Tate no Yuusha Jilid 1 Bab 25 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 25 : [Special Extra : Bab 2] Bendera di atas Makan Siang Anak-Anak[edit]

Bagian 1[edit]

“Aku pergi main dulu!”

“Pulanglah saat makan siang!”

“Iya!”


Hari ini cuacanya sangat cerah! Setelah pamitan pada ayah dan ibuku, aku pun pergi ke lapangan di desaku. Keel dan yang lainnya sedang menungguku di sana.


“Hei, akhirnya kau datang juga!”

“Tentu saja.”


Keel menggerak-gerakkan telinga anjing kecilnya, saat dia menungguku. Anak-anak lainnya juga sudah berada di lapangan.


“Mereka bilang, hari ini kita tidak boleh pergi ke pantai karena Sadina tidak ada di sini. Padahal sudah kubilang tidak apa-apa, tapi...”

“Oh, diamlah! Yang penting, hari ini ayo kita main di sawah.”

“Oke!!”


Semuanya mengangguk setuju.


“Baiklah, ayo kita pergi! Jangan jauh-jauh dariku agar kalian tidak tertinggal!”

“Kau ini bicara apa? Aku ini ‘kan pelari yang cepat!”


Kami semua berlomba dan berlarian menuju sawah.


Tapi sungguh, aku ini bisa lari dengan cepat. Lariku mungkin secepat Keel, tapi semuanya selalu bilang Keel yang tercepat. Saat aku mulai berlari, teman-teman yang lain bisa kususul dengan mudah.


“Waah larimu cepat sekali!”

“Kalau kau mengayunkan tanganmu dengan kuat ke belakang, dan membayangkan larimu semakin cepat, maka larimu akan jadi lebih cepat.”


Aku sedang mengajari anak yang larinya lebih lambat, dan saat kami membicarakan hal itu, kami sudah tiba di sawah.

Ayah dan ibuku bilang, aku harus hati-hati karena ada beberapa monster di sini, tapi sampai saat ini, kami belum menemui bahaya yang serius.


“Hari ini, apa yang akan kita lakukan?”

“Ah sial! Aku kalah. Lihat saja, lain kali akan kukalahkan kau!”


Keel menatapku sambil menggerutu. Heh heh. Ini akan jadi hari yang menyenangkan.


“Ayo kita main ‘kucing-kucingan’!”

“Boleh juga!”

“Iya!”


Semuanya setuju dengan usulanku.


“Aku yang jadi kucingnya! Akan kukejar kau!”

“Kau takkan bisa menangkapku!”


Keel sangat tidak suka kalau dia kalah, tapi itulah salah satu kelebihannya.


“Ahahaha!”

“Sial! Tunggu!”


Keel kelihatannya benar-benar kesal. Dia terus saja mengejarku. Dan setelah agak lama main, kami semua pun kelelahan, dan memutuskan untuk beristirahat.


“Sekarang kita mau main apa?”

“Semuanya masih bisa terus main, kan?”

“Hari ini, aku tidak harus bantu-bantu di rumah, jadi aku masih bisa main.”


Apapun alasannya, ada saat-saat teman-teman punya kesibukan masing-masing di rumah. Aku sendiri biasanya membantu ibuku memasak.


“Ayo kita main kucing-kucingan lagi!”

“Tapi aku sangat capek. Aku mau istirahat dulu.”


Keel kelihatannya masih belum merasa lelah. Kurasa semua anak laki-laki memang seperti itu.


“Terserah. Kalau begitu kami akan main tanpa kalian.”

“Iya!”


Semua anak laki-laki berdiri, dan lanjut bermain kucing-kucingan.


“Mereka itu seperti tidak ada capeknya saja.”

“Iya, kau benar!”


Rifana, gadis yang berada di sampingku, juga setuju denganku. Kami berdua duduk sambil melihat mereka bermain.


“Hei, kau lebih suka sama siapa?”

“Hmmm...”


Umur kami sudah mendekati masa-masa gadis, yang mulai berpikiran tentang cinta. Kami mulai berbincang tentang siapa saja yang sedang berpacaran, dan siapa yang kira-kira akan kami nikahi nanti. Tidak lama, kami jadi bersemangat dan larut dalam perbincangan kami.


“Aku ingin menikahi seseorang seperti ayahku!”

“Itu sih curang namanya! Harusnya laki-laki itu seumuran denganmu!”

“Hmm...”


Aku menoleh ke arah para anak laki-laki yang sedang bermain.


Keel mungkin anak yang paling keren di antara mereka semua. Dia juga punya wajah yang tampan. Tapi, aku tidak sepantasnya berpikiran seperti itu. Karena aku tidak percaya diri, dan kesal saat melihat penampilan wajahku di cermin.

Kalau kami pergi ke kota terdekat, akan ada banyak gadis manis di sana. Dan andaikan kami semakin menua, mereka malah jadi lebih kelihatan cantik. Apalagi ras-ku dianggap tidak cukup menarik dari segi kecantikan...

Tapi ayahku itu keren, dan dia juga tampan. Aku ingin bisa menjadi sekeren ayahku. Semuanya juga bilang kalau ibuku wanita yang manis. Dia juga ramah, dan bisa memasak... Aku ingin tahu... Apa saat besar nanti aku akan menjadi cantik sepertinya? Sebelumnya, aku pernah menanyakan itu pada ibuku.

Dia pun tersenyum dan mengangguk. Jadi aku sangat yakin, kalau nanti aku juga akan menjadi cantik. Di waktu yang lain, aku juga bertanya, bagaimana rasanya saat jatuh cinta dengan seorang pria. Apakah berbeda dengan menyayangi keluarga kita?

Ibuku terlihat kebingungan. Kupikir, rasa sayang ibuku terhadap pria, berbeda dengan saat dia menyayangiku.

Bagian 2[edit]

“Ada beberapa jenis rasa suka kepada seseorang. Ibuku pernah bilang, rasa sayangnya terhadap orang lain, berbeda dengan rasa sayangnya padaku.”

“Ya! Aku mengerti. Tapi aku ingin menikahi seseorang seperti... seperti sang Pahlawan Perisai Legendaris!”


Rifana adalah teman baikku dari desa. Sifatnya lebih feminim daripada aku, dan dia suka membicarakan tentang laki-laki dan cinta. Apalagi saat dia membicarakan tentang “Kisah Empat Senjata Suci”, karena diceritakan sang Pahlawan Perisai, begitu ramah terhadap ras Demi-human seperti kami.


“Yah... Aku...”


Namun, tidak lama setelah itu... Sampai saat itu, aku tidak pernah membayangkan hari-hari kami yang damai akan berakhir. Dan aku dipaksa untuk mempercayainya.

Ping!

Suatu suara yang keras, menggema di sepanjang pesawahan. Saat aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, udaranya tiba-tiba bergetar, dibarengi bertiupnya angin kencang.


“Ah!”

“Kyaaah!”

“Apa yang..?”


Kami semua terjatuh, dan menunggu angin kencangnya mereda. Sesaat kemudian, angin itu pun lenyap. Semuanya menjadi hening.


“Apa itu tadi?!”

“Hei, lihat itu.”


Keel menunjuk ke arah langit. Aku juga melihat ke arah yang dia tunjuk, dan terdiam membisu.

Langitnya seperti sudah dirobek oleh sebilah pisau. Dan bentuknya seperti retakan pada tempurung kura-kura. Sangat mengerikan.


“Apa yang harus kita lakukan?”

“Ayah dan ibuku bilang, kalau terjadi apa-apa, kita harus kembali ke desa.”

“Kalau kita tidak memeriksa keanehan ini, kesempatan yang sama takkan datang dua kali.”

“Tidak! Keel!”


Anak-anak yang lain menyeret Keel agar ikut pergi dari sini, dan kami sama-sama pulang ke desa.



“Raphtalia!”

“Ayah!”


Ayahku baru pulang dari kota sebelah. Aku segera berlari mendekatinya.


“Apa kau baik-baik saja? Ayah sangat khawatir!”

“Aku baik-baik saja. Ayah ‘kan bilang, aku harus segera kembali ke desa, kalau sesuatu terjadi.”

“Gadis pintar.”


Dia mengusap kepalaku. Hee hee hee…

Kemudian, ayahku berbicara dengan para orang dewasa yang lain.


“Semuanya, dengar. Aku baru kembali dari menemui pimimpin daerah. Dia bilang, retakan di langit ini, akan mendatangkan banyak monster ke daratan.”

“Apa itu berarti, kita harus melawan monster-monster itu?”

“Sepertinya begitu.”


Terdengar suatu lolongan mengerikan dari retakan di langit. Ekorku langsung bergerak tak terkendali saat aku mendengar lolongan itu. Sangat menakutkan.


“Apa kita akan baik-baik saja?”

“Hm….”

“H…Hei! Kita sedang dalam bahaya! Semua monster itu telah menyerbu desa yang lain! Pemandangan di sana seperti di neraka!”


Seorang pria tua memberitahukan berita itu pada kami. Wajahnya terlihat pucat.


“Tapi...Kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana bisa pasukan monster itu tiba secepat ini?!”

“Pemimpin daerah telah memerintahkan, agar kita mengungsi secepat mungkin! Dia bahkan telah meminta balabantuan dari ibukota!”

“Apa yang terjadi dengannya?”

“Aku tidak tahu, tapi dia memerintahkan kita agar mengungsi sesegera mungkin!”

“Ugh...”


Para orang dewasa terlihat kecewa, selagi mereka berbicara.


“Para pemburu sedang pergi berlayar, dan Sadina juga belum kembali...”

“Ada badai besar juga di lautan. Apa mereka bisa kembali dengan selamat?”


Langitnya terlihat semakin mencekam. Tidak lama, terdengar suara yang keras dan aneh. Semua orang melihat ke arah asal suara itu.


“Makhluk... apa itu?!”


Ada sesuatu di sana, seperti... seperti seseorang yang terbuat dari tulang. Makhluk itu terseok-seok menyeret kakinya, saat mendekat ke arah kami. Dan makhluk itu menggenggam semacam senjata dengan kedua tangan tulangnya, yang memantulkan cahaya redup.

Aku ketakutan saat melihatnya. Sampai rasa takut itu seakan menusuk ke tulangku. Makhluk itu adalah monster. Hanya kata itu yang paling cocok, untuk menggambarkan makhluk itu.


“Uh… aaaaaahhhhhh!”


Orang-orang dewasa mulai berteriak, dan melarikan diri. Semua penduduk desa pun ikut menjerit histeris.

Ayahku melompat ke depan monster itu untuk menghadangnya.


“Aku perintahkan inti terdalam dari kekuatan Cahaya! Habisi monster di depanku! [First Holy] !”


Sebuah bola cahaya sihir yang berkilauan, terbang dari tangan yang ayahku rentangkan, dan merubuhkan monster itu.


“Semuanya, tolong tenanglah dan dengarkan aku. Kita harus mengungsi secepat mungkin. Walaupun suku kita memiliki sihir yang kuat, tapi kita masih takkan mampu menghadapi jumlah monster sebanyak itu.”

“Dia benar.”


Ibuku menyetujui perkataan ayahku sembari melempar sebilah Hatchet[1] pada salah satu prajurit skeleton. Tapi masih ada banyak skeleton yang bergerak menuju desa.

Bagian 3[edit]

“Kami berdua akan menahan pasukan monster itu. Kalian semua, larilah!”

“Uh... baik.”

“Y... Ya.”

“Baiklah, kalau kalian berkata begitu...”


Semuanya menghela napas sebelum mulai melakukan pengungsian. Mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah kota pelabuhan. Walaupun masih ada badai, mereka mungkin masih bisa kabur lewat jalur laut.


“AAAHHHHHH!”


Tapi, kenyataannya tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan.


“Monster-monster sialan!”


Seekor binatang berkepala tiga sedang berlari ke arah desa. Ayah dan ibuku bertarung dengan seluruh kemampuan mereka, tetapi mereka masih kesulitan melawannya. Monster itu terlalu cepat; dan terus menghindari serangan sihir ayah, dan lemparan kapak ibuku.


“Gaahhhh!”


Monster itu dengan beringas mengayunkan cakarnya, untuk menyerang ayahku dan warga desa lain, hingga mereka terlempar ke udara. Mereka berdua jatuh ke tanah, dan beberapa persendian mereka patah.

Huh? Apa? Aku tidak bisa mempercayainya...


“Wh… WHAAAAAAAAA!!”

“AAAAAHHH!”


Para penduduk desa mulai panik, dan berlarian secepat yang mereka bisa. Mereka tidak mengikuti perkataan ayahku, dan berlarian ke arah pantai. Mereka yang masih panik saling berdesakan, dan membuatku terdorong hingga jatuh ke tanah.


“Semuanya, tunggu!”

“Apa kau baik-baik saja, Raphtalia?”


Ibuku mendekatiku dan memelukku. Tapi wajahnya begitu pucat. Anjing berkepala tiga itu terus memburu para penduduk, dan menyerang mereka dengan taring dan cakarnya.


“Aku... takut... bu...”


Ibuku membelai rambutku dengan jari-jarinya.


“Tidak apa-apa. Kita akan baik-baik saja, jangan khawatir.”


“Um... Um...”


Kalau ibuku bilang kita akan baik-baik saja... kami tidak perlu khawatir... kan?


“Kita akan pergi.”


Ayahku mulai berlari, setelah semua penduduk keluar dari desa. Aku dan ibuku terus mengikutinya.

Para penduduk yang sampai di tebing, mulai melompat ke arah lautan. Anjing itu masih mengejar mereka. Lalu...

Anjing itu melompat ke laut, dan melahap semua penduduk yang masih berenang di sana! Air laut pun segera berubah menjadi merah.


“Wahhhhhhh!”

“Sialan, kita terlambat!” seru ayahku.


Ayah dan ibuku berlari dan menyerang anjing itu, untuk melindungi para penduduk yang tersisa. Aku masih bersembunyi di belakang kedua orangtuaku.


“Aaaaah!”


Anjing raksasa berkepala tiga itu melompat dari laut, dan menghadang kami. Monster itu melolong, dan terus menyudutkan kami hingga ke ujung tebing, hingga kami tidak bisa lari lagi.


“Grrr…”


Anjing berkepala tiga itu melompat lagi untuk mencakar kami. Ayahku masih bisa menahan serangan cakar anjing itu dengan sihirnya, tapi darah langsung menyembur dari bahunya.

Huh?


“Suamiku, kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja... Tapi...”


Kami semakin dipojokkan sampai ke ujung tebing. Penduduk yang lain sudah berada di lautan, tapi separuh jumlah penduduk desa sudah... sudah...


“Ahhh...”


Aku sangat takut. Aku terus memeluk punggung ibuku. Semua orang di bawah sana, terus berenang demi bertahan hidup, tapi mereka terus terombang-ambing oleh arus gelombang yang kuat, hingga terbawa ke tengah laut. Mereka hampir tenggelam.


“Kalau kita tidak menghabisinya, monster ini akan melompat ke laut, dan membunuh mereka semua.”

“Aku tahu...”

“Maafkan aku, sayang...”

“Aku tahu hal ini akan terjadi.”


Kemudian kedua orangtuaku menoleh ke arahku.


“Raphtalia.”

“I...iya, bu?”


Ibuku mengelus-elus punggungku untuk menenangkanku.


“Jangan lupa untuk terus tersenyum. Bersikap baiklah kepada orang lain.”

“Ibumu benar. Saat kau tersenyum, mereka pun akan tersenyum juga.”


Ayahku mengusap kepalaku.


“Raphtalia... mulai sekarang, kau akan menemui keadaan yang menyakitkan. Kalau kau tidak berhati-hati, mungkin kau juga tidak akan selamat.”

“Tapi kau tahu, Raphtalia? Kami berdua ingin kau bisa terus bertahan hidup... karena itu, tolong maafkan keegoisan kami.”


Jantungku berdegup kencang... Seakan... Seakan aku takkan pernah bertemu dengan ayah dan ibuku lagi.


“Tidaaak! Ayah! Ibu!”


Aku tidak ingin berpisah dari mereka.

Ibuku mendorongku dengan keras, agar aku jatuh dari tebing menuju lautan. Masih melihat kedua orangtuaku di atas tebing, aku tercebur dan melihat banyak gelembung air yang menyeruak ke permukaan. Aku buru-buru berenang ke permukaan air. Dan... aku melihatnya. Aku melihat anjing berkepala tiga itu, dengan brutal masih menyerang ayah dan ibuku.


“TIDAAAAAAAAAAAK!!”

Bagian 4[edit]

Aku terus melawan arus, tapi tetap terbawa hanyut dan akhirnya pingsan. Saat aku sudah sadar setelah terbawa sampai ke tepi pantai, langitnya sudah berwarna gelap.


“Huff... Huff...”


Di sini juga ada beberapa warga desa yang selamat, tapi penduduk yang mati di laut, ikut terbawa ke sini. Langit pun kembali seperti semula.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku hanya ingin bertemu dengan ayah dan ibuku lagi. Aku segera kembali ke tebing, di mana aku berpisah dari mereka.

Di sekitar sini, ada banyak tulang-belulang yang berserakan. Sepertinya balabantuan dari ibukota, sudah menumpas pasukan monster itu.

Saat aku tiba di sana, aku menemukan robekan daging, dan sisa-sisa tulang monster itu. Para ksatria dan petualang sedang mengangkutnya.

Aku bisa memperkirakan apa yang sudah terjadi di sini.


“Yah, untung saja monster itu sudah cukup sekarat.”

“Kalau tidak, mungkin kita takkan bisa menghabisinya.”


Petualang dan ksatria itu masih berbincang, sampai mereka melihatku.


“Apa-apaan bocah tengik ini? Apa kita harus membawanya?”

“Tunggu. Kita sedang berada di wilayah Demi-human.”

“Kau ini bicara apa? Pemimpin mereka sudah mati, kan?”

“Oh, iyakah?”

“Selain itu, biarkan saja bocah ini. Kita lihat apa yang terjadi nanti.”


Mereka pun berpisah untuk memberiku jalan.

Lalu aku melangkah menuju tebing, dan melihat tubuh ayah dan ibuku yang sekarang. Aku mulai gemetar dan terisak.


“TIDAAAAAAAAAAK!”


Sudah berapa lama sejak kejadian itu?

Dan saat ini, aku tahu yang harus kulakukan, yaitu membuat pemakaman untuk kedua orangtuaku.


“Jangan lupa untuk tersenyum. Bersikap baiklah pada semua orang.”

“Ibumu benar. Saat kau tersenyum, orang lain juga akan ikut tersenyum.”


“Itu benar...”


Kedua orangtuaku telah mengorbankan hidup mereka, untuk melindungi warga desa yang lain, dan telah mempercayakan nasib mereka padaku. Akan kubuktikan... Aku akan bersikap baik pada semuanya! Takkan kusia-siakan pengorbanan mereka...

Aku pun mulai berjalan menuju desa.


“Uhuuuuhh….”

“Papa... Mama …”


Para penduduk yang terbawa hanyut dari laut, sekarang sedang berkumpul. Lebih banyak anak-anak daripada orang dewasanya.


“Apa itu Raphtalia?!”

“Iya.”

“Apa ayah dan ibumu selamat?”


Seorang pria tua tetangga kami, menanyakan itu padaku. Dia terlihat khawatir.

Aku mencoba sekuat mungkin untuk tidak menangis. Aku menggelengkan kepalaku untuk menjawabnya.


“Oh... Aku...”


Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia pasti tahu, kalau ucapannya diteruskan, akan membuatku menangis.


“Tidak apa-apa. Ayah dan ibuku bilang, aku harus menyemangati semua penduduk desa.”

“Mereka berkata begitu? Kau sungguh seorang gadis yang kuat.”

“Hee hee.”


Apa aku tadi tertawa? Tidak apa-apa. Kalau aku menangis, ayah dan ibuku akan memarahiku.


“Semuanya!”


Aku berteriak kepada semua orang, dan anak-anak yang masih menangis, agar memperhatikanku.

“Aku tahu kalian sedang berduka. Aku juga sama. Tapi apakah orangtua kita, saudara kita, dan teman-teman kita yang telah tiada, ingin melihat kita terus menangis seperti ini?”


Semuanya terlihat terbebani mendengar kata-kataku. Raut wajah mereka berubah. Aku menyentuhkan tanganku di dadaku, dan mengambil langkah ke depan.


“Kepada semua orang, yang keluarga dan kerabatnya masih hidup di luar sana, aku ingin bertanya, bagaimana perasaan mereka nanti, saat tiba di desa kita dengan keadaan yang sekarang?”


Itu benar. Ini adalah desa bagi semuanya. Kami tidak bisa begitu saja membiarkan desa ini terbengkalai.

Ayahku, dan pemimpin daerah kami selalu bilang, kalau semua penduduk desa ini seperti satu keluarga. Karena itu, aku akan melakukannya juga. Aku akan menjaga mereka semua, seperti yang selalu dikatakan ayahku.


“Benar, kan? Aku mohon, kita semua agar saling membantu...”


Aku mencoba sebisa mungkin untuk tersenyum.


“Raphtalia…”

“Raphtalia, bukannya kau juga merasa sedih?”

“Kenapa kau malah tersenyum? Ayahmu juga sudah meninggal!”


Senyumanku memudar setelah mendengar seruan mereka. Aku takkan menangis… Kalau aku mulai menangis, aku takkan bisa menghentikannya…


“Itu benar… Aku… tidak… sedih.”


Aku tidak boleh menangis. Kalau aku mulai menangis, takkan ada seorangpun yang bisa menenangkanku.


“Oh…”

“Lihatlah betapa kerasnya gadis ini mencoba tetap tegar! Ayo semuanya. Kalau dia bisa, kita juga pasti bisa!”

“Yaah!”

“Baiklah!”

“Kau benar, Raphtalia! Aku juga akan berusaha sekuat mungkin!”


Keel yang tadinya menangis, sekarang melihat ke arahku dengan penuh semangat.


“Ya!”

Bagian 5[edit]

Pemimpin daerah telah memberikan sebuah bendera pada kami. Bendera itu adalah hadiah, sekaligus lambang dari desa ini. Dan seketika itu, benderanya melayang dan jatuh di depanku, seakan menyetujui perkataanku. Ini adalah sebuah tanda, tanda bahwa ayah dan ibuku terus mengawasi kami.

Aku pungut bendera itu, dan penduduk desa yang lain membawakan sebuah tiang kayu yang panjang. Kami pun memasang benderanya di tiang itu.


“Ini adalah pertanda dari langit! Ayo kita bangun kembali desa kita!”

“Yaaa!”


Dengan begitu, semua penduduk desa memutuskan untuk mencoba membangun kembali desa kami.



“TIDAAAAAAAAAAAAAAK!!!”


Aku langsung terbangun. Aku sedang berada di tenda yang kami pasang bersama. Rumahku telah terbakar, dan rata dengan tanah-seperti berakhirnya kebanyakan rumah kami. Jadi, kami semua tidur bersama di dalam sebuah tenda besar.

Sepertinya tadi aku sedang bermimpi.


“Hei, apa kau dengar suara itu?”


Seorang pria tua segera menghampiriku.


“Raphtalia, tadi kau menjerit.”

“Benarkah?”


Aku harus tersenyum. Kalau tidak, aku akan membuat semua orang khawatir.


“Aku baik-baik saja! Tadi aku cuma bermimpi buruk.”

“Baiklah… kalau begitu… kau jangan terlalu memaksakan diri.”

“Aku tidak apa-apa! Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”


Ayah. Ibu. Aku akan melakukan yang terbaik, aku janji …



Di pagi berikutnya, kami memutuskan untuk sementara membiarkan semua rumah yang benar-benar hancur, dan fokus memperbaiki rumah-rumah yang bisa segera kami tinggali. Kami juga membagi kelompok untuk membuatkan pemakaman, untuk mengubur mereka yang tidak selamat dan tersapu ke tepi pantai.

Para orang dewasa sibuk membangun kembali desa, dan semua anak-anak juga ikut membantu sebisa mereka. Tapi, kami mulai khawatir dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Tidak lama lagi kami akan kelaparan.

Kami telah membahas untuk mencari ikan dengan kapal nelayan, tapi keadaan lautnya masih membahayakan, jadi kami masih menunda rencana itu.


“Apa yang akan kita lakukan …”


Kami menghitung orang-orang yang selamat. Hanya ada seperempat dari keseluruhan penduduk desa yang masih hidup. Walau begitu, salah satu dari beberapa pria tua mengatakan, kalau kita telah berhasil bertahan melebihi harapan mereka.


“Seperti yang Raphtalia bilang. Kita semua masih hidup.”

“Yaah!”


Yang tidak kutahu adalah, kalau sebentar lagi perjuangan kami ini akan dihancurkan dengan kejam.


“Hei! Apa yang kalian lakukan?!”


Ada beberapa pria berpenampilan seperti orang bajingan, yang melewati desa kami, dan menodongkan pedang mereka kepada para orang dewasa.


“Hei!”

“Siapa kalian?!”

“Ahahah! Aku dengar masih ada beberapa Demi-human yang masih hidup di sini. Ternyata memang benar!”

“Yah, dan area ini juga terlihat tidak terjaga. Kelihatannya kita bisa mendapat uang yang cukup banyak dari sini!”


Salah satu pria tua dari desa kami, maju ke depan dan memarahi mereka.


“Pimpinan daerah tidak akan pernah mengampuni perbuatan kalian! Para ksatria juga masih berjaga di daerah ini!”


Para pria kurang ajar itu langsung menyeringai.


“Apa peduli kami kalau pimpinan kalian marah, padahal dia sendiri sudah mati? Dan selain itu…”

*Srrek!* 

Itu terjadi sangat cepat. Aku sampai belum sadar apa yang telah terjadi. Perut pria tua tersebut telah sobek. Salah satu orang jahat itu telah menebas perutnya.


“Apa yang kalian…”

“Ahaha!”

“Kalian masih tidak sadar juga? Kami lah ksatria ibukota yang kalian banggakan!”

“Mereka masih belum sadar juga ya, Bos?”

“Belum! AHAHAHAHAHA!”


Pria tua itu ambruk, dan darahnya segera menggenangi badannya. Dia bahkan tidak sempat berteriak. Genangan darahnya terus menyebar. Dan mengenai kedua kakiku.


“Ah! AHHHHHHHHH!”


Tiba-tiba semuanya menjadi panik. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, karena itu aku langsung lari.


“Jangan biarkan mereka lari! Bunuh semua pria dewasanya! Para wanita dan anak-anaknya bisa kita jual nanti!”


Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya.


“Tidaaaaaak!”

“Diam! Rasakan ini!”

“Ugh….”


Seseorang menjambak rambutku. Rasanya seseorang telah memukulku juga, hingga kesadaranku menghilang.



Satu minggu telah berlalu. Aku terus memimpikan kematian ayah dan ibuku. Orang-orang yang menangkapku, menjualku ke pedagang budak.

Pemilik pertama yang membeliku terlihat baik. Dia ingin menjadikanku sebagai seorang pelayan, tapi tidak sampai satu minggu, dia menjualku lagi. Aku tidak tahu kenapa.

Dan selanjutnya…


“Rasakan ini!”

“Ugh…”


Kenapa? Kenapa mereka memperlakukanku seperti ini?

Pemilikku yang selanjutnya adalah seorang pria gemuk, dan terlihat seperti orang jahat. Dia menahanku di basement[2] sebuah rumah besar, di suatu kota yang tidak kukenal. Ada banyak binatang juga di sini. Dia sepertinya... Ugh... Sepertinya pria ini telah membeli Rifana sebelum membeliku.

Setiap hari, dia akan menggantungku dengan rantai di basement, dan terus memukulku dengan pecut sampai dia puas. Dia terus memecutku sampai aku berdarah. Meski begitu, dia tetap tidak berhenti memecutku. Saat aku memohon padanya untuk berhenti, kutukan budak di dadaku akan langsung menyakitiku. Rasa sakit dari pecutannya membuatku hampir gila.

Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan menahannya demi kedua orangtuaku, dan demi semua penduduk desa yang tidak selamat.

Jadi, aku tidak akan menyerah.

Bagian 6[edit]

“Raphtalia…*Uhuk*.”

“Tenanglah... Jangan khawatir. Kita pasti bisa pulang ke desa.”


Ketika aku bertemu lagi dengan Rifana, kesehatannya sudah memburuk. Meski begitu, pria itu terus saja menyiksanya.


“Ya… Kita… Kita… akan pulang…”


Apa yang pria ini inginkan dari kami? Apa dia merasa senang saat memecuti kami seperti ini?


“Ha! Kenapa kalian masih memimpikan hidup yang lebih baik, hah?”

Plak! 

Dia menamparku lagi, dan bisa kurasakan darahku mengalir di punggungku. Air mataku jatuh bersamaan darah yang terus mengalir.


“Ya! Menjeritlah sekeras mungkin!”

“Ahhh!”


Semenjak hari itu, semuanya jadi semakin buruk. Dia semakin sering menyiksaku.

Untuk sementara, akhirnya aku berhenti disiksa olehnya, dan dengan susah payah merangkak di tanah untuk mendekati Rifana. Pria itu memberi kami semangkuk sup yang baunya menjijikan. Rasanya seperti lumpur. Hanya inilah jatah makanan kami hari ini.


“Huff… Huff…”


Pelan-pelan aku menyuapi Rifana. Aku tidak tahu, kalau itu akan menjadi hari terakhir baginya.

Tidak apa-apa. Kita bisa kembali pulang ke desa. Semuanya sedang menunggu kita di sana.


“Bertahanlah … Aku janji akan menyelamatkanmu.”


Ada banyak jeruji besi yang panjangnya hampir mencapai tanah. Aku tahu kalau aku mengambil batu di dinding, dan menggali tanah di bawah jeruji itu, kami bisa kabur dengan merangkak lewat galian yang kubuat! Harusnya rencanaku ini bisa berhasil.


“Terima kasih.”

“Ya! Kita bisa bertemu dengan mereka lagi!”


Ibu dan ayahku pernah bilang, agar aku menjaga semua penduduk desa. Warga desa lain pun pasti akan memyelamatkan kami semua. Yang harus kita lakukan, adalah terus bertahan hidup.


“Kau… ingat… di hari itu? Raph…ta…lia…”


Tubuh Rifana gemetar. Dia rentangkan tangannya ke arah langit-langit.


“Kau masih ingat… bendera… pemimpin… kita?”

“Ya… aku ingat!”


Aku menggenggam tangannya dengan erat. Aku masih ingat. Bendera itu yang memberi kami harapan. Aku rindu dengan hari-hari damai kita sebelumnya… hari di mana tidak ada kesedihan seperti ini.

Tapi hari-hari itu sekarang tinggal kenangan. Jadi, aku sendiri yang harus mengembalikannya. Semuanya bergantung padaku.

*Uhuk! Uhuk!*



Tiga hari telah berlalu. Aku bisa mendengar langkah kaki pria itu yang semakin mendekat.


“Raphtalia…*Uhuk*!”


Saat-saat mengerikan itu datang lagi. Sepertinya aku sudah ketularan demam Rifana. Tapi aku akan baik-baik saja.

Aku selipkan jerami basah ke dalam lubang yang sedang kugali, di bawah jeruji besi itu.


“Rifana?”

“…”


Rifana tidak menjawabku. Kemudian pria itu membuka pintu kandang tempat Rifana berada, dan menyentuhnya.


“Sepertinya dia sudah mati. Ugh, menyusahkan saja.”


Sambil bergumam sendiri, dia panggul tubuh Rifana di bahunya.

Tubuh Rifana terlihat lunglai, tatapan matanya pun kosong.


“Sial, dan sekarang hampir waktunya dia dikembalikan. Ini sama saja dengan melanggar kontrak!”


Lalu pria itu menendang tubuh Rifana, seperti menendang sebuah mainan.

Saat itu aku belum tahu, sampai aku tahu yang sebenarnya. Sepertinya, ada beberapa tingkatan sosial yang mencari kesenangan dari membeli budak demi-human, dan menyiksa mereka. Dan itulah kami, dua ekor budak yang dibeli, untuk menjadi sasaran perbuatan kejam pria itu.


“Heee?!”


Apa? Apa? Apa yang terjadi pada Rifana? Tidak… Tidak mungkin. Tanganku gemetar saat menyentuhnya.

Tubuhnya dingin, sangat dingin! Aku tidak ingin mempercayainya. Tidak… Rifana!

Aku begitu marah, sedih, takut,… dan putus asa. Ada banyak perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Kenapa? Rifana tidak pernah berbuat salah pada pria itu!


“Ini pasti karena tiap malam kau tidak mau berhenti menjerit! Dia jadi kurang tidur! Ini semua SALAHMU!”

“Tidak… Ugh… *Hiks*... Rifana...”


Pria itu menggantungku dan mulai mencambukku. Dia bahkan mencambukku lebih lama dari biasanya.

Tapi mataku terus tertuju pada Rifana yang terbujur kaku di sana, hingga aku tidak lagi mempedulikan rasa sakit di tubuhku.


“Oh hei, kau selalu menggumamkan tentang suatu desa, kan?”

“…”


Aku tidak ingin menjawabnya. Semua penduduk desa sedang menungguku.


“Sepertinya, tidak lama ini desa itu sudah dihancurkan. Lihat.”


Dia mengulurkan sebuah bola kristal ke arahku. Sebuah sorot cahaya muncul dari bola kristal tersebut, dan menggambarkan keadaan desa di dinding yang disinarinya.

Keadaan desaku lebih parah dari yang sebelumnya. Desaku telah dirusak, dan tidak ada siapapun di sana. Bendera yang kami banggakan juga sudah terkoyak dan terbakar, dan tulang-belulang berserakan di mana-mana.


“Oh iya, aku dengar kau pernah bilang, kalau kau lah orang yang meyakinkan penduduk untuk membangun desamu kembali. Dan nyatanya, mereka kabur dan meninggalkan desamu itu.”

“Ah…”


Pria itu menyeringai. Dia belum pernah melihatku menangis atau bahkan berkedip. Dan dia pasti menikmati keadaanku yang sekarang.


“Ugh…. Ugh… Wahhhh!”

Bagian 7[edit]

Suatu perasaan seakan meledak dalam diriku. Aku tidak sanggup lagi.

Ibu dan ayahku telah mempercayakan desa kami padaku, tapi tiada seorangpun yang tersisa di sana. Apa yang harus kulakukan?

Harapan dan tujuanku benar-benar sudah musnah.


“Menangislah! Berteriaklah sekeras mungkin!”


Rasa perihnya begitu menyakitkan, seakan membuatku gila. Semua mimpi yang menghantuiku setiap malam, mulai merusak pikiranku. Mimpi tentang terakhir kalinya aku melihat kedua orangtuaku. Dan mimpi itu semakin memburuk.

Aku ini gadis nakal, karena tidak menyelamatkan desaku. Para penduduk desa berharap, aku tidak bisa tersenyum lagi. Aku tidak berhak untuk hidup. Mereka terus berbisik: Mati… Mati…

Mereka … benar. Aku takkan mampu tersenyum lagi. Aku tidak ingin tersenyum lagi. Karena... Aku... Aku melanggar janjiku sendiri…


Dan akhirnya pria itu menjualku kembali. Mungkin memang begitu, atau waktu kontrak “permainan siksaannya” telah habis.


“Ini buruk. Bayaranmu ini lebih rendah, dari harga kontrak gadis budak ini. Sial.”

“Ayolah, dia ini hampir mati. Karena kondisinya sudah seperti ini, aku harus mendapat potongan biaya, karena sudah mengembalikannya lebih awal.”

“Aku mengerti. Ya.”


Seorang pria gemuk yang mengenakan pakaian rapi telah membeliku. Dia orang yang berbeda, dengan pedagang budak yang terakhir mengurusku.

Kira-kira seperti apa, orang yang nanti datang dan membeliku?


“Aku yakin, harusnya gadis ini diperlakukan sedikit lebih layak…”


Pedagang budak yang baru itu memberiku obat dan makanan.


“Uhuk! Uhuk!”

“Sepertinya gadis ini takkan hidup lebih lama lagi.”


Pedagang budak itu berkata begitu, sambil menyuruhku masuk ke sebuah kerangkeng. Ternyata… Aku tetap tidak ada harganya di hadapan siapapun.

Ayah dan ibuku telah meninggal, dan desaku telah lenyap. Seakan dunia ini ingin agar aku mati saja.

Ini menyakitkan. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati secepat mungkin.



Aku tidak tahu, sudah berapa lama waktu berlalu. Aku terus memandangi jeruji kerangkengku. Banyak pembeli yang datang dan pergi.

Dan akhirnya …


“Inilah budak termurah yang bisa saya tawarkan pada anda.”


Pedagang budak itu mengantar seorang pemuda menuju kerangkengku.


“Yang sebelah kiri adalah spesies kelinci yang terjangkit wabah genetik. Lalu yang tengah ini spesies rakun yang sering diserang rasa panik. Dan yang kanan adalah seekor lizardman.

“Semuanya kelihatan bermasalah.”


Pemuda itu sedang berunding dengan pedagang budak tersebut. Sesaat pemuda itu menatapku.

Tate no Yuusha Volume 1 Image 4.jpg

Tatapannya sangat tajam, seakan sedang memendam keinginan untuk membunuh. Dia terlihat marah. Tatapannya membuatku takut, hingga tarikan napasku menjadi tidak beraturan.

Kemudian, dia memandangi dua budak lain di dekat kerangkengku. Matanya begitu menakutkan.

Sosok dirinya dipenuhi kebencian, kebencian yang lebih dalam daripada pria yang sering mencambukku. Seakan dia membenci seluruh dunia ini.

Kalau dia membeliku, dalam satu atau dua hari, aku pasti mati …


“Kecantikan wajahnya di bawah rata-rata, dan dia sering panik saat malam tiba. Karena itu, kami cukup kesulitan dalam mengurusnya…”


Apa mereka sedang membicarakanku? Aku tidak tahu pasti. Tapi pada akhirnya pemuda itu membeliku.

Mantra untuk menanamkan kutukan budak selalu terasa sakit. Aku benci itu. Tapi, aku yakin kalau dia adalah tuanku yang terakhir. Karena… aku tidak punya banyak waktu lagi.

Tidak lama setelahnya, tuanku yang baru membelikanku sebilah pisau, dan memerintahkanku untuk membunuh seekor monster. Itu sangat menakutkan, tapi kalau tidak kulakukan, kutukan di dadaku akan menyakitiku.

Kami pun meninggalkan toko senjata, dan perutku mulai bersuara.

Dia pasti akan memarahiku! Aku menggelengkan kepalaku; aku ingin bilang kalau aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa! Karena itu kumohon, jangan marahi aku! Kumohon, jangan cambuk aku!


“Haah...”


Dia hanya mengeluh.

Apa dia marah? Dia hanya berjalan, dan membawaku ke suatu rumah makan. Rasanya aku pernah melihat tempat ini sebelumnya.


“Umm, aku pesan makanan yang termurah di menu, dan buatkan gadis kecil ini, makanan yang sama yang di makan anak itu.”

Apa?!

Aku baru saja memandangi makanan yang dimakan seorang anak di sana. Lalu tuanku ini memesankan makanan yang sama untukku? Aku sendiri tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar.

Bukannya semua orang di luar desaku itu jahat, iya kan?


“K-kenapa?”

“Hm? ...Kau terlihat ingin memakan makanan itu, kan? Atau kau ingin memesan makanan lain?”


Aku pun menggelengkan kepala.


“K-kenapa, kau membolehkanku makan makanan itu?”


Semenjak aku dijadikan budak, tidak ada seorangpun yang memperlakukanku seperti ini.


“Seperti yang kubilang tadi, aku memesannya karena kