang ksatria wanita muda berjalan. Rambutnya blonde pendek dan matanya biru cerah. Sebuah baju rantai pelindung dengan bagian lapisan logam melingkari tubuhnya, sebagai tambahan dari jubah dengan mantel lili bersenjata yang dilukis pada jubah tersebut.

Namun tiada tongkat di pinggangnya...yang ada malah sebuah pedang yang panjang dan tipis. datang dan pergi, para penjaga yang merupakan bangsawan dan penyihir terhenti dan menatapnya heran, karena tak biasa melihat pedang di Istana Kerajaan.

Para penyihir yang melihat pedang di pinggangnya dan mal rantai yang dia pakai mulai berbisik sesama mereka.

“Hah! Wanita jelata!”

“Dia pasti mendapatkan izin luar biasa untuk berjalan di Istana dengan pakaian seperti itu, oh...zaman sudah berubah!”

“Apalagi wanita ini Protestan! Memberikan gelar Chevalier pada serangga yang sangat berbahaya...aku malu sekali pada paduka muda kita!”

Meski tatapan dan suara-suara tak enak menggema, wanita muda itu terus berjalan lurus, tanpa memandang mereka sedikitpun. Di akhir lorong...dia menuju kantor Henrietta. Dia diberhentikan oleh seorang anggota penyihir penjaga di pintu yang menyandang sabit kerajaan di dadanya, yang tak memperbolehkannya mengunjungi Paduka.

“Paduka tengah berada dalam sebuah konferensi saat ini. Datang lagi nanti.”

Penyihir penjaga mengatakannya dengan dingin, sama sekali tak berusaha menyembunyikan ketaksukaannya pada ksatria wanita tersebut.

“Mohon bilang padanya bahwa Agnes datang. Aku diizinkan mengunjungi Paduka setiap saat.”

Sang Penjaga menatapnya tajam lalu membuka pintu dan menghilang kedalam ruangan. Setelah itu, dia datang kembali dan mengizinkan Agnes masuk ruangan.

Begitu Agnes memasuki ruangan, Henrietta tengah berdiskusi dengan Richmon dari Pengadilan Tinggi. Apa itu Pengadilan Tinggi? Pengadilan tinggi merupakan Badan yang mengatur administrasi keadilan kerajaan. Kapanpun kelas yang diistimewakan tak setuju...Keputusan menyela masuk. Mereka memeriksa sastra, opera atau pertunjukan dalam teater, atau membimbing pasar rakyat jelata dan seringkali menangani konflik didalam administrasi pemerintahan monarki provinsi.

Henrietta yang menyadari kehadiran Agnes, tersenyum sampai ke ujung bibir, dan mengatakan pada Richmon agar diskusi ditunda.

“Tapi Paduka...Menaikkan pajak lagi akan membuat ketidakpuasan diantara rakyat jelata membesar. Ini akan menciptakan kekacauan, Negara lain mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk menekan kita.”

“Ini darurat. Meski rakyat kita kekurangan...” “Pembangunan 50 kapal perang! 20.000 tentara bayaran! Mempersenjatai 15.000 tentara ningrat! Ransum untuk petugas, orang dan kekuatan sekutu! darimana kau bisa dapat uang sebegitu banyak? Membangun sebuah tentara penyerbu dst...Mohon dilupakan saja.”

“Kini, Prioritas nasional Tristain adalah Penggulingan Albion.”

“Tapi Paduka, meski mantan raja-mantan raja dari Halkeginia bersatu dan menyerang Albion berulang kali...mereka selalu dikalahkan. Pergi berperang menyebrangi langit memiliki lebih banyak kesulitan daripada yang terbayangkan.” ucap Richmon, dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan “tak mungkin”.

“Aku tahu. namun, aku juga tahu bahwa Menteri keuangan melaporkan bahwa “Pengadaan biaya perang ini tak mustahil.”. Apa kau tak puas kau takkan bisa menikmati kemewahanmu yang sekarang? Aku ingin tahu, seberapa banyak sih yang kau tabung sejak kau mulai bekerja?” kata Henrietta secara sarkastik, sambil memandang pakaian indah yang dikenakan Richmon.

“Aku sendiri melarang ksatria penjaga kerajaan untuk mengenakan rantai perak yang menghiasi cane sebagai contoh bagi yang lain. Kita sekarang bersatu Richmon. Tiada lagi ningrat, jelata atau anggota keluarga kerajaan.”

Henrietta menatap tegas pada Richmon. Richmon menundukkan kepalanya.

“Kau dapat aku dengan ini. Aku tahu Paduka. Namun, Dewan Pengadilan Tinggi terdiri dari banyak orang dan tak mungkin mereka serempak setuju dengan perang ini. Aku ingin kau menyadarinya sebagai sebuah kenyataan.”

“Kita akan mencapai kesepakatan, dengan usaha dari kardinal dan saya sendiri. Saya percaya kita dapat membujuk dewan.”

Richmon memandangi Henrietta yang mengucapkan ini dengan mata nan tajam.

“..Ada yang salah?”

“Tidak..Aku hanya mengagumi.”

“Mengagumi?”

“Itu benar. Richmon ini telah melayani Philip si hebat selama 10 tahun, 30 tahun lalu. Saat kau lahir, aku tahu lebih banyak mengenai Yang Mulaia dibandingkan Yang Mulia sendiri.”

“Oh, itu.”

“Meski mungkin  kau tak ingat, Raja dan Ratu benar-benar senang dengan kelahiranmu! Meski menakutkan untuk mengangkat tubuh kecilmu dengan lenganku, aku merasa terhormat untuk mengayunkan dan memandikan Paduka sekali-dua kali.”

“Ibuku mengatakan kau mekukannya dengan baik.” kata Henrietta sambil tersenyum.

“Kau terlalu baik. Baru saja aku berkata kasar soal tak memikirkan ibu Pertiwi.”

“Kau seorang Pahlawan sejati, aku tahu itu dengan sangat baik.”

“Ya sudah, aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Meski dahulu Yang Mulia adalah seorang cengeng, kini dia telah menjadi wanita sempurna. Tiada yang perlu aku sesali.”

“Aku masih seorang yang cengeng. Mohon pinjamkan kekuatanmu untuk Ibu Pertiwi, Richmon.”

Richmon membungkuk, meminta izin untuk meninggalkan ruangan. Henrietta mengangguk.

Agnes yang berdiri di sebelah pintu, menonton Richmon yang pergi.

Akhirnya Agnes menghadap Henrietta, yang duduk di kursi, dan berlutut sambil menundukkan kepala.

“Selamat datang, Agnes Chevalier de Milan.”

Sambil melihat ke langit-langit, Henrietta bertanya “Apa kau sudah menyelesaikan penyelidikan?”

“Ya.”

Agnes mengeluarkan surat dari dadanya dan menyerahkannya pada Henrietta. Sang Ratu mengambilnya dan membaca isinya. Ini adalah...Ini adalah...Henrietta memerintahkan Ksatria wanita ini untuk menyelidiki kejadian malam tak terduga itu. Malam dimana seorang penculik dari Albion...Wales yang dihidupkan kembali, menyusup masuk Istana Kerjaan, sesuai rencana tertulis seseorang.

“Jadi sang penunjuk jalan tak dibimbing sendiri...begitu kan?”

“Benar sekali, dia dibantu orang dalam, jalinan ditarik ke atas, dan dia bisa masuk kedalam Istana kerajaan tanpa disadari bagai dia seorang diri.”

“Untuk bersembunyi, begitu kelompok yang mencoba membujukku datang.” kata Henrietta dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya. Hanya dalam 5 menit, Yang Mulia.”

“Begitu ketahuan, dia bersikeras ini kebetulan semata. Namun, dia tak bisa menjelaskan sumber uang yang diterimanya...”

Orang yang namanya tertulis disana, adalah salah satu yang dia tunjuk sendiri, dan dikiranya akan setia, namun disuap sejumlah...

“70.000 écu...Emas sejumlah ini lebih tinggi daei seluruh pensiunnya.”

“Begitulah sebagaimana yang kau katakan.”

Sambil berlutut, Agnes menyetujui perkataan ratu.

“Meski kita bisa menangkap mata-mata yang bekerja demi uang itu...Jumlah yang menyebrang ke sisi Albion kini meningkat.”

“Karyawan itu...”

“Aku tak bisa menghubunginya kemarin. Mungkin, dia merasa dia sudah ketahuan.”

“Henrietta mendesah.”

“Ular di dada.”

“Para bangsawan Reconquista mencapai dan mendengar jauh melebihi batas negara.”

“Kekuatan uang. Seorang lelaki dengan mimpinya berubah jadi lelaki dengan nafsu pada emas. Untuk uang...dia berusaha menjualku dan negara.”

Agnes terdiam. Henrietta menaruh tangannya pada bahu Agnes dengan perlahan.

“Kau melakukannya dengan baik. Terima kasih.”

Agnes melihat sabit di jubahnya. Sabit...lili, perlambang keluarga Kerajaan.

“Aku mendedikasikan diriku pada Yang Mulia. Yang Mulia telah memberi saya nama keluarga dan Posisi.”

“Aku tak bisa percaya pada opemakai sihir lagi. Kecuali beberapa teman lama...” ucap Henrietta dengan nada sedih.

“Di Tarbes, bangsawan mirip dengan tentara. Karenanya, inilah yang membuatmu seorang ningrat sejati.”

