Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1 Bab3"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(New page: [edit] Bab Tiga: Legenda Pak Colbert, guru yang telah menyerahkan 20 tahun hidupnya untuk Akademi sihir Tristain, menjadi tokoh utama sekarang Nama lainnya adalah Colbert sang Ular Api,...)
 
Line 75: Line 75:
   
 
"Jangan macam-macam hanya karena kuintip Celana dalammu! jika begini terus, kau takkan pernah kawin! Ah~~masa muda~~Nona...”
 
"Jangan macam-macam hanya karena kuintip Celana dalammu! jika begini terus, kau takkan pernah kawin! Ah~~masa muda~~Nona...”
  +
  +
Tanpa malu-malu, Osmond tua mulai mengelus pantat Miss Longueville.
  +
  +
Miss Longueville bangkit dan tanpa berkata apa-apa lagi mulai menendang-nendang bosnya.
  +
  +
“Ampun.Berhenti.Ow. Aku takkan melakukannya lagi. Percayalah.”
  +
  +
Osmond tua menutupi kepalanya dan bergemetaran. Miss Longueville menarik nafas dalam-dalam sambil terus menendang-nendang Osmond.
  +
  +
"Ack! Bagaimana mungkin kau! memperlakukan Orang tua! seperti ini! Hey! Ouch!"
  +
  +
Momen “damai” ini terputus dengan interupsi mendadak.
  +
  +
Pintu terbuka dengan terbanting dan Colbert bergegas masuk.
  +
  +
“Osmond tua!”
  +
  +
“Ada apa?”
  +
  +
Miss Longueville kembali ke mejanya, duduk kembali seakan-akan tidak ada apa-apa. Sir Osmond menempatkan lengannya di belakang, dan menghadap sang pengunjung dengan ekspresi serius. Ini tentu pemulihan yang cepat.
  +
  +
“Sa-sa-sa-ya punya berita besar!”
  +
  +
“Tidak ada itu yang namanya berita besar. Semuanya hanyalah kumpulan kejadian-kejadian kecil.”
  +
  +
“Ha-ha-harap lihat ini!”
  +
  +
Colbert menyerahkan buku yang telah dibacanya kepada Osmond.
  +
  +
“Ini adalah ”Para Familiar dari Brimir, Sang Pendiri”ya kan? Apakah kau masih menggali literatur lama seperti ini?Jika kau punya waktu untuk itu, kenapa kau tak memikirkan cara-cara yang lebih baik untuk mengumpulkan uang sekolah dari para ningrat keparat itu? Mister, err...Siapa namanya?”
  +
  +
Sir Osmond menengadahkan kepalanya
  +
  +
“Colbert Pak! Anda lupa?!”
  +
  +
“Ya,ya. sekarang aku ingat. Hanya...kau berbicara sangat cepat sehingga aku tak pernah menangkapnya. Jadi, Colby, ada apa dengan buku ini?”
  +
  +
“Lihat juga yang ini!”
  +
  +
Colbert lalu memberikan sketsa tanda pada tangan kiri Saito.
  +
  +
Pada saat dia melihatnya, air muka Osmond berubah seketika. Seberkas cahaya nampak di matanya.
  +
  +
“Miss Longueville, permisi, apa kau bisa keluar?”
  +
  +
Miss Longueville bangkit dan meninggalkan ruangan. Osmond baru berbicara saat yakin dia telah benar-benar di luar.
  +
“Jelaskan ini padaku secara terperinci, Mister Colbert..."
  +
* * *
  +
Saat itu adalah sesaat sebelum waktu makan siang saat mereka akhirnya selesai membereskan kelas yang diobrak-abrik Louise. Sebagai hukuman, sihir dilarang untuk digunakan saat bebersih, sehingga dibutruhkan waktu lama. Tapi, sebagaimana kita tahu, Louise tak bisa menggunakan kebanyakan mantra, jadi hal itu tak terlalu berpengaruh. Mrs. Chevreuse baru sadar dua jam setelah terperangkap ledakan, dan sementara dia kembali ke kelas, dia tak lagi memberikan pelajaran soal transmutasi selama hari itu. Kemungkinannya dia trauma dengan apa yang terjadi sebelumnya.
  +
Setelah selesai beberes, Louise dan Saito menuju Aula makan untuk makan siang. Selama di jalan, Saito mengolok-olok Louise terus-terusan. Memang, adalah kesalajhan Louise sehingga dia hsrus mengerjakan semua yang tadi. Adalah Saito yang membawa kaca jendela baru, menata meja yang berat kembali, dan... tentu saja Saito yang membersihkan kelas yang penuh jelaga nan hitam dengan lap. Yang dilakukan Louise hanyalah mengelap beberapa meja, dan itupun dengan enggan.
  +
Aku harus tidur di lantai. Makanannya ga enak. dan diatas semua itu, aku harus mencuci pakaian dalam.(Tak berarti aku sudah.)
  +
  +
Dengan semua perlakuan buruk dari Louise, tiada jalan bagi Saito untuk tetap diam tentang kelemahan Louise yang baru ditemukannya. Dia menggoda Louise seperti tiada hari esok.
  +
  +
"'Louise sang Zero.' Aku tahu sekarang~ Sempurna ~ Tingkat keberhasilan nol. Tapi Ningrat dengan hal itu...luar biasa sekali!”
  +
  +
Louise diam saja, membuat Saito makin menjadi-jadi
  +
  +
"Transmutasi! Ah! Kaboom! Transmutasi! Ah! Kaboom! Oh, Aku salah! Hanya Sang Zero yang salah disini!"
  +
  +
Saito menari-nari dalam lingkaran sambil sesekali mengangkat lengannya saat mengucapkan “kaboom”, meniru ledakan. Penampilan yang cukup rinci rupanya.
  +
  +
“Mistress Louise. Familiar yang rendah ini telah menggubah lagu untukmu.”
  +
  +
Sambil berkata begitu, Saito membungkukkan kepalanya. Tentu saja, Sikap itu dimaksudkan untuk mengejek, sebuah satire yang sadis.
  +
  +
Alis Louise berkenyit marah. Dia tengah berada dalam puncak kemarahan yang akan meledak, tapi Saito terlalu terserap dalam kegairahan untuk menyadarinya.
  +
  +
“Kenapa tak segera kau nyanyikan?”
  +
  +
"'Lou-Lou-Louise sudah tak tertolong lagi~penyihir yang tak bisa sihir! Tapi tak apa-apa! Karena dia seorang perempuan...”
  +
  +
Saito memegang perutnya saat meledakkan tawanya ke udara.
  +
  +
"Bwahahaha!!"
  +
  +
Dia tertawa atas lawakannya sendiri. Mungkin dia memang sudah tak ada harapan lagi
  +
  +
* * *
  +
  +
Saat mereka tiba di Aula makan, Saito menarik kursi Untuk Louise.
  +
  +
“Harus diingat, jangan menyihir makanan anda. Bayangkan saja Bagaimana bila ia meledak.”
  +
  +
Louise duduk dengan mulut terkunci. Saito merasa puas sekali, mendapatkan Louise yang arogan dan kasar dalam genggamannya. Bahkan hukuman biasa yaitu tak makan tidak dihiraukannya.
  +
  +
Sementara sup meager dan roti yang disajikan terasa sakit untuk dirasa, ia merupakan bayaran yang seimbang dengan tawa yang banyak sebelumnya.
  +
  +
“Baiklah, Pendiri...Siapapun itu atau entahlah. Yang mulia sang Ratu. Nuhun untuk Makanan sampah ini. Itadakimasu.”
  +
  +
Saat dia mulai makan, piringnya direbut paksa
  +
  +
“Apa yang kau lakukan?!”
  +
  +
“K-k-ka-...”
  +
  +
“K-k-ka-‘?”
  +
Bahu Louise bergetar saking marahnya, begitu juga suaranya. Entah bagaimana, dia tetap bisa mengontrol kemarahan yang mengalir deras ini hingga tiba di meja makan. Mungkin...Untuk menurunkan hukuman yang pantaskah?
  +
  +
“K-k-kau Familiarku, berani-be-beraninya mengata-ta-takan i-i-itu pada A-aku, Tuanmu?”
  +
  +
Saito menyadari dia keterlaluan dalam hal ini
  +
  +
“Ampuni aku! Aku takkan mengatakannya lagi, jadi bisakah kudapatkan kembali makananku?”
  +
  +
“Tidak! Tentu saja TIDAK!”
  +
  +
Louise berteriak, menegangkan urat leher dan otot mukanya yang manis itu.
  +
  +
“Satu potongan jatah untuk tiap kali Zero yang kau ucapkan, dan itu sudah Final, tiada lagi ampun bagimu!”
  +
  +
* * *
  +
  +
Pada akhirnya, Saito meninggalkan Aula makan tanpa menelan apapun.
  +
  +
Aku tak seharusnya sebegitunya tentang hal itu.... Tapi sudah telat untuk menyesal
  +
  +
“Haa, lapar nih...sial...”
  +
  +
Sambil memeluk perutnya, dia berjalan dengan satu tangan di dinding.
  +
  +
“Ada sesuatukah?”
  +
  +
Dia berbalik untuk melihat seorang perempuan yang terlihat normal dalam pakaian maid membawa nampan perak besar, terlihat perhatian padanya. Rambut hitamnya dihiasi rapih dengan ban kepala, dan bintik-bintiknya lucu.
  +
  +
“Bukan apa-apa...” Saito mengibaskan tangan kirinya.
  +
  +
“Apa kau...yang menjadi familiarnya Miss Vallière?
  +
  +
Ini mungkin karena dia mengenal tanda pada tangan kiri Saito
  +
  +
“Kau mengenalku?”
  +
  +
“Sedikit. rumor sudah kemana-mana, kau tahu, Bahwa seorang biasa dipanggil oleh sihir pemanggil.”
  +
  +
Sang gadis tersenyum manis.Itu adalah senyum terindah yang pernah dilihat Saito sejak dia datang ke dunia ini.
  +
  +
“Apa kau juga seorang penyihir?Saito bertanya.
  +
  +
“Oh, tidak.Aku hanya seorang biasa, sama sepertimu, aku melayani para ningrat disini dengan mengerjakan pekerjaan rumahan.”
  +
  +
Aku sebenarnya dari bumi dan bukan seorang biasa, tapi mungkin menjelaskan itu tiada gunanya. Saito memutuskan untu memperkenalkan dirinya.
  +
  +
“Oh, begitu...Erm, saya Hiraga Saito. Senang bertemu denganmu.”
  +
  +
“Itu nama yang agak aneh...Aku Siesta.”
  +
  +
Pada titik itu, perut Saito menggerung.
  +
  +
“Kau pasti lapar.”
  +
  +
“Ya”
  +
  +
“Mohon ikuti aku ke arah sini.”
  +
  +
Siesta lalu berjalan menjauh.
  +
  +
* * *
  +
  +
Saito dibimbing ke dapur yang terletak di belakang Aula makan. Banyak panci dan Tungku besar dibariskan didalam. Juru masak dan maid lain seperti Siesta tengah sibuk menyiapkan makanan.
  +
  +
“Tunggu sebentar ya?”
  +
  +
Siesta menyilahkan Saito duduk di Kursi pada sudut dapur dan menghilang ke belakang.
  +
  +
Dia lalu kembali dengan Mangkuk penuh sop di tangannya.
  +
  +
“Ini sop dari sisa-sisa makanan para ningrat. Jika tak keberatan, silahkan dimakan.”
  +
  +
“Bolehkah?”
  +
  +
“Ya. meski ini hanya konsumsi para staf sih...”
  +
  +
Kelembutannya sangat menyentuh. Ini terbalik 180 derajat dengan sup yang diberikan Louise. Saito mengambil sesendok penuh lalu memasukkannya ke mulut. Lezat, Membuatku menangis
  +
  +
“Ini sangat ena~k!”
  +
  +
“Baguslah. Masih ada lebih nih jika kau masih mau, jadi santai saja.”
  +
  +
Saito melahap sup bagaikan sedang dalam mimpi. Siesta berdiri menontonnya sambil selalu tersenyum manis.
  +
  +
“Apa kau tak diberikan sesuatu untuk dimakan?”
  +
  +
“Gadis itu datang dan merebut piringku begitu saja saat kuejek dia ‘Louise sang Zero.’”
  +
  +
“Ya ampun! Tak seharusnya kau berkata begitu kepada para ningrat!”
  +
  +
“Ningrat kaningrat. Menjadi begitu tinggi hati hanya karena bisa sihir.”
  +
  +
“Kau pasti sangat berani...”
  +
  +
Siesta terkagum-kagum memandang Saito.
  +
  +
Saito memberikan kembali mangkuk yang telah kosong kepada Siesta.
  +
  +
“Tadi itu sangat lezat. Makasih.”
  +
  +
“Aku senang kau suka. Silahkan berkunjung kapan saja kau lapar. Jika kau tak berkeberatan denga apa yang kami dapat, aku akan senang berbagi.”
  +
  +
Sebuah penawaran yang ramah. Saito semakin tersentuh.
  +
  +
“Maksih...”
  +
  +
Air mata tiba-tiba menetes dari sudut mata Saito, mengejutkan Siesta.
  +
  +
“Ada masalah?”
  +
  +
“Tidak... Hanya saja ini kali pertama seseorang begitu baik padaku sejak ku disini...Aku jadi sedikit emosional...”
  +
  +
“I-Itu kayanya berlebihan.”
  +
  +
“Tentu saja tidak. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, kataan saja. Akan kubantu.”
  +
  +
Saito sedang tak tertarik dengan susuatu semacam mencuci pakaian dalam Luise, dan lebih tertarik membantu gadis ini.
  +
  +
“Kalau begitu, bisakah kau bantu aku menyajikan desserts ini.”
  +
  +
Siesta mengucapkannya dengan senyum
  +
  +
“OK,” Saito mengangguk, antusias sekali tampaknya.
  +
  +
* * *
  +
Banyak dari kue desserts yang ditempatkan pada nampan besar perak. Saito membawa nampan itu sementara Siesta mengambil Kue beserta tongnya dan menyajikannya satu per satu pada para ningrat.
  +
  +
Seorang penyihir berdiri. Dia berambut blonde keriting, mengenkan kemeja frill-trimmed, dan terlihat rada-rada narsis. Ada Mawar yang bertengger pada saku kemejanya. Teman-temannya sedang bercanda melepas tawa dan kegembiraan kepadanya.
  +
  +
“Jadi, Guiche! Kau dengan siapa sekarang?”
  +
  +
“Siapa Cintamu, Guiche?”
  +
  +
Nampaknya sang penyihir nan bangga itu dipanggil Guiche. Dia perlahan-lahan mengangkat telunjuk ke bibir.
  +
  +
“Dengan siapa? Aku tak memberikan satu wanitapun perlakuan khusus. Kau tahu, Sebuah mawar merekah untuk kesenangan semuanya.”
  +
  +
Orang ini menyamakan dirinya dengan mawar. Seorang narsis yang sudah tenggelam terlalu dalam. Dia cuma seorang narsis yang membuat orang lain lebih malu dari dirinya. Saito menatapnya, berharap dia mati saja.
  +
  +
Tepat saat itu, sesuatu jatuh dari kantong Guiche. Sebuah botol gelas kecil dengan cairan ungu terkocok didalamnya.
  +
  +
Aku tak suka orang ini, tapi tetap saja aku harus mengatakan dia menjatuhkan sesuatu.
  +
Saito memanggil Guiche.
  +
  +
“Oi, kau menjatuhkan botol ini dari kantongmu.”
  +
  +
Tapi Guiche tak menoleh. Dia mengacuhkanku!
  +
  +
Saito memberikan nampan pada Siesta dan membungkuk untuk mengambil botol tersebut.
  +
“Kukatakan, kau jatuhkan sesuatu, playboy.”
  +
  +
Ditaruhnya botol di meja. Guiche menatap Saito penuh rasa jijik dan mendorong botol menjauh.
  +
  +
“Ini bukan punyaku. Apa sih yang kau bicarakan?”
  +
  +
Teman-teman Guiche kemudia menyadari darimana botol itu dan menyebabkan keributan.
  +
  +
“Oh?, parfum itu, punya Montmorency kan?”
  +
  +
“Yep! Warna ungu itu adalah parfum yang hanya diracik Montmorency untuk dirinya!”
  +
  +
“Tidak, Tunggu, dengarkan. Kukatakan ini untuk kebaikan dirinya, tapi...”
  +
  +
Saat Guiche hendak berkata lebih banyak, seorang gadis, yang memakai jubah coklat dan sedang duduk di meja di belakang mereka, bangkit dan menuju kursi Guiche.
  +
  +
Dia seorang gadis manis dengan rambut berwarna chestnut. Berdasarkan warna Jubahnya, dia merupakan siswa tahun pertama.
  +
  +
"Guiche-sama..."
  +
  +
Dan dengan itu, dia mulai menangis tak terkendali.
  +
  +
“Aku tahu semuanya, kau dan Montmorency adalah...”
  +
  +
“Itu hanya salah paham. Dengar Katie, Orang yang ada dalam hatiku hanyalah kau...”
  +
  +
Tapi gadis bernama Katie menampar wajah Guiche sekeras-kerasnya.
  +
  +
“Parfum yang kau jatuhkan dari kantongmu lebih dari cukup sebagai bukti! Selamat tinggal!”
  +
  +
Guiche mengelus pipinya.
  +
  +
Pada titik ini, seorang gadis dengan rambutnya yang bergulung-gulung bangkit dari kursi nun jauh di belakang. Saito mengenalnya sebagai gadis yang berdebat dengan Louise saat dia pertama kali menginjakkan kaki di dunia ini.
  +
  +
Dengan ekspresi sangar, dia menghampiri Guiche dengan langkah cepat yang berbunyi,
  +
  +
“Montmorency. Ini hanya salah paham, Yang kulakukan hanyalah bersamanya untuk perjalanan juah ke
  +
Hutan La Rochelle....”kata Guiche, menggeleng-gelengkan kepalanya. sementara dia berpura-pura untuk tetap tenang, setetes keringat dingin mengalir menuruni dahinya.
  +
  +
“Tepat seperti pikiranku! Kau sedang menggarap tahun pertama itu kan?
  +
  +
“Ayolah, Montmorency nan harum. Jangan peras muka mawarmu dalam kemarahan seperti itu. Itu hanya membuatku bertambah sedih tiap kali ku melihatnya!”
  +
  +
Montmorency menggenggam sebotol anggur di meja dan menuangkan isinya perlahan-lahan ke atas kepala Guiche.
  +
  +
Lalu...
  +
  +
“Kau pendusta!”
  +
  +
Dia berteriak dan mengamuk.
  +
  +
Aula hening sejenak.
  +
  +
Guiche menambil saputangan dan mengelap mukanya pelan-pelan. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berbicara dengan dramatisnya.
  +
  +
“Sepertinya mereka tak mengerti ari dari kehadiran sekuntum mawar.”
  +
  +
Ya, dan kau teruskan itu, Pikir Saito, sambil mengambil nampan lagi dari Siest dan mulai menjauh.
  +
Guiche menyuruhnya berhenti
  +
  +
“Berhenti disitu.”
  +
  +
“Ada apa sekarang.”
  +
Guiche memutar tubuhnya lalu duduk dengan kaki kanan diatas kaki kiri dan tangan di dagunya. Itu membuat pening Saito yang melihat adegan yang sungguh arogan di tiap geraknya.
  +
  +
“Karena tindakanmu yang mengambil botol parfum tanpa pikir panjang, reputasi dua wanita telah rusak. Bagaimana tanggung jawabmu?”
  +
  +
Saito membalas dengan nada sini.
  +
  +
“Hello, lihat siapa yang mendua disini.”
  +
  +
Teman-teman Guiche meledak dalam tawa.
  +
  +
“Itu benar Guiche! semuanya salahmu!”
  +
  +
Wajah Guiche merah padam seketika.
  +
  +
“Dengarkan, pesuruh. Saat kau taruh botol parfum di meja, ku berpura-pura tak tahu apa-apa kan? Memangnya salah kalau kau sedikit mengerti dan berlalu dengan itu?”
  +
  +
“Apapun itu, sikapmu yang mendua pasti tersingkap juga, satu lagi, aku bukan seorang pesuruh.”
  +
  +
"Hmph... Ah, kau...”
  +
  +
Guiche mendengus, seakan merendahkan Saito.
  +
“Kau pasti si jelata yang dipanggil oleh "Louise Sang Zero" itu. Mengharapkan sikap ningrat dari seorang jelata sepenuhnya salahku. Silahkan pergi.”
  +
  +
Saito meledak, Cowok cantik ataupun bukan, taiada jalan bagi Saito untuk diam saja dari kenarsisan nan parah ini. Dia tak bisa menahan komen pemanas suasana dari bibirnya.
  +
  +
“Tutup mulutlah kau sang narsis goblok. Napa ga nyeruput mawar ampe kubur?”
  +
  +
Mata Guiche menyempit.
  +
  +
“Sepertinya kau tak tahu etika memanggil seorang ningrat.”
  +
  +
“Sayang sekali, ku datang dari dunia dimana tiada orang macam bangsawan.”
  +
  +
Saito mengangkat tangan kanannya dan berbicara dengan mantap, meniru Guiche.
  +
  +
“Baiklah. Kau kan kuberi pelajaran tentang hormat. Sebuah cara sempurna melepas stres.”
  +
  +
Guiche bangkit
  +
  +
“Luar biasa.”

Revision as of 08:55, 23 July 2009

[edit] Bab Tiga: Legenda

Pak Colbert, guru yang telah menyerahkan 20 tahun hidupnya untuk Akademi sihir Tristain, menjadi tokoh utama sekarang

Nama lainnya adalah Colbert sang Ular Api, dan tentunya, dia adalah penyihir khusus sihir api Sejak Pemanggilan Familiar musim semi beberapa hari yang lalu, dia telah mulai memperhatikan pemuda biasa yang telah dipanggil Louise. Tepatnya, dia hanya memperhatikan tanda yang muncul pada tangan kiri pemuda tersebut. Tanda tersebut sangat jarang, jadi selama beberapa malam, dia mengunci dirinya di perpustakaan, mendalami berbagai macam teks yang ada.

Perpustakaan Akademi sihir Tristain berada di menara yang sama dengan ruang makan. Rak bukunya sangat tinggi, tingginya kira-kira 30 mail, dan cara mereka dibariskan berdampingan dengan tembok merupakan pemandangan yang sulit dipercaya. Dan itu wajar saja, mengingat tempat ini dipenuhi sejarah segalanya sejak penciptaan dunia baru di Halkeginia oleh Brimir sang pendiri.

Colbert sedang berada di bagian “perpustakaan Fenrir”, yang hanya boleh dimasuki para guru Rak buku yang biasa, yang bisa diakses para murid, tak memberikan jawaban yang memuaskannya Dia melayang ke rak yang tak terjangkau lalu secara intensif mencari-cari sebuah buku. Usahanya tertebus saat judul buku tersebut tertangkap matanya. Ia merupakan sebuah teks tua yang memegang deskripsi dari familiar yang telah digunakan Brimir Sang pendiri.

Perhatiannya terpusat pada suatu paragraf tertentu dalam buku tersebut, dimana matanya dibuka lebar-lebar seiring dengan diteruskannya kalimat demi kalimat, yang dilakukannya dengan perasaan yang meluap-luap. Dia membandingkan sketsa tanda di tangan kiri pemuda buatannya dengan tanda di buku.

Ah!, dia terlompat dalam keterkejutannya. Pada detik itu, konsentrasi yang dibutuhkannya agar tetap melayang hilang dan dia hampir terjerembab ke lantai Dengan mengapit buku di lengannya, dengan segera dia turun ke lantai dan lari keluar perpustakaan Tujuannya adalah Kantor Kepala Sekolah

  • * *

Kantor sang kepsek terletak di lantai tertinggi menara. Sir Osmond, Kepsek yang sedang menjabat, sedang duduk dengan siku di meja Sequoia(ingat pohon tertinggi dunia?) yang elegan, terlihat membusuk kebosanan, menggoyang-goyangkan janggut dan rambut putihnya.

Sambil memetik keluar rambut hidungnya, suara hrm didengungkannya dan dibukalah lemari mejanya. Dari sana, dikeluarkannya pipa rokok. Miss Longueville, sang sekretaris yang sedang menulis sesuatu di meja lainnya di sisi lain ruangan, melambaikan pena bulunya.

Pipa rokok melayang di udara dan mendarat di tangan Miss Longueville. Sir Osmond menggerutu, "Apakah mengambil kesenangan orang tua ini adalah sesuatu hal yang lucu? Miss. um...”

"Mengatur kesehatanmu adalah salah satu tugasku, oh Osmond tua.”

Sir Osmond bangkit dari kursinya dan menuju ke Miss Longueville yang tenang dan dingin. Berhenti di belakang sang nona yang duduk, dia menutup mata, dan ekspresinya muncul, terukir pada wajahnya.

"Jika hari-hari terus berlalu dengan damai, mencari tahu bagaimana menghabiskan waktu akan menjadi masalah besar.”

Kerutan-kerutan yang tertancap dalam pada Wajah Osmond hanyalah petunjuk riwayat kehiodupannya. Orang-orang mengira-ngira umurnya 100, ah, tidak, mungkin 300 th. Tapi usia sebenarnya tak pernah diketahui orang. Mungkin juga dia sendiri tak ingat.

“Oh Osmond tua,” Miss Longueville angkat bicara tanpa mengalihkan matanya dari pena bulu yang menari-nari di atas perkamen.
“Ada apa? Nona...”
“Tolong berhenti berkata kau sedang bebas tugas sebagai alasan untuk menyentuh pantatku.”

Sir Osmond membuka mulutnya perlahan-lahan dan mulai berjalan kesana kemari dengan langkah terhuyung-huyung.

“Tolong juga jangan berpura-pura pikun saat keadaan memburuk,” Longueville menambahkan. Sir Osmond mendesah dalam-dalam, sebauh desahan dari seseorang yang memikul beban yang sangat banyak tentunya.

"Dimana kebenaran utama itu ada? apakah kau pernah membayangkannya? Nona...”

“Dimanapun dia, kuyakinkan kau, ia tak ada dibawah rokku, jadi berhentilah memasukkan tikusmu dibawah meja.”

Wajah Sir Osmond tertelungkup, dan dengan sedih berbisik,”Mótsognir."

Dari bawah meja Miss Longueville, seekor tikus kecil muncul, segera berlari ke kaki Osmund dan naik ke bahunya, menengadahkan kepala kecilnya. Dikeluarkannya beberapa kacang dari sakunya dan diberikannya satu pada si tikus.

"Chuchu," si tikus mencicit, terlihat tersenyum dengan perlakuan itu.

“Mótsognir, hanya kaulah teman kepercayaanku.”

Sang tikus mulai menggigiti kacang, yang segera habis. Si tikus mencicit”chuchu” sekali lagi “ya, ya, ya. Mau lebih? OK, nih kukasih. Tapi, pertama-tama, kau kuperintahkan untuk melapor, Mótsognir.”

"Chuchu"

“Begitu ya, Putih dan putih bersih,hrm. Tapi Miss Longueville seharusnya tetap hitam. Kau setuju kan, oh Mótsognirku yang lucu?”

Alis Miss Longueville “bertabrakan”.

“Osmond tua."

"Ya, ada apa?"

" Lain kali kau lakukan itu, kulaporkan ke istana."

"Kah! Kau pikir aku bisa jadi kepsek akademi ini jika terus takut pada istana sepanjang waktu?!"

Sir Osmond membuka matanya lebar-lebar dan berteriak marah. Itu adalah pertunjukan yang bagus, sangat tak terduga bagi seseorang yang tampak akan jatuh bila ditiup.

"Jangan macam-macam hanya karena kuintip Celana dalammu! jika begini terus, kau takkan pernah kawin! Ah~~masa muda~~Nona...”

Tanpa malu-malu, Osmond tua mulai mengelus pantat Miss Longueville.

Miss Longueville bangkit dan tanpa berkata apa-apa lagi mulai menendang-nendang bosnya.

“Ampun.Berhenti.Ow. Aku takkan melakukannya lagi. Percayalah.”

Osmond tua menutupi kepalanya dan bergemetaran. Miss Longueville menarik nafas dalam-dalam sambil terus menendang-nendang Osmond.

"Ack! Bagaimana mungkin kau! memperlakukan Orang tua! seperti ini! Hey! Ouch!"

Momen “damai” ini terputus dengan interupsi mendadak.

Pintu terbuka dengan terbanting dan Colbert bergegas masuk.

“Osmond tua!”

“Ada apa?”

Miss Longueville kembali ke mejanya, duduk kembali seakan-akan tidak ada apa-apa. Sir Osmond menempatkan lengannya di belakang, dan menghadap sang pengunjung dengan ekspresi serius. Ini tentu pemulihan yang cepat.

“Sa-sa-sa-ya punya berita besar!”

“Tidak ada itu yang namanya berita besar. Semuanya hanyalah kumpulan kejadian-kejadian kecil.”

“Ha-ha-harap lihat ini!”

Colbert menyerahkan buku yang telah dibacanya kepada Osmond.

“Ini adalah ”Para Familiar dari Brimir, Sang Pendiri”ya kan? Apakah kau masih menggali literatur lama seperti ini?Jika kau punya waktu untuk itu, kenapa kau tak memikirkan cara-cara yang lebih baik untuk mengumpulkan uang sekolah dari para ningrat keparat itu? Mister, err...Siapa namanya?”

Sir Osmond menengadahkan kepalanya

“Colbert Pak! Anda lupa?!”

“Ya,ya. sekarang aku ingat. Hanya...kau berbicara sangat cepat sehingga aku tak pernah menangkapnya. Jadi, Colby, ada apa dengan buku ini?”

“Lihat juga yang ini!”

Colbert lalu memberikan sketsa tanda pada tangan kiri Saito.

Pada saat dia melihatnya, air muka Osmond berubah seketika. Seberkas cahaya nampak di matanya.

“Miss Longueville, permisi, apa kau bisa keluar?”

Miss Longueville bangkit dan meninggalkan ruangan. Osmond baru berbicara saat yakin dia telah benar-benar di luar. “Jelaskan ini padaku secara terperinci, Mister Colbert..."

  • * *

Saat itu adalah sesaat sebelum waktu makan siang saat mereka akhirnya selesai membereskan kelas yang diobrak-abrik Louise. Sebagai hukuman, sihir dilarang untuk digunakan saat bebersih, sehingga dibutruhkan waktu lama. Tapi, sebagaimana kita tahu, Louise tak bisa menggunakan kebanyakan mantra, jadi hal itu tak terlalu berpengaruh. Mrs. Chevreuse baru sadar dua jam setelah terperangkap ledakan, dan sementara dia kembali ke kelas, dia tak lagi memberikan pelajaran soal transmutasi selama hari itu. Kemungkinannya dia trauma dengan apa yang terjadi sebelumnya. Setelah selesai beberes, Louise dan Saito menuju Aula makan untuk makan siang. Selama di jalan, Saito mengolok-olok Louise terus-terusan. Memang, adalah kesalajhan Louise sehingga dia hsrus mengerjakan semua yang tadi. Adalah Saito yang membawa kaca jendela baru, menata meja yang berat kembali, dan... tentu saja Saito yang membersihkan kelas yang penuh jelaga nan hitam dengan lap. Yang dilakukan Louise hanyalah mengelap beberapa meja, dan itupun dengan enggan. Aku harus tidur di lantai. Makanannya ga enak. dan diatas semua itu, aku harus mencuci pakaian dalam.(Tak berarti aku sudah.)

Dengan semua perlakuan buruk dari Louise, tiada jalan bagi Saito untuk tetap diam tentang kelemahan Louise yang baru ditemukannya. Dia menggoda Louise seperti tiada hari esok.

"'Louise sang Zero.' Aku tahu sekarang~ Sempurna ~ Tingkat keberhasilan nol. Tapi Ningrat dengan hal itu...luar biasa sekali!”

Louise diam saja, membuat Saito makin menjadi-jadi

"Transmutasi! Ah! Kaboom! Transmutasi! Ah! Kaboom! Oh, Aku salah! Hanya Sang Zero yang salah disini!"

Saito menari-nari dalam lingkaran sambil sesekali mengangkat lengannya saat mengucapkan “kaboom”, meniru ledakan. Penampilan yang cukup rinci rupanya.

“Mistress Louise. Familiar yang rendah ini telah menggubah lagu untukmu.”

Sambil berkata begitu, Saito membungkukkan kepalanya. Tentu saja, Sikap itu dimaksudkan untuk mengejek, sebuah satire yang sadis.

Alis Louise berkenyit marah. Dia tengah berada dalam puncak kemarahan yang akan meledak, tapi Saito terlalu terserap dalam kegairahan untuk menyadarinya.

“Kenapa tak segera kau nyanyikan?”

"'Lou-Lou-Louise sudah tak tertolong lagi~penyihir yang tak bisa sihir! Tapi tak apa-apa! Karena dia seorang perempuan...”

Saito memegang perutnya saat meledakkan tawanya ke udara.

"Bwahahaha!!"

Dia tertawa atas lawakannya sendiri. Mungkin dia memang sudah tak ada harapan lagi

  • * *

Saat mereka tiba di Aula makan, Saito menarik kursi Untuk Louise.

“Harus diingat, jangan menyihir makanan anda. Bayangkan saja Bagaimana bila ia meledak.”

Louise duduk dengan mulut terkunci. Saito merasa puas sekali, mendapatkan Louise yang arogan dan kasar dalam genggamannya. Bahkan hukuman biasa yaitu tak makan tidak dihiraukannya.

Sementara sup meager dan roti yang disajikan terasa sakit untuk dirasa, ia merupakan bayaran yang seimbang dengan tawa yang banyak sebelumnya.

“Baiklah, Pendiri...Siapapun itu atau entahlah. Yang mulia sang Ratu. Nuhun untuk Makanan sampah ini. Itadakimasu.”

Saat dia mulai makan, piringnya direbut paksa

“Apa yang kau lakukan?!”

“K-k-ka-...”

“K-k-ka-‘?” Bahu Louise bergetar saking marahnya, begitu juga suaranya. Entah bagaimana, dia tetap bisa mengontrol kemarahan yang mengalir deras ini hingga tiba di meja makan. Mungkin...Untuk menurunkan hukuman yang pantaskah?

“K-k-kau Familiarku, berani-be-beraninya mengata-ta-takan i-i-itu pada A-aku, Tuanmu?”

Saito menyadari dia keterlaluan dalam hal ini

“Ampuni aku! Aku takkan mengatakannya lagi, jadi bisakah kudapatkan kembali makananku?”

“Tidak! Tentu saja TIDAK!”

Louise berteriak, menegangkan urat leher dan otot mukanya yang manis itu.

“Satu potongan jatah untuk tiap kali Zero yang kau ucapkan, dan itu sudah Final, tiada lagi ampun bagimu!”

  • * *

Pada akhirnya, Saito meninggalkan Aula makan tanpa menelan apapun.

Aku tak seharusnya sebegitunya tentang hal itu.... Tapi sudah telat untuk menyesal

“Haa, lapar nih...sial...”

Sambil memeluk perutnya, dia berjalan dengan satu tangan di dinding.

“Ada sesuatukah?”

Dia berbalik untuk melihat seorang perempuan yang terlihat normal dalam pakaian maid membawa nampan perak besar, terlihat perhatian padanya. Rambut hitamnya dihiasi rapih dengan ban kepala, dan bintik-bintiknya lucu.

“Bukan apa-apa...” Saito mengibaskan tangan kirinya.

“Apa kau...yang menjadi familiarnya Miss Vallière?

Ini mungkin karena dia mengenal tanda pada tangan kiri Saito

“Kau mengenalku?”

“Sedikit. rumor sudah kemana-mana, kau tahu, Bahwa seorang biasa dipanggil oleh sihir pemanggil.”

Sang gadis tersenyum manis.Itu adalah senyum terindah yang pernah dilihat Saito sejak dia datang ke dunia ini.

“Apa kau juga seorang penyihir?Saito bertanya.

“Oh, tidak.Aku hanya seorang biasa, sama sepertimu, aku melayani para ningrat disini dengan mengerjakan pekerjaan rumahan.”

Aku sebenarnya dari bumi dan bukan seorang biasa, tapi mungkin menjelaskan itu tiada gunanya. Saito memutuskan untu memperkenalkan dirinya.

“Oh, begitu...Erm, saya Hiraga Saito. Senang bertemu denganmu.”

“Itu nama yang agak aneh...Aku Siesta.”

Pada titik itu, perut Saito menggerung.

“Kau pasti lapar.”

“Ya”

“Mohon ikuti aku ke arah sini.”

Siesta lalu berjalan menjauh.

  • * *

Saito dibimbing ke dapur yang terletak di belakang Aula makan. Banyak panci dan Tungku besar dibariskan didalam. Juru masak dan maid lain seperti Siesta tengah sibuk menyiapkan makanan.

“Tunggu sebentar ya?”

Siesta menyilahkan Saito duduk di Kursi pada sudut dapur dan menghilang ke belakang.

Dia lalu kembali dengan Mangkuk penuh sop di tangannya.

“Ini sop dari sisa-sisa makanan para ningrat. Jika tak keberatan, silahkan dimakan.”

“Bolehkah?”

“Ya. meski ini hanya konsumsi para staf sih...”

Kelembutannya sangat menyentuh. Ini terbalik 180 derajat dengan sup yang diberikan Louise. Saito mengambil sesendok penuh lalu memasukkannya ke mulut. Lezat, Membuatku menangis

“Ini sangat ena~k!”

“Baguslah. Masih ada lebih nih jika kau masih mau, jadi santai saja.”

Saito melahap sup bagaikan sedang dalam mimpi. Siesta berdiri menontonnya sambil selalu tersenyum manis.

“Apa kau tak diberikan sesuatu untuk dimakan?”

“Gadis itu datang dan merebut piringku begitu saja saat kuejek dia ‘Louise sang Zero.’”

“Ya ampun! Tak seharusnya kau berkata begitu kepada para ningrat!”

“Ningrat kaningrat. Menjadi begitu tinggi hati hanya karena bisa sihir.”

“Kau pasti sangat berani...”

Siesta terkagum-kagum memandang Saito.

Saito memberikan kembali mangkuk yang telah kosong kepada Siesta.

“Tadi itu sangat lezat. Makasih.”

“Aku senang kau suka. Silahkan berkunjung kapan saja kau lapar. Jika kau tak berkeberatan denga apa yang kami dapat, aku akan senang berbagi.”

Sebuah penawaran yang ramah. Saito semakin tersentuh.

“Maksih...”

Air mata tiba-tiba menetes dari sudut mata Saito, mengejutkan Siesta.

“Ada masalah?”

“Tidak... Hanya saja ini kali pertama seseorang begitu baik padaku sejak ku disini...Aku jadi sedikit emosional...”

“I-Itu kayanya berlebihan.”

“Tentu saja tidak. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, kataan saja. Akan kubantu.”

Saito sedang tak tertarik dengan susuatu semacam mencuci pakaian dalam Luise, dan lebih tertarik membantu gadis ini.

“Kalau begitu, bisakah kau bantu aku menyajikan desserts ini.”

Siesta mengucapkannya dengan senyum

“OK,” Saito mengangguk, antusias sekali tampaknya.

  • * *

Banyak dari kue desserts yang ditempatkan pada nampan besar perak. Saito membawa nampan itu sementara Siesta mengambil Kue beserta tongnya dan menyajikannya satu per satu pada para ningrat.

Seorang penyihir berdiri. Dia berambut blonde keriting, mengenkan kemeja frill-trimmed, dan terlihat rada-rada narsis. Ada Mawar yang bertengger pada saku kemejanya. Teman-temannya sedang bercanda melepas tawa dan kegembiraan kepadanya.

“Jadi, Guiche! Kau dengan siapa sekarang?”

“Siapa Cintamu, Guiche?”

Nampaknya sang penyihir nan bangga itu dipanggil Guiche. Dia perlahan-lahan mengangkat telunjuk ke bibir.

“Dengan siapa? Aku tak memberikan satu wanitapun perlakuan khusus. Kau tahu, Sebuah mawar merekah untuk kesenangan semuanya.”

Orang ini menyamakan dirinya dengan mawar. Seorang narsis yang sudah tenggelam terlalu dalam. Dia cuma seorang narsis yang membuat orang lain lebih malu dari dirinya. Saito menatapnya, berharap dia mati saja.

Tepat saat itu, sesuatu jatuh dari kantong Guiche. Sebuah botol gelas kecil dengan cairan ungu terkocok didalamnya.

Aku tak suka orang ini, tapi tetap saja aku harus mengatakan dia menjatuhkan sesuatu. Saito memanggil Guiche.

“Oi, kau menjatuhkan botol ini dari kantongmu.”

Tapi Guiche tak menoleh. Dia mengacuhkanku!

Saito memberikan nampan pada Siesta dan membungkuk untuk mengambil botol tersebut. “Kukatakan, kau jatuhkan sesuatu, playboy.”

Ditaruhnya botol di meja. Guiche menatap Saito penuh rasa jijik dan mendorong botol menjauh.

“Ini bukan punyaku. Apa sih yang kau bicarakan?”

Teman-teman Guiche kemudia menyadari darimana botol itu dan menyebabkan keributan.

“Oh?, parfum itu, punya Montmorency kan?”

“Yep! Warna ungu itu adalah parfum yang hanya diracik Montmorency untuk dirinya!”

“Tidak, Tunggu, dengarkan. Kukatakan ini untuk kebaikan dirinya, tapi...”

Saat Guiche hendak berkata lebih banyak, seorang gadis, yang memakai jubah coklat dan sedang duduk di meja di belakang mereka, bangkit dan menuju kursi Guiche.

Dia seorang gadis manis dengan rambut berwarna chestnut. Berdasarkan warna Jubahnya, dia merupakan siswa tahun pertama.

"Guiche-sama..."

Dan dengan itu, dia mulai menangis tak terkendali.

“Aku tahu semuanya, kau dan Montmorency adalah...”

“Itu hanya salah paham. Dengar Katie, Orang yang ada dalam hatiku hanyalah kau...”

Tapi gadis bernama Katie menampar wajah Guiche sekeras-kerasnya.

“Parfum yang kau jatuhkan dari kantongmu lebih dari cukup sebagai bukti! Selamat tinggal!”

Guiche mengelus pipinya.

Pada titik ini, seorang gadis dengan rambutnya yang bergulung-gulung bangkit dari kursi nun jauh di belakang. Saito mengenalnya sebagai gadis yang berdebat dengan Louise saat dia pertama kali menginjakkan kaki di dunia ini.

Dengan ekspresi sangar, dia menghampiri Guiche dengan langkah cepat yang berbunyi,

“Montmorency. Ini hanya salah paham, Yang kulakukan hanyalah bersamanya untuk perjalanan juah ke Hutan La Rochelle....”kata Guiche, menggeleng-gelengkan kepalanya. sementara dia berpura-pura untuk tetap tenang, setetes keringat dingin mengalir menuruni dahinya.

“Tepat seperti pikiranku! Kau sedang menggarap tahun pertama itu kan?

“Ayolah, Montmorency nan harum. Jangan peras muka mawarmu dalam kemarahan seperti itu. Itu hanya membuatku bertambah sedih tiap kali ku melihatnya!”

Montmorency menggenggam sebotol anggur di meja dan menuangkan isinya perlahan-lahan ke atas kepala Guiche.

Lalu...

“Kau pendusta!”

Dia berteriak dan mengamuk.

Aula hening sejenak.

Guiche menambil saputangan dan mengelap mukanya pelan-pelan. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berbicara dengan dramatisnya.

“Sepertinya mereka tak mengerti ari dari kehadiran sekuntum mawar.”

Ya, dan kau teruskan itu, Pikir Saito, sambil mengambil nampan lagi dari Siest dan mulai menjauh. Guiche menyuruhnya berhenti

“Berhenti disitu.”

“Ada apa sekarang.” Guiche memutar tubuhnya lalu duduk dengan kaki kanan diatas kaki kiri dan tangan di dagunya. Itu membuat pening Saito yang melihat adegan yang sungguh arogan di tiap geraknya.

“Karena tindakanmu yang mengambil botol parfum tanpa pikir panjang, reputasi dua wanita telah rusak. Bagaimana tanggung jawabmu?”

Saito membalas dengan nada sini.

“Hello, lihat siapa yang mendua disini.”

Teman-teman Guiche meledak dalam tawa.

“Itu benar Guiche! semuanya salahmu!”

Wajah Guiche merah padam seketika.

“Dengarkan, pesuruh. Saat kau taruh botol parfum di meja, ku berpura-pura tak tahu apa-apa kan? Memangnya salah kalau kau sedikit mengerti dan berlalu dengan itu?”

“Apapun itu, sikapmu yang mendua pasti tersingkap juga, satu lagi, aku bukan seorang pesuruh.”

"Hmph... Ah, kau...”

Guiche mendengus, seakan merendahkan Saito. “Kau pasti si jelata yang dipanggil oleh "Louise Sang Zero" itu. Mengharapkan sikap ningrat dari seorang jelata sepenuhnya salahku. Silahkan pergi.”

Saito meledak, Cowok cantik ataupun bukan, taiada jalan bagi Saito untuk diam saja dari kenarsisan nan parah ini. Dia tak bisa menahan komen pemanas suasana dari bibirnya.

“Tutup mulutlah kau sang narsis goblok. Napa ga nyeruput mawar ampe kubur?”

Mata Guiche menyempit.

“Sepertinya kau tak tahu etika memanggil seorang ningrat.”

“Sayang sekali, ku datang dari dunia dimana tiada orang macam bangsawan.”

Saito mengangkat tangan kanannya dan berbicara dengan mantap, meniru Guiche.

“Baiklah. Kau kan kuberi pelajaran tentang hormat. Sebuah cara sempurna melepas stres.”

Guiche bangkit

“Luar biasa.”