“Kau terlalu baik.”

“Henrietta menggelengkan kepalanya perlahan.

“Agnes, Kau...bersusah payah di dewan kerajaan.”

“Aku lahir sebagaimana aku dilahirkan. Dan ejekan-ejekan itu tak berpengaruh.”

“Meski kau bukan seorang ningrat sejak lahir, kau seorang ningrat dengan jiwamu. betapa bodohnya mereka.”

Agnes menggumamkan sebuah pertanyaan, “Dan bagaimana tindakanmu terhadap kasus orang itu?”

“Tak cukup bukti. Sulit untuk membuktikan sebuah kejahatan.”

“Lalu...”Agnes melanjutkannya dengan suara rendah.

“Aku hanyalah seorang Ratu yang baru diangkat...Aku akan menyerahkan semuanyapada ‘Korps Musketeer’.”

Setelah pengkhianatan komandan Wardes, Perang Tarbes, dan pemusnahan Korps Griffon yang baru-baru saja terjadi, Garda Sihir yang seharusnya melindungi Kerajaan runtuh. Korps Griffon kini dibawah komando Korps Manticore, karenanya hanya satu unit yang masih bertugas.

Untuk mengatasi kekurangan penjaga, Henrietta mendirikan ‘Korps Musketeer’ yang dipimpin Agnes. Sebagaimana namanya, ia menggunakan kekuatan musket dan pedang, bukan sihir. Karena kekurangan penyihir, anggotanya adalah para jelata...demi keselamatan pribadi Henrietta, yang merupakan wanita, Garda ini seluruhnya terdiri dari Wanita.

Karena ada kesulitan komunikasi bila seorang komandan buka aristokrat, Agnes dihadiahi sebuah Gelar bangsawan karena pengecualian. Dia menjadi sorang Chevalier dan sebuah nama keluarga buatan diberikan.

Pengecualian Henrietta membuat kekuatan militer nasional menngkat karena jumlah para jelata yang bergabung. Meski golongan ningrat terhenak oleh ide ini, Henrietta menekannya. Meski kelihatannya seperti bagaimana mereka bersekutu dengan Germania, sebenarnya ini berbeda. Henrietta, berkat penculikan yang menghancurkan kepercayaannya begitu dalam...tak bisa mempercayai penyihir lagi.

“kami adalah sebagaimana yang dikatakan Dewan Kerajaan – terlahir tanpa kebaikan. Memang mustahil untuk menjadi seorang ningrat.”

Henrietta menggelengkan kepalanya. :Siapa yang bilang kau bukan seorang ningrat? kau adalah komandan Korps Ksatria garda Imperial yang aku bentuk sendiri. Komandan garda Imperial berbeda dengan yang lainnya, karena posisimu hanya bisa ditandingi seorang marshal lapangan.”

Agnes membungkuk dalam-dalam,

“Banggalah, Berjalan tegaklah. “Aku seorang aristokrat’ Bilang itu pada dirimu sendiri di depan cermin. Jika kau melakukannya, kau pada akihirnya akan memperoleh kebaikan itu.”

“Sebagaimana kata anda.”

“Kau terus saja ikuti rencana awal kita dan awasi aksi orang itu. Jika kita benar, si penjahat pasti akan membuka dirinya sendiri besok.”

“Kita takkan membiarkan mereka pergi bebas?”

“tentu. Aku takkan memaafkan siapapaun yang terkait kejadian malam itu...Negara...orang..Siapapaun.”

Lalu Agnes membungkuk dalam-dalam dan meninggalkan ruangan.

Dia sangat berterimakasih pada Henrietta. Bukan karena posisi atau nama keluarga...Bukan itu, tapi karena dia diberikan kesempatan untuk membalas dendam.

Bagian 2

Saito tengah terbaring di lantai. Sedang menindih diatasnya Louise yang berdiri bernapas terengah-engah. Kita bewrada di dapur penginapan ‘Charming Fairies’. Penginapan baru saja dibuka, tapi didalam sudah ramai. Louise, dengan lengan tersilang, memandang ke bawah pada Saito.

“Kakak, Ceritakan padaku.”

Louise tetap memanggilnya kakak. Di sini, Saito berpura-pura menjadi kakak Louise. Tiada yang mempercayainya, toh semua orang di penginapan sudah tahu Louise seorang ningrat, namun Louise terus memanggilnya Kakak. Benar-benar kepala batu.

“Apa, adikku?” tanya Saito dalam nada tertahan dan sesak karena hajaran keras Louise.

“Apa yang kau lakukan sebelum ku memanggilny?”

“Mencuci piring.”

“Jangan berdusta. Kau melihat yang lain.”

“Sedikit”

“itu tidak sedikit namanya.”

Louise menunjuk ke dalam penginapan

“Kau memandangi paha gadis itu, dada gadis itu, dan pantat gadis itu...”

Lalu, dengan marah, Louise menunjuk Jessica.

“Kau tengah memandangi lembah dada Jessica juga.”

“Sedikit.”

“Kakak, Hei...”

Louise menginjak wajah Saito dengan kakinya.

“Ya?”

“Bukankah akibatnya buruk bagimu bila kau tak memperhatikanku? Bukankah Tuanmu mengumpulkan info dari pemabuk-pemabuk? Jika tuanmu yang manis ini dalam keadaan bahaya, kau harus melindunginya, kan?”

“Maafkan aku.”

“Maaf saja tidak cukup, kau hanya memperhatikanku dua kali. Aku menghitungnya lho. Kau melihat gadis ini dan itu empat kali. Kau melihat belahan Jessica 12 kali. Kau membuang pandangan dari tuanmu, mengacuhkannya, Aku tak bisa menoleransinya!”

“Hei, aku tak memandangi mereka!”

Punten. Aku melihat Louise setiap hari. Wajah tidurnya pun aku tonton. Itu adalah cinta. Aah, tuan memang manis. Namun, aku ingin kau memperbolehkanku memandangi gadis lainnya. Ini sudah sifat lelaki. Kau tak bisa melawannya meski membuang pandangan. Tiada gunanya menjadi marah...Saito salah memahami amarah Louise.

Tapi, dia takkan mengatakannya keras-keras. Kini, Saito sudah mempelajari cara menjinakkan Louise.

“Bagaimana kalau saat kau melihat yang lain, aku diserang orang aneh? Apa kau paham? Apa kau begitu inginnya membahayakan aku?”

“Tidak...Bukankah semuanya akan baik-baik saja? Ugh!”

“Mengapa?”

“Sebenarnya tuan tidak begitu menarik. Tubuh kecil, popularitasnya kecil juga.” kata Saito, mengeluarkana isi pikirannya. Louise mengembangkan tangannya, mendesahkan “Fuuh’, dan memulai pemanasan untuk olahraga fisik berikutnya.

“Benarkah? Begitu ya? Anjing ini hanya bisa diajarkan secara fisik. Nnshotto.”

Louise kembali memulai olahraga fisiknya.

Selama Louise sedang pemanasan, Saito diam-diam menyelinap keluar pintu belakang. Dia sudah cukup dengan hukuman yang tadi. 10 menit. Dia perlu melarikan diri dan beristirahat. Saito mencengkram Derflinger yang terbungkus kain. Karena insiden-inseden sebelumnya, kini dia selalu membawa Derflinger. Dia memutuskan membawanya, meski enggan, karena agak menyusahkan dia. Begitu dia membuka pintu belakang dan melangkah ke jala, dia melihat seorang wanita berkerudung berlari dalam langkah kecil-kecil menuju arahnya.

Don! Wanita ini bertabrakan dengan Saito, yang baru saja membuka pintu, dan jatuh ke tanah. Ini membuat Saito terkejut.

“M-Maaf..Apa kau tak apa-apa?”

Wanita ini menyembunyikan wajah dengan kerudungnya dan berkata dengan nada panik, “...itu, apakah penginapan “Charming Fairies” di sekitar sini?”

‘Eh? Itu disini...”

Saat mengucapkan itu, saito menyadari suara wanita itu sepertinya ia kenal. Wanita itupun menyadari hal yang sama. Diam-diam, dia menyingkap ujung kerudungnya dan mencuri pandang pada wajah Saito.

“Putri!”

“Shh!” katanya, menutup mulut Saito. Henrietta yang terbungkus dalam kerudung abu-abbu, menyembunyikan dirinya di belakang Saito agar tak terlihat dari Jalan Utama.

“Cari disana!”

“Mungkin dia menuju Jalan Bourdonne!”

Dari Jalan utama, terdengar suara-suara kasar para prajurit. Henrietta memasang kerudungnya lagi.

“...Apakah ada tempat dimana ku bisa bersembunyi?”

Henrietta tampak begitu kecil.

“Disini ada loteng tempat kami tinggal...”

“Mohon tunjukkan jalan ke sana.”


“Saito diam-diam membawa Henrietta ke loteng. Henrietta duduk di kasur dan menghembuskan napas kuat-kuat.

“...Aman untuk saat ini.”

“Ini tak aman. Apa yang tadi itu?”

“Aku baru saja menyelinap keluar selama semenit...dan kekacauan semacam itu terjadi.”

“Huh? Bukankah anda diculik kemarin-kemarin? Pantas saja terjadi keributan!”

Henrietta terdiam,

“Putri, bukankah kau sekarang memimpin? Dan masih saja bertindak semau hati>”

“Bukan begitu. Ini karena ada urusan penting...Dan kudengar dari lkaporan bahwa Louise ada disini...Aku sendang bisa bertemu langsung denganmu.”

“OK, OK, kalau begitu akan kupanggil Louise.”

Louise yang menyadari setelahnya bahwa Saito menghilang pasti akan meledak, tapi mungkin ini bisa melembutkannya. Sikap Louise mudah dikira-kira seperti biasa.

“Jangan.”

Henrietta menghentikan Saito.

“M-mengapa?”

“Aku tak ingin berbicara dengan Louise.”

“Apa?”

“Aku tak ingin mengecewakan anak itu.”

saito lalu duduk di kursi dan menatap Henrietta.

“Lalu, untuk apa lagi? Menyelinap keluar benteng tanpa izin bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.”

Lalu Saito sadar akan sesuatu.

“Tapi, jika kau tak kesini untuk bertemu Louise, lalu untuk apa?”

“Aku datang untuk meminjam kekuatanmu.”

“S-Saya?”

“Jika kau setuju, aku ingin kau menjagaku hingga esok.”

“”M-mengapa saya? Bukankah anda Sang Ratu? Anda punya banyak tentara dan penyihir untuk menjaga anda...”

“Untuk hari ini dan esok, aku ingin bercampur dengan rakyat jelata. Dan tentu saja aku tak ingin siapapun dari Istana tahu. jadi...”

“Apa?”

“Aku hanya mempercayaimu.”

“Itu...tak punyakah anda orang lain?”

“Ya. Aku tahu kau orang baik, dan aku sendiri, kesepian di Istana. Banyak yang tak menyukaiku sebagai seorang ratu muda...”

Dan setelah keenganan sesaat, menambahkan,

“...dan sebagai seorang pengkhianat.”

Saito teringat Wardes . Meminta Louise, yang merupakan teman terbaiknya, untuk menempuh perjalanan incognito – mungkin ada sesuatu yang bahkan tak bisa dibicarakan dengan Louise.

“Saya mengerti. Karena ini permintaan Putri, saya akan melakukannya, tapi...”

Saito lalu menatap wajah Henrietta.

“Ini berbahaya, kan?”

Henrietta menundukkan pandangannya.

“ya.”

“Benarkah? Kalau begitu, Tuan putri jangan bilang tentang urusan menempuh bahaya inipada Louise. Berjanjilah pada Saya.”

“Baiklah.”

Henrietta mengangguk.

“Ok, semua sudah jelas, tapi...”

“Kalau begitu, ayo pergi. Kita tak bisa disini terus.”

“Kemana?”

“Kita takkan meninggalkan kota. Harap tenang. Kini, aku ingin ganti pakaian...”

Henrietta memandangi pakaian di bawah jubahnya. Pakaian putih, bersih dan elehan yang tersembunyi dibalik jubah adalah terlalu mencolok. Bahkan seorang ningrat pun takkan mengeluh akan hal ini.

“Ini adalah pakaian Louise tapi...Dia membelinya untuk membuatnya tampak seperti rakyat jelata.”

“Mohon pinjamkan padaku.”

Saito menarik kotak dibawah kasur dan mengeluarkan pakaian Louise. Henrietta lalu membalikkan badan, membelakangi Saito, tak khawatir Saito melihatnya! Saito mulai panik begitu dia menanggalkan pakaiannya. Secara tak sengaja, Saito menangkap sekilas dada Henrietta dari belakang. Meski tak sebesar Kirche, tetap saja ia lebih besar dari milik Siesta. Toh, dia seorang ratu, jadi dadanya pastilah yang pantas untuk seorang ratu. Tapi dia lalu sadar.

Apa Henrietta bisa mengenakan kemeja Louise?

Yang terjadi tepat seperti perkiraannya.

“Kemejanya...rada-rada sesak.”

Tak ‘rada-rada’ lagi. Kemeja itu dibeli untuk ukuran Louise, dan tak bisa memuat dada Henrietta. Semakin dia bergerak, semakin banyak kancing yang terlepas.

“Mhm, Sangat...”

kata Saito sambil memegangi hidungnya,

“Mhh, bagus?”

Bagus! Tiada lagi yang bisa diharapkan kita dari seorang ratu. Henrietta seharusnya tak khawatir soal itu. “Aku harap ini tak terlalu menonjol diantara orang-orang.” gumam Henrietta saat dia melepas 2 kancing teratas.

Itu hanya semakin menonjolkan lembah dadanya – Seakan tiada kemeja sejak awal. Meski agak malu, berjalan disebelah lelaki adalah keuntungan. Ini juga membuat mereka tak menyadari ia seorang ratu dan membuatnya nampak lebih sebagai seorang wanita.

“Ayo pergi.” ujar Henrietta pada saito.

“Kita belum bisa pergi.”

“Eh? benarkah/”

“Setidaknya kau harus mengubah gaya rambutmu.”

“Kalau begitu, ubahlah.”

Toh, Henrietta memang mirip dengan Louise, ratu yang tak berpengalaman, pikir Saito sambil merapihkan rambut Henrietta. bahkan mengubah pakaian tak bisa menutupinya...

Dia mengangkat rambut Henrietta membentuk poni, sebagaimana dia sesekali lakukan untuk Louise.

Ini sangat mengubah suasana. Saito lalu mengenakan riasan ringan pada Henrietta dengan kosmetik Louise. Bukankah kita perlu riasan di penginapan? Karena Louise berkata begitu, saito membelinya...Tapi karena Louise tak pernah menggunakannya, sisanya sangat banyak.

“Fufu, dengan begini, kau terlihat seperti wanita kota.”

Dengan riasan ringan dan kemeja yang terbuka bagian depannya...Dia terlihat seperti seorang wanita kota yang ceria.

Karena dia datang duluan ke loteng, sepertinya mereka takkan memberitahu apapun pada Louise. Saito merasa tak enak untuk sesaat. Dia rasa dia nanti harus berbicara dengan Louise. Ini diluar kuasanya, karena ini adalah keinginan Ratu.

Saito dan Henrietta diam-diam menyelinap melalui pintu belakang ke gang.

Keadaan waspada soal hilangnya Ratu sepertinya meningkat...Jalan keluar ke Chicton dijaga ketat lagi.

“Mereka menempatkan sebuah cordon”

Saito melaporkan keadaan yang tampak bagaikan drama polisi di dunianya. Entah bagaimana dia mengerti, Henrietta mengangguk.

“bagaimana sekarang? Apakah tak apa-apa bila tak menyembunyikan wajahmu?”

“Menyembunyikannya akan lebih mencurigakan. Letakkan tanganmu diatas bahuku.”

Saito memegangi bahu Henrietta sebagaimana diperintahkan. mereka menghampiri tempat dimana penjaga-penjaga berdiri. Ketegangan meningkat dan denyut mereka semakin cepat. Henrietta berbisik dengan nada keras.”

“Berpura-puralah bersender padaku. Seperti seorang pacar.”

Eh? Tak memberinya waktu berpikir. Henrietta menggenggam tangan Saito yang tengah memegangi bahunya, dan membimbingnya ke celah kemejanya yang terbuka. Saito panik begitu merasakan bukit Henrietta yang halus dan lembut diantara jemarinya.

“Jangan berontak.”

Henriettamendekatkan mulutnya ke telinga saito dan bergumam pelan, dengan sebuah senyum palsu di bibir,

Saito melewati penjaga sambil merasa tegang dua kali lipat.

Meski sang penjaga tak sengaja melihat pasangan tersebut...dia hanya pernah melihat wajah Ratu dari kejauhan. Lagipula, bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, dia tak bisa membayangkan sang Ratu berjalan bersama seorang jelata, menyilahkan tangannya untuk menyentuh kulitnya dengan cara yang sedemikian rupa.

Dia langsung membuang pandangannya dan memanggil wanita lainnya untuk berhenti.

Henrietta tertawa sambil berjalan keluar ke Jalan Utama,

“Putri?”

“Tidak...Aku minta maaf. Karena tadi itu saat yang menggelikan. Namun, menyenangkan juga.”

“...Eh?”

“Aku mengenakan pakaian kasar, mengubah gaya rambutku...hanya mengenakan riasan ringan dan tiada yang dapat mengenalku.”

Itu pasti...Henrietta tampak menyatu dengan pemandangan malam ini. Saito merasa dia wanita yang berbeda.

“namun, kita terlihat oleh seseorang yang sedikit mengenal wajahmu, Putri.”

“Shh!”

Eh? Eeeh?”

“Jangan memanggilku putri di hadapan umum. Panggil aku ‘Ann; saja.”

“Ann, begitulah.”

“Ya.”

Lalu, Henrietta memiringkan kepalanya dalam keraguan.

“Ceritakan padaku namamu.”

Merasa sedih Tak dikenal sang Putri, saito menjawab.

“Saito.”

“saito, nama yang aneh.”

Pada saat itu, Henrietta bergumam sambil bersender pada saito layaknya seorang wanita kota.

“Y-yeah, Ann. Memang aneh.”

“Lebih keras.”

“Dimengerti, Ann.”

Henrietta melingkarkan lengannya pada saito sambil tersenyum.


Karena malam datang perlahan, pasangan ini pergi ke sebuah hotel untuk sementara. Hotel tersebut rumah tinggal yang murah nan tawar. Mereka diantar ke kamar kumuh di lantai 2 yang membuat loteng di “Charming Fairies” terlihat bagaikan surga. Kasurnya lembab, tak jelas sudah berapa hari ia ditinggal untuk dikeringkan, dan sebuah jamur kecil tumbuh di sudut kamar. Lampu tetap hitam meski arangnya telah digosok.

“yah, untuk uang yang segitu, kamarnya ternyata begini.”

Tapi Henrietta yang duduk di kasur berkata.

“Tidak, kamar ini luar biasa.”

“Begitukah...”

“Ya. disini, setidaknya kau tak harus khawatir...soal ular berbisa yang tidur di dadamu.”

“Dan juga tiada kumbang aneh.”

“Benar sekali.”

Henrietta tersenyum.

Saito duduk di kursi yang ada di kamar. Si Kursi seoleh protes, membuat suara derikan nan aneh. Karena sesuatu, dia ingin menjaga jarak antara dia dan rekan terhormatnya sejauh mungkin. Karena sulit untuk terus berbicara, Saito bertanya.

“Apakah ini benar-benar kamar yang bagus?”

“Ya. Ini menggairahkan. karena ada rasa biasa dan tak penting dari rakyat biasa...”

Dia menunjukan itu dengan sikap nan manis. Sikap Henrietta seperti itu menciptakan sedikit perasaan “dekat”.

Karena kamar gelap gulita, mereka memutuskan untuk menyalakan lampu berarang itu. dia tak dapat menemukan korek api sebatangpun, meski dia telah mencarinya kemana-mana.

“Tiada korek disini..aku akan turun dan membawanya kesini.”

Henrietta menggelengkan kepala dan mengeluarkan sebuah tongkat sihir kristal dari tasnya. Dia mengayunkannya dan ‘Posh!”, sumhbu lampu pun menyala. Henrietta duduk sambil menerawangi lampu dan meletakkan tangannya di dagu.

Saito yang entah kenapa merasa terpesona membuang pandangannya.

Melihat Henrietta yang tenang seperti itu...meski dia masih memiliki rasa dekat disekitarnya, dia tetaplah seorang Putri. Tidak, kini dia seorang Ratu...meski masih sangat muda. Kata Putri lebih pas baginya. Kelembutan dan ketegaran yang tak tertandingi. Meski rasanya mirip dengan Louise...tapi Louise dapat kekanak-kanakan ketika tak senang, sedangkan Henrietta tetap tenang dan teratur. Dia memiliki aura dewasa yang matang disekitarnya. Bahkan, hanya dari celah kemejanya saja orang sudah dapat mencium pesona kewanitaaannya. Pesona tak tergambarkan dari campuran harga diri ningrat dan bahaya.

“Bagaimana sekarang?”

Dia menanyai Saito dengan nada nan murni. Putri seperti ini memang sangat cantik, pikir Saito sambil menggumamkan sesuatu.

“Apakah Louise bak-baik saja?”

Tanya Henrietta pada Saito dari sisi lain lampu. Secara misterius, hadirnyaHenrietta membuat tempat kumuh ini bagaikan kamar tidur Istana Kerajaan, Henrietta memiliki kekuatan untuk mengubah suasana sekitar. Bahkan, waktu malam terasa bagaikan siang terang nan benderang.

“Yeah. Toh, dia, itu, dia berkata dia akan menyelesaikan tugasnya demi Putri...”

Sedangkan Louise, dia selalu menghardik Saito karena gagal mengumpulkan info.

“Dia baik-baik saja dalam hal itu.”

“Eh?”

“Anak itu telah mengirimkanku laporan yang presisi melalui kurir burung hantu setiap hari.”

“Begitukah?”

Jika kau memikirkannya, dia mungkin menulisnya saat Saito tidur. Betapa seriusnya dia.

“Ya...dia memberitahuku secara persis perihal setiap isu...Setiap isu. Tanpa keluhan sedikitpun. Dia bercampur dengan rakyat jelata secara meyakinkan, tak khawatir kapan ini akan berakhir. Karena anak itu ningrat...aku khawatir apa kesehatannya baik-baik saja.”

“Dia baik-baik saja. Dia mengerjakan segalanya dengan bersemangat.”

Saito mengangguk

“Saya juga senang.”

“Tapi, apakah informasi yang dikumpulkan Louise benar-benar berguna?”

“Ya. ia berguna.”

Henrietta tersenyum.

“Akus endiri ingin mendengarkan keinginan rakyat yang sebenarnya, opini nyata tentang politik yang kulakukan. Jika mereka memberitahuku secara langsung, mereka mengubah beberapa hal. Mereka takkan nyaman memberitahuku...sebagaimana bila mereka dengan yang lain. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Bahkan hal-hal yang tak kusuka.

Sebuah senyum sedih muncul di wajah Henrietta.

“Putri.”

“Tidak...Hanya saja, aku terkadang sulit menerima kenyataan. Meski aku disebut sebagai “Wanita Suci”, ada banyak sebutan kasar yang kudengar. AKu dipandang sebelah mata sebagai anak bawang yang mencoba menyerang Albion, menyalahgunakan wewenangnya untuk membentuk tentara penyerbu, dan aku dicurigai sebagai boneka Germania...benar sekali, tak sperti ratu sama sekali...”

“Benarkah?”

“Bukankah duniamu juga sama?”

“Eh?”

Saito terpana.

“Maafkan kelancanganku. Aku menanyai Osman sang Direktur Akademi Sihir. Aku terkejut saat mengetahui kau datang dari dunia yang berbeda. Aku sulit membayangkan bahwa dunia seperti itu ada. Jadi di duniamu, saat perang...apakah pemerintahan dikata-katai?”

Saito ingat. Koran dibanjiriberita-berita tentang korupsi para politisi saat perang...

“Tiada banyak perbedaan.”

“Jadi disanapun sama saja.”

gumam Henrietta, lega.

“Perang..apa kalian mengalaminya?”

“Negara kami tengah berada dalam salah satu.”

“Tidak...maksudku, selain menyerbu benua yang melayang itu?”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“baru saja tadi kau berkata soal tentara penyerbu. Apa penyerbuan yang mirip juga berlangsung disini?”

“Begitulah. dalam kasus itu, perangnya tak berujung...Ada hal-hal yang tabu dibicarakan. Ini bukan hal yang dapat dibicarakan denganmu. Mohon lupakan.”

Tetap saja,Henrietta yang menyadari Saito terdiam, menengadah.

“Apa kau membenci perang?”

“Sepertinya aku tak menyukainya.”

“Tapi kau menyelamatkan kerajaan saat Perang Tarbes.”

“Aku melakukannya untuk menjaga seseorang yang penting bagiku.”

“Lalu, malam itu...”

Henrietta membuang muka dan menggumamkannya dengan enggan. Lalu saito teringat malam jahanam itu.

Malam dimana Wales yang dikira sudah mati, hidup kembali dan mencoba menculik Henrietta. Dia ingat saat dimana dia melihat mayatnya, tapi dia tak dapat mengingat semuanya.

“Aku meminta maaf.”

kata henrietta dnegan suara kecil.

dan lalu...

Hujan mulai turun. Sebuah pelangi kecil menyembul di jendela. Mereka dapat mendengar orang-orang di jalan berteriak “Yah! Hujan!”, “ Di siang bolong lagi!”

Henrietta mulai gemetaran.

“Putri?”

Henrietta bergumam dalam suara rendah. Suara yang sepertinya menghilang.

“...Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”

“A-apa?”

“Pegang erat bahuku.”

Tongkat sihir terlepas dari tangan Henrietta yang gemetara dan jatuh ke lanta, membuat suara kering.

“Ada apa?”

“Aku takut hujan.”

Setelah mendengar kata-kata itu...Saito teringat bahwa hujan pun tutun pada malam itu. Henrietta dan Wales yang bangkit kembali menggunakan hujan itu untuk menciptakan...topan raksasa yang mencoba menelam Saito dkk.

Saito diam-diam duduk dekat Henrietta dan memegangi bahunya. Henrietta tetap gemetaran.

“Putri...”

“karena aku...semuanya tewas...Aku membunuh mereka. Aku tak mengerti. Aku tak mengerti ini. Bisakah aku dimaafkan?”

Saito berpikir sesaat lalu berkata,

“Tiada yang bisa memaafkan itu. Itu sudah pasti...”

“Ya, benar. Aku tak pantas dimaafkan atas apa yang kulakukan padamu atau yang lain...Saat kudengar rintik-rintik hujan, aku hanya bisa memikirkan hal-hal semacam ini.”

Henrietta memejamkan mata dan mendekatkan pipinya pada dada Saito. Jemarinya menggenggam Saito erat-erat. Dengan dilatari suara rintik hujan, tubuhnya smakin bergemetaran. Dia bukan seorang ratu dan bukan pula seorang putri...Kini, dia hanyalah seorang gadis yang lemah dan kesepian. Seorang gadis yang jatuh cinta pada seorang pangeran dari negeri seberang. Mungkin orang ini lebih lemah dari siapapun. Dia tak bisa melakukan sesuatu tanpa seseorang di sisinya. Namun dia dipaksa mengenakan mahkota, dia dipaksa menggenggam tongkat komando yang memimpin perang.

Pikiran-pikiran tak bahagia berseliweran di kepala Saito.

Bagian 3

Louise tengah menonton hujan yang jatuh sambil menggerutu. Kemana Saito pergi di tengah-tengah hujan begini? Louise baru saja sudah selesai pemanasan, tapi saat dia berbalik menghadap Familiarnya untuk sedikit “pengajaran”...Saito menghilang.

Meski dia keluar masuk penginapan untuk mencarinya, dia tak ada dimana-mana. Awalnya dia pikir Saito kembali ke loteng dan bersembunyi disana, tapi ternyata disana kosong. Namun...Baju biasa miliknya yang dibeli untuk menyamar juga menghilang.

Merasa tak enak, Louise meninggalkan loteng. Saat dia kembali ke penginapan, Scarron dan yang lainnya terlihat khawatir.

“Ini tak bagus, hujan turun...Pelanggan akan berhenti datang karenanya.”

“Tapi diluar cukup rusuh. Apa terjadi sesuatu?”

Sebagaimana yang dikatakan, memang terdengar rintik hujan bercampur teriakan penjaga istana di luar sana. Louise membuka pintu dan melangkah keluar. Dia menghampiri seorang tentara berpedang dan memanggilnya.

“Hei, ada apa ini?”

Si prajurit memandang sekilas pada camisole Louise dan berkata dengan nada ketus.

“ Eei! Tutup mulutmu! ini bukan urusan wanita Bar! Kembali saja ke asalmu!”

“Tunggu.”

Louise memanggil dan menghentikan dia, lalu mengeluarkan kertas izin Henrietta dari belahan dadanya.

“Meski aku terlihat begini, aku adalah wanita anggota dewan Paduka.”

sambil melotot, si prajurit melihat pada Louise, lalu pada Surat izinnya, kemudian kembali pada Louise, dan berdiri tegak.

“M-maafkan kelancangan hamba!”

“Ceritakan saja.”

Lalu prajurit menjelaskan pada Lousie dengan nada kecil.

“...Kami selesai memeriksa Champ de Mars, tapi ketika kami kembali ke istana kerajaan, Paduka telah menghilang.”

“Apa ini kerjaan Reconquista lagi?”

“Tujuan si penjahat tak diketahui, tapi dia sangat ahli...tiba-tiba sebuah kabut keluar dari kendaraannya...”

“Apa kalian yang berjaga saat itu?”

“Yang berjaga adalah Korps yang abru terbentuk.”

“Oh, begitu. Terima kasih. Apa kau punya seekor kuda?”

Si Prajurit menggelengkan kepala.

“Tak berguna!”

Louise mulai berlari menuju istana kerajaan sambil menerobos hujan. Pada saat seperti ini, kemana sih si Saito? Dia mendecakkan lidahnya karena marah. Benar-benar deh, tepat di saat kau paling membutuhkannya, dia tak ada disana!


Agnes menarik kuda yang tadi dia naiki ke pemberhentian di depan sebuah Rumah yang besar. Itu adalah kediaman Richmon...disini, saat siang, dia berdiskusi dengan Henrietta.

Ini adalah sudut dari kompleks perumahan dimana para bangsawan sering tinggal. Agnes memandangi Rumah besar dan luas bertingkat dua dan mengerutkan bibirnya. Dia tahu dengan sangat baik secara menyakitkan bahwa Richmon tinggal 20 tahun disini dan menggunakan segala cara yang mungkin untuk membangun mansion mewah ini.

Dia mengetuk pagar, memberitahukan kehadirannya dengan keras. saat jendela pagar terbuka, seorang pesuruh menyembulkan kepalanya keluar.

“siapa disana?”

“Mohon katakan pada Richmon bahwa Agnes, Ksatria Paduka telah tiba.”

“Pada Jam segini?”

kata si pesuruh dengan nada curiga.

Memang, kini tengah malam.

“ada Pesan yang mendesak. Aku harus menyampaikannya dengan cara apapun.”

Setelah Memasukkan kepalanya, si pesuruh menghilang ke dalam. Sesaat kemudian, dia kembali dan membuka gembok pagar.

Agnes memberikan kudanya pada si pesuruh dan bergerak menuju Rumah.

Sesaat kemudian, saat dia melewati ruang keluarga, akhirnya dia melihat Richmon yang memakai pakaian malamnya duduk dekat perapian.

“Pesan mendesak, huh? Ini harus benar-benar mendesak karena telah membangunkanku begitu tiba-tiba.”

gumam Richmon yang tak mencoba menyembunyikan kekesalannya pada Agnes.

“Paduka telah menghilang.”

Pikun! – alis mata Richmon terangkat.

“Diculik?”

“Sedang diselidiki?”

Richmon tampak tak percaya.

“Ini benar-benar kejadian besar. Tapi, apa ini sama dengan kasus penculikan yang kemarin? Apa Albion terlibat lagi?”

“Sedang diselidiki.”

“Itu bukan cara penjaga berbicara! Sedang diselidiki! Sedang diselidiki! tapi kau tak bisa lakukan apapun. Kau selalu membawa masalah pada akademi hukum. Unit apa yang sedang bertugas?”

“Kami, para Ksatria.”

Richmon menatap Agnes dengan wajah tak senang.

“Ini hanya membuktikan ketidakmampuanmu sebagai unit yang baru dibentuk.”

Ucap Richmon dengan nada penuh sarkasme.

“Untuk membersihkan nama kami, kami tengah melakukan yang terbaik yang kami bisa pada penyelidikan.”

“Itulah mengapa kukatakan bahwa pedang dan pistol hanya mainan anak-anak dibandingkan tongkat sihir! Satu unit jelata tak dapat menggantikan satu penyihir!”

Agnes menonton Richmon dalam diam.

“Izinkan penggunaan militer...Saya ingin mendapatkan izin untuk memblokir jalan-jalan dan pelabuhan.”

Richmon menyabetkan canenya, dia mencengkram pena yang terbang ke arahnya, menulis sesuatu di perkamen dan menyerahkannya pada Agnes.

“lakukan yang terbaik untuk menemukan Paduka. Jika kau tak mampu menemukannya, seluruh anggota unit Ksatria akan digantung di tribun perang. Fikirkan itu.”

Agnes berbalik untuk pergi tapi berhenti di depan pintu.

‘Apa? Ada yang lain?”

“Yang terhormat...”

Dengan nada rendah, penuh amarah, dan tertahan, Agnes mulai menyemburkan kata-kata.

“Apa?”

“ Ini ada desas-desus soal kejadian dimana kau terlibat 20 tahun lalu.”

Sambil Meniti benang ingatannya, Richmon mengejapkan matanya. 20 tahun lalu...sebuah pemberontakan yang mengguncang negara dan dia teringat akan pemadamannya.

“Aah, jadi?”

“Yang terhormat terlibat dalam ‘Pembantaian D'Angleterre’.”

“Pembantaian? Jangan katakan itu dengan nama yang begitu nuruk. Bukankah para jelata di provinsi-provinsi yang jauh berencana menumbangkan negara? Itu merupakan tugas mulia pemadaman. Lagipula, sebagian besar hanyalah legenda.”

Agnes pergi.

Richmon menatap pintu yang tertutup selama beberapa saat....Bila ada kesempatan untuk diberikan pena dan perkamen lagi, dia mungkin merubah keputusannya, karena dia merasa ada kekuatan liar yang kini baru saja dilepas.


Agnes, yang meninggalkan kediaman Richmon, mengambil kuda dari si pesuruh. Dia mengeluarkan sebuah jubah hitam dari kantong sadelnya dan mengenakannya merangkap garmen rantainya, dan memakai tudungnya diatas kepala. Dia lalu mengeluarkan dua pistol dan mengisi ulang mereka, sambil berhati-hati agar bubuk mesiu tak basah oleh hujan. Dia lalu memeriksa pemicu api, palu hentak dan menutup tong pelurunya. Ini adalah pistol jenis flint yang baru.

Dia lalu menyarungkan pedangnya dan menghentakkankudanya, menandakan persiapan perangnya telah selesai. Tapi kemudian...seseorang berlari dari gerimis hujan. Gadis yang kelihatannya datang dari jalan Chicton ini, setelah menyadari Agnes yang menghentakkan kudanya, berlari menuju Ksatria wanita ini. Karena dia berlari menerobos hujan, sepertinya keadaannya mengkhawatirkan. Camisole putihnya kotor terkena lumpur dan dia bertelanjang kaki karena dia melepas sepatunya yang tak nyaman diapakai berlari.

“Tunggu! Tunggu! Mohon berhenti!”

Karena Penasaran, Agnes berbalik.

“Pinjamkan kudamu! Cepatlah!”

“Aku menolak.”

Sambil berkata begitu, Agnes mencoba memutar kudanya menjauh tapi gadis itu menghalangi jalannya.

“Minggirlah.”

katanya tapi gadis itu tak mau mendengar. Dia mengeluarkan semacam perkamen dan menunjukkannya ke hadapan Agnes.

“Aku adalah wanita Dewan Paduka! Aku punya kewenangan menggunakan kekuatan Polisi! Kudamu diambil atas nama Paduka! Turunlah darinya sekarang juga!”

“Wanita Dewan Paduka?”

Agnes tampak ragu-ragu. Gadis ini terlihats eperti wanita bar. Namun, meski dia kotor karena berlari dalam hujan, sisi ningratnya masih dapat dikenali. Agnes ragu untuk sesaat.

Louise yang akhirnya habis kesabaran karena Agnes tak tutun dari kudanya mengeluarkan tongkat sihirnya. Dnegan meniru gerak Louise, Agnes pun mengeluarkan pistolnya seketika.

Dua orang itu mengarahkan tongkat dan pistol mereka.

Louise berkata dengan nada rendah yang bergetar.

“...Meski aku masih belum terlalu biasa dengan sihirku. Namun, ini tetap lebih kuat. Menyerahlah.”

Agnes menjawab dengan jari di palu perkusi pistol.

“...dari jarak iji, sebuah pistol akan lebih akurat.”

Keheningan mengambil alih.

“Perkenalkan dirimu, jika kau puya tongkat, maka kau pasti seorang ningrat.”

kata Agnes.

“Wanita Dewan, langsung dibawah Paduka, de La Vallière.”

La Vallière? Itu nama yang sangat ia kenal. Saat bercakap dengan Henrietta, dia mendengar nama itu berulang kali.

“lau, kau...”

Agnes menarik pistolnya. Gadis yang gemetaran dengan tongkat sihirnya yang siap...diisukan sebagai teman terbaik Paduka. Gadis dengan rambut pink yang tak diikat...

“Kau mengenalku?”

Louise, dengan sebuah ekspresi kosong di wajahnya, juga menurunkan tongkatnya.

“Aku sering mendengarmu. Aku merasa terhot\rmat akhirnya bertemu denganmu. Kau bisa berbagi kuda denganku. Izinkanku menjelaskan keadaannya padamu. Jika kau tertembak, Pasti Paduka akan mendendam.”

Agnes megulurkan tangannya pada Louise. Agnes dengan mudah menarik Louise dengan kekuatan yang sulit dibayangkan dimiliki oleh seorang wanita yang rapuh.”

“Siapa kau?”

Louise menghentakkan punggung Agnes.

“Ksatria Paduka. Komandan Agnes.”

Ini membuat Louise, yang telah mendengar soal “Ksatria” dari prajurit tadi, meledak,

“Apaan yang kau kerjakan selama ini?! Apa kau tidur sambil melupaskan tugasmu?! Paduka diculik secara memalukan!”

“Seperti yang kubilang, izinkanku menjelaskan situasinya, lagipula, Paduka aman.”

“Apaa?!”

Agnes menepuk kuda dan ia mulai berlari. diiringi derasnya hujan yang turun, keduanya menghilang dalam kegelapan malam.


Di sebuah kasur rumah penginapan yang murah, Henrietta tengah duduk dengan mata terpejam dengan lengan Saito mengelilinginya, dia tengah bergemetaran. Saito tak dapat menemukan kata untuk dikeluarkan...sehingga dia hanya bisa duduk dan memegangi bahu Henrietta.

Saat hujan akhirnya berubah jadi gerimis, Henrietta menjadi sedikit tenang dan memaksakan diri untuk tersenyum.

“maafkan aku.”

“Bukan...”

“Aku membawamu ke tempat yang tak berguna ini, namun aku masih saja ditolong olehmu di akhir.

“lagi?”

“Memang begitu. Pada malam itu, a..aku tak dapat berfikir jernih, aku dimanipulasi dan berusaha pergi dengan Wales...kau menghentikanku...”

“Ya.”

“saat itu, kau berkata. ‘Jika kau pergi, aku akan menebasmu. Aku tak bisa mengizinkanmu berbohong pada dirimu sendiri, sekalipun kau sedang gila cinta’, katamu.”

“A...aku berkata begitu...?”

Saito menunduk karena malu.

“Namun tetap saja diriku yang bodoh tak terbangun. Aku mencoba membunuhmu. Namun, kau menghentikan topan bodoh yang kulepaskan sendiri.”

Henrietta memejamkan matanya.

“Ngomong-ngomong, aku...merasa lega saat itu.”

“Lega?”

“Ya, benar. Meski aku menyadari bahwa ini bukan Wales yang kucinta. Kenyataannya berbeda. Aku...dalam lubuk hatku yang terdalam, menginginkan seseorang mengatakan itu dan menghentikan aku yang bodoh ini.”

setelah mengambil napas yang, seakan menyakitkan, dalam, Henrietta melanjutkan bicaranya. dengan nada tertahan.

“Karenanya,Familiar-san, kumohon padamu. Jika aku melakukan kebodohan lagi...Jika aku dirasuki lagi.. bisakah kau menghentikan ku dengan pedangmu?

“mengapa?”

“Pada saat itu, aku benar-benar sudah siap membunuh, tak dapat menahan diri lagi. Meski aku diminta Louise, anak yang lembut itu, aku tak bisa berhenti. Karenanya...”

Saito berkata dengan nada terkaget-kaget.

“Aku tak bisa melakukannya! Beneran deh...kau tak bisa lemah begitu. Engkau seorang ratu. Semua orang mematuhi titahmu. Jangan bicara seperti ini, Putri. Kau takkan hidup setelah ini jika kau tak berani. Apa semua itu kebohongan?”

Henrietta menunduk.

Lalu...

duk, duk, duk!

seseorang menggedor pintu.

“Buka! Buka! Ini polisi kerajaan! kami tengah mencari pelarian yang bersembunyi dalam penginapan ini! Buka sekarang juga1”

saito dan Henrietta saling memandang.

“Sepertinya mereka tak mencariku.”

“...Biarkan mereka pergi. Tetaplah diam.”

Henrietta mengangguk setuju...

Sementara itu, gagang pintu mulai berputar...namun...ia tak mungkin terbuka karena dikunci. Clank-clank! Gagang pintu bergetar keras.

“Buka sekarang juga! Ini keadaan darurat! Atau aku akan merusaknya!”

Bam! Suara pedang menghantam gagang pintu terdengar, menandakan usaha membukanya.

“Ini tak bagus.”

Henrietta, dengan wajah penuh keyakinan, membuka kancing kemejanya.

“Putri?”

Suara keheranannya dipotong oleh tertangkapnya bibirnya oleh bibir Henrietta. Ciuman itu tiba-tiba dan pekat.

Sambil mengunci lengannya pada leher Saito, Henrietta mendorongnya ke kasur. Henrietta yang terlihat tak terganggu memejamkan matanya dan dengan desah yang dalam, dia mendorong lidahnya kedalam mulut Saito. Ini dapat mengambil kesadaran seseorang saking pekatnya ciuman itu.

Bersamaan dengan dorongan Henrietta pada Saito ke kasur, si prajurit, yang mencoba merusak gagang kunci, menendang pintu yang lalu terbuka.

Apa yang sepasang prajurit itu lihat...adalah seorang wanota muda yang berbaring diatas seorang lelaki, mencium bibirnya begitu pekat. Wanita itu tak memperhatikan para prajurit dan terus semakin meliar. Desah nafsu keluar dari celah bibir keduanya.

Prajurit-prajurit menonton kejadian untuk sesaat...lalu saling bergumam diantara mereka.

“...M-mereka tampaknya hanya berlindung dari hujan, dan sngata menikmatinya.”

“Sial, ayo selesaikan ini, periksa yang lainnya.”

Thud! Pintu ditutup dan mereka menghilang ke bawah tangga. Karena gagang pintu rusak, pintu kembali terbuka, sedikit berderik.

Henrietta beroisah dari bibir saito...tapi, meski para prajurit sudah di luar hotel, dia terus memandangi Saito dengan mata berkaca-kaca.

Saito benar-benar terheran dengan kelakuan Henrietta saat ini. Saat waktunya datang, dia dapat mengorbankan tubuhnya sendiri, seperti malam ini, hanya untuk menjaga rahasia. Dia benar-benar kuat.

Dengan pipi yang memerah, Henrietta terus melihat Saito dalam diam.

“...Putri.”

Kata Henrietta dengan nada tertahan.

“Aku sudah bilang padamu untuk memanggilku Ann.”

“Tetapi...”

Tanpa menunggunya menyelesaikannya. Henrietta menekan bibirnya pada Saito lagi. Kali ini, ciumannya lembut dan...emosional. Dalam terang lampu yang temaram...dia dapat melihat bahu putih Henrietta yang dia pegangi tadi.

Melihat Saito yang sanagt keheranan, bibir Henrietta mulai mengelus sisi wajah saito.

“Apa kau punya...pacar?”

Dengan nada panas, Henrietta membisikkan itu ke telinganya. Dia merasa dirinya meleleh karena suara itu. lalu, wajah Louise menyembul dalam alam pikiran Saito. Louise bukanlah cintanya. tetapi...

“Aku tak punya, namun...”

Henrietta mulai memain-mainkan daun telinga Saito.

“Maka, perlakukan aku sebagai cintamu.”

“A-apa?!”

“Tak apa-apa, hanya untuk malam ini. Aku tak memintamu untuk menjadi pacarku. Tapi, kumohon, peluk aku...dan ciumlah aku.”

Saat itu – waktu terhenti – dan menit-menit pun berlalu.

Uap mengisi kamar berkat hujan. Bau campuran futon dan badan berseliweran di udara.

Saito memandangi mata Henrietta. bahkan dalam kamar kotor ini sekalipun.,,Wajah Henrietta yang cantik tetap memesona. Tidak, mungkin ia memesona karena kamar kotor ini.

Dia hampir tak dapat tidak tertelan oleh pesona ini. Tapi...dia tak bisa lebih jauh lagi melangkah dari mencium Henrietta...Louise takkan pernah memaafkan Saito. Louise tak hanya takkan pernah memaafkannya, dia jga bakal sedih karena Louise begitu menghormati Henrietta.

Dia tak dapat melakukan hal itu.

Dia tak bisa berpura-pura menjadi pacar dan berciuman dengan orang semacam ini...Orang yang dipandang begitu tinggi oleh orang yang penting baginya. Henrietta hanya kesepian. Pasti ada cara lain untuk menenangkan dia.

Karenanya, Saito dengan perlahan menepuk rambut coklat muda Henrietta.

“Aku tak bisa menjadi seorang pangeran.”

“Aku tidak meminta itu.”

“Apa kau Ingat? Aku bukanlah dari dunia ini, aku dari dunia yang berbeda. Aku tak bisa...menggantikan seseorang.”

Henrietta memejamkan mata dan mendekatkan pipinya ke dada Saito.

Setelahnya...saat hawa panas alhirnya menghilang...Henrietta dengan malu-malu, bergumam.

“...kau pasti berpkir aku seorang wanita yang tak tahu malu. Meski aku disebut seorang ratu...aku tetaplah wanita. Dan aku masih kehilangan kehangatan seseorang saat malam hari.”

Untuk sesaat...Henrietta tak mengucapkan sepatah katapun dan hanya berbaring disana, menekan pipinya pada dada Saito. Di dalam rumah inap murah itu, mungkin yang termurah sekota, Wanita paling terhormat negeri ini gemetaran seperti seorang anak kecil dalam dekapannya. Saito tersenyum pahit dalam situasi yang entah kenapa bisa terbolak-balik ini.

dan...merasa tak enak.

“Putri.”

“Apa?”

“Mohon jelaskan pelan-pelan pada saya. Apa-apaan yang tengah kita lakukan disini? Rahasia...semuanya berusaha keras menemukanmu. Dan...kau begitu keras berusaha untuk bersembunyi. Ini bukan hanya salah-satu dari hal-hal yang main-main itu, kan?”

“...Oh, baiklah. Rasanya aku perlu menceritakan keseluruhannya.”

Suara Henrietta memancarkan ketegasannya kembali.

“Ini adalah perburuan seekor rubah.”

“Perburuan rubah?”

“Ya, kau tahu hewan pinter itu, kan? Si Rubah, bahkan dengan anjing di belakangnya, bahkan dengan pemukul, tak mudah menangkap ekornya. Karenanya,..aku menyiapkan sebuah jebakan.”

“Jebakan?”

“Ya, dan aku umpannya. Datanglah besok...rubah itu akan meninggalkan lubang persembunyiannya.”

Saito menatapnya.

“Dan siapa rubah ini?”

“Mata-mata Albion.”


Agnes dan Louise tengah mengendaria kuda menuruni gang yang mengarah ke mansion Richmon. Meski hujan berangsur-angsur menjelma jadi gerimis, hawa dingin masih terasa. Agnes menyerahkan mantelnya pada Louise untuk dipakai.

“A-Apa latar belakangnya?”

“Perburuan Tikus.”

“Perburuan Tikus?”

“Yah, mereka tak hanya merusak lmbung kerajaan...mereka juga mencoba mengkhianati sang tuan di tengah-tengah perburuan.”

Louise menatapnya, tak mengerti.

“Jelaskan dalam rincian penuh.”

“Tiada waktu untuk menjelaskan lebih lanjut, sekarang. Nha!Kita sampai.”

Gerbang kediaman Richmon terbuka dan seorang pesuruh muda muncul di depan kuda Agnes. Ia seorang pemuda berumur 12-13 tahun dengan pipi nan merah. Dia terus-menerus memerhatikan sekeliling dengan obor di tangan, sebelum akhirnya mulai menjalankan kudanya. Si pesuruh mulai mempercepat diri sambil memegangi obor. Agnes tersenyum tipis dan mulai mengejar kuda tersebut, dengan dibimbing cahaya obor.

“...Apa yang sedang terjadi?”

“ Sekarang semuanya dimulai.”

jawab Agnes, pendek.

Di keheningan malam, si pesuruh terus berkuda dengan kecepatan penuh. Sepertinya dia disuruh sebelumnya untuk cepat-cepat oleh tuannya. Anak tersebut memerhatikan sekelilingnya sambil berusaha keras agar tak terjatuh dengan berpegangan pada punggung kuda.

Agnes mengikuti sambil menjaga jarak.

Kuda si pesuruh telah keluar dari daerah kompleks para petinggi dan berjenti di sebuah perkampungan yang mencurigakan. Di kegelapan malam ini, dapat terdengar suara dari kelompok pencari Ratu yang pesta minum-minum dan bersenang-senang.

Merasa tak aman melewati Jalan Chicton, si kuda menghilang ke gang yang tersembunyi.

Saat dia menghilang dari mulut gang, Agnes turun dari kuda dan melihat keadaan gang.

Setelah meninggalkan kuda di kandang, Agnes menuju hotel setelah meyakinkan diri bahwa hotel inilah yang dimasuki si pesuruh. setelah melompat turun dari kuda, Louise bertanya sambil berlari setelahnya.

“Apa, Apa yang sedang berlangsung?”

Agnes tak lagi menjawab.

Dia memasuki hotel dan memaksakan jalan melewati massa bar di depan dengan sikutnya hingga dia melihat si pesuruh naik ke lantai 2. Dia mengikutinya.

Dari tangga yang dipakai, Agnes memastikan pintu mana yang dimasuki si pesuruh.

Dua orang sedang menunggu pengunjung selama beberapa saat disana.

Agnes berbisik pada Louise.

“Lepaskan mantelmu. Mulailah bersender padaku sebagaimana seorang wanita bar.”

Meski tak mengerti, Louise melakukan apa kata Agnes dan melepas mantelnya. Dia lalu berpura-pura jadi kopyor yang bermesraan dengan sang ksatria. Dia pernah melihat kejadian-kejadian ini selama kerja di bar dan mencetaknya dalam ingatan.

“Bagus.”

kata Agnes pada Louise tanpa memindahkan tatapannya dari lantai 2. Meski suaranya masih kewanita-wanitaan, dia meninggalkan kesan sebagai ksatria terhormat saat diam, mungkin karena rambut pendeknya. Pipi Louise mulai memerah tak terkendali.

Si Pesuruh sudah melangkah keluar dari kamar.

Lalu Agnes menarik Louise mendekat padanya. ah, dan mencuri sebuah ciuman.

Meski Louise mencoba berontak karena marah, Agnes menekannya dengan tenaganya yang kuat, sehingga dia tak bisa bergerak...

Si pesuruh menatap Louise dan Agnes yang berciuman untuk sesaat, lalu segera membuang pandangannya.

seorang ksatria berciuma dengan seorang wanita bar, sebuah pemandangan yang biasa.

Si pesuruh lalu keluar melalui gerbang keluar, menaiki kuda tepat seperti ketika dia datang dan menghilang ke kota di kegelapan malam.

Agnes akhirnya membebaskan Louise.

“A-apa yang kau lakukan?!”

teriak Louise dengan pipi memerah. Jika yang melakukannya seorang lelaki, dia pasti sudah menghunus tongkatnya dan meledakkan tempat ini dari tadi.

“Teang saja, aku tak punya hobi semacam itu. Ini tugas.”

“Begitu pula aku!”

lalu Louise teringat pada si pesuruh yang pergi.

“Kau takkan menguntitnya?”

“Tak apa-apa. Anak itu tak tahu apapun. Perannya hanya sebagai pembawa surat.”

Agnes, berusaha agar langkahnya tak bersuara, diam-diam mendekati pintu kamar tamu yang tadi dimasuki pesuruh. Louise bertanya dengan berbisik.

“...Kau bukan seorang penyihir, kan? kau tak bisa mendobrak pintu ini.”

“ini masih bisa didobrak dengan tenaga otot.”

“...Ini pasti terkunci . Tiada yang bisa kau lakukan. dengan segala kletak-kletok itu dia mungkin melarikan diri.”

Louise menghunus tongkat yang terpasang di pahanya, menghirup napas dalam-dalam, dan menggumamkan mantra “Void” sambil mengarahkan tongkat ke pintu. ‘Ledakan’...pintunya meledak dan diterbangkan kedalam kamar, Tanpa menunggu lagi, Agnes menghunus pedang dan meloncat masuk.

Ada Seorang pedagang disana, dia berdiri dekat kasur dengan wajah terkejut. Dia memegang sebuah tongkat di salah-sati tangannya. Dia seorang penyihir.

Lelaki ini sepertinya seorang ahli sihir, karena dia langsung mengarahkan tongkatnya pada Agnes yang meloncat masuk, dan segera menggumamkan mantra. Segelembung massa udara menerbangkan Agnes menjauh. Saat dia mengucapkan mantra lain dan melemparkan Agnes ke dinding...Louise masuk.

Ledakan Louise mengenainya. Ledakan kena langsung di depan, menyebabkan dia tersungkur di lantai sambil memegangi wajahnya.

Agnes bangkit dan memukul tongkat sihir dari genggaman orang tersebut dengan pedangnya. Louise mengambil tongkat yang tergeletak di lantai.

Agnes mengarahkan ujung pedangnya ke leher lelaki tersebut. Ia berumur pertengahan. Meski kelihatannya dia seorang pedagang, cahaya matanya berbeda. Kemungkinan dia seorang aristokrat.

“Jangan bergerak!”

Masih mengarahkan pedangnya, Agnes mengeluarkan boprgol dari pinggangnya dan memborgol pergelangan lelaki tersebut. Dia lalu menyumpal mulut lelaki tersebut dengan segulung sobekan kain.

Apa yang terjadi malam-malam pada jams egini? – pengunjung hotel mulai berkerumun dan melihat kedalam kamar.

“Jangan ribut! Ini hanya penahanan seorang pencuri licin!”

Orang-orang hotel yang ketakutan menarik diri.

Selembar surat yang diberikan si pesuruh pada lelaki itu pasti ada didalam, entah dimana, pikir Agnes. Dengan senyum di bibir, dia mengobrak-abrik lemari meja si lelaki. Dia menemukan banyak surat dan lembaran dan mulai membaca mereka dengan perlahan, satu persatu.

“Siapa orang ini?”

“Tikus Albion. Dia berpura-pura menjadi pedagang dan berkeliaran di Tristania, mengumpulkan info untuk Albion.”

“Berarti, orang ini...adalah mata-mata musuh. Ini hebat bukan?! Kita berhasil menangkapnya!”

“Ini belum selesai.”

“mengapa?”

“Tikus induknya masih ada.”

Agnes lalu menemukan selembar kertas, yang dia tatap dalam hening. Isinya berupa sketsa kasar bangunan. Ada catatan di beberapa sudut.

“jadi begitu toh...Kalian para terkutuk pasti berencana bertemu di teater, kan? Surat ini datang beberapa waktu lalu, isinya tentang bertemu di tempat yang sama, besok. Dari sketsa kasar ini, tempat ini pastilah sebuah teater, ya? Pasti itu.”

Lelaki itu tak menjawab. Dia terdiam dan diam-diam membuang pandangan.

“Jawablah...harga diri ningrat.”

Dengan senyum dingin di bibir, Agnes memaku kaki lelaki tersebut ke lantai dengan pedangnya. Dengan sumpal di mulutnya, lelaki tersebut merintih kesakitan.

Agnes mengeluarkan pistol dari ikat pinggangnya dan mengarahkannya ke wajah lelaki tersebut.

“Aku akan menghitung sampai 2. Pilih. Harga diri atau nyawa.”

Alis lelaki tersbut mulai berkeringat. Gachink...Suara terangkatnya palu perkusi oleh Agnes bergema dalam kamar.



Bagian 4

Subuh tengah mencerah, pagi pun tiba. Di Plaza pusat, lonceng kuil Confucius Santo Rémy didentangkan. Sekarang tepat jam 11.

Sebuah kereta tunggal berheti di depan Teater Tanaijiiru kerajaan. Richmon melangkah keluar darinya. Dia menatap sekeliling teater dengan rasa bangga, Pesuruh yang duduk di kotak pengendara, hendak turun dan mengikutinya.

“Tak apa-apa. Tunggu saja di kereta.”

Ricmon menggelengkan kepalanya dan memasuki teater, Penjual tiket membungkuk begitu dia menyadari kehadirannya. Richmon terus maju, tidak membeli tiket dulu. Karena inspeksi pertunjukan merupakan salah satu tugasnya sebagai direktur sensor, tempat ini bagaikan villa pribadinya.

Pengunjung teater yang hanya berupa wanita muda telah mulai berdatangan sejak enam menit yang lalu. Pada awalnya, pertunjukan ini sangat terkenal, tapi karena akting yang buruk, kritik pedas pun diterima. Sepertinya ia sudah kehilangan pangsa pasar sebagai imbalannya. Richmon duduk di kursi pribadinya dan diam menunggu tirai diangkat.


Agnes dan Louise telah tiba didepan teater beberapa saat yang lalu. Louise tak dapat mengerti mengapa mereka harus selalu mengendap-endap di gang dekat teater saat ini. Agnes baru mengizinkan mereka meninggalkan persembunyian setelah suatu kereta tertentu muncul. Louise capek dan merasa habis. Dia tak tidur tadi malam. Lagipula, Agnes tak menjelaskan apa-apa. Dia mengatakan ini perburuan tikus, itu OK, tapi kapanpun dia bertanya siapa tikus itu...Agnes terdiam dan berhenti berbicara.

Didepan mata Louise, yang dengan sabar menunggu di depan teater, lewat beberapa orang yang sangat dikenalnya.

Mereka adalah Henrietta yang ditemani Saito, yang memiliki kantung di bawah matanya disebabkan kurang tidur. Meski Henrietta mengenakan sehelai jubah dan pakaian jelata yang dibeli Louise dulu, dan mengikat rambutnya dengan cara wanita kota...Louise yakin dia tak salah.

Agnes mengenali kedua orang lebih dulu karena dia telah mengirimkan laporan dengan kurir burung hantu dan terus membuka mata untuk menyambut kedatangan mereka.

“...Putri, Saito.!”

Apa yang dimulai sebagai gumaman kecil berubah jadi teriakan keras begitu dia berlati menuju pasangan tersebut.

“Louise...”

Henrietta memeluk tubuh kecil Louise erat-erat.

Aku sangat khawatir! Kemana anda menghilang?”

“Aku meminjam Familiar-san yang lembut ini...dan bersembunyi dalam kota. Maafkan karena aku tak biloang padamu. Aku tak ingin menyeretmu dalam hal ini. Jadi ketika saya diberitahu Agnes pagi ini bahwa kalian bertindak bersama-sama, saya terkejut. Namun, kau adalah teman terbaikku, jadi sepertinya kita memeang ditakdirkan untuk bertemu entah cepat atau lambat.”

Lalu, Agnes yang yang berdiri dalam diam di dekat mereka kemudian berlutut.

“Semuanya sudah siap. Tinggal menunggu perintah.”

“Terima kasih. Kau benar-benar melakukannya dengan baik.”

Dan penonton terakhir yang tiba di depan teater....

adalah Korps Manticore, Garda Penyihir.

Semua yang menonton terkejut begitu komandan mereka, yang memiliki simbol binatang khayalan berkepala naga dan bertubuh ular pada baju besinya, menghampiri mereka dengan marah-marah.

“Hei! Agnes-dono, Apa-apaan ini?! Aku kesini dengan terbang seusai menerima suratmu, tapi Paduka tak disini!”

Lalu, komandan Manticore menyadari kehadiran Henrietta dan berlari menuju dia dengan panik.

“Yang Mulia! Kami sangat khawatir! Engkau ada dimana? Kami semalaman mencari anda!”

Dengan air mata yang hendak tertumpah, sang komandan meninggikan suaranya.

Ada apa dengan unit garda sihir ini? Penonton mulai mengerumuni mereka sambil bertanya-tanya. Karena keributan ini, Henrietta menutup wajahnya dengan kerudung jubahnya.

“Aku minta maaf karena menyebabkan ketegangan ini. Nanti, Aku akan menjelaskannya. Untuk sekarang, ikuti saja perintahku, komandan.”

“Apa perintah anda?”

“dengan korps yang kau bawahi, mohon kepung Teater Tanaijiiru kerajaan. Jangan biarkan bahkan seekor semut pun keluar.”

sang KOmandan langsung membungkuk meski memasang wajah curiga.

“Sebagaimana keinginanmu.”

“Kalau begitu, aku akan masuk.”

“Saya ikut.”

teriak Louise, Namun, Henrietta menggelengkan kepala.

“Tidak, kau mesti menunggu disini. Ini adalah sesuatu yang harus kuselesaikan sendiri.”

“Tapi-.“

“Ini perintah.”

Louise langsung membungkuk, meski dengan sikap tak sempurna, begitu mendengar kata-kata putus tersebut.

Hensrietta menghilang kedalam teater, sendirian. Agnes yang memiliki hal rahasia lainnya untuk dilakukan, segera menaiki kudanya dan pergi entah kemana.

Jadi...kini hanya dua orang, Saito dan Louise, yang tinggal.

Louise menarik lengan baju Saito, yang tengah menonton kepergian Henrietta dengan pipi memerah.

“Hei.”

“Apa?”

“Apa, apa yang terjadi?”

“AKu diceritakan bahwa ini merupakan perburuan rubah.”

“yang kudengar ini perburuan tikus.”

“Toh, sma-sama aja.”

Setelah itu, mereka berdua saling menatap dengan pandangan kosong.

“Entah apa, itu adalah tugas...”

“Yap.”

“Spertinya kita hanya pemeran pembantu disini.”

Saito mengangguk.

Louise tiba-tiba menyadari ada bau tertentu dan mendekatkan hidungnya pada tubuh Saito.

“A-apa-.”

Dengan wajah garang, Louise mulai membaui bau tubuh Saito dengan hidungnya. *sniff snif*

“H-Hei, apa-apaan-“

“Bau ini...ini bau parfum putri!”

“Eh?”

Saito terkejut.

“Kau..kau tak melakukan yang aneh-aneh pada Putri, kan?”

Louise memandangi Saito dengan mata mengancam. Saito langsung pucat. Tentu saja dia tak bisa bilang soal ciuman itu. Dia tak bisa mengkhianati Henrietta. Demi kehormatan Putri, dia tak boleh menceritakan hal ini. Lagipula, meski dia cerita, Louise juga takkan percaya.

“Bo-bodoh! Aku tak melakukan apa-apa!”

“Benarkah?”

Louie terus memandangi Saito.

“Ini pasti kena ketika bersama-sama kesini, tadi.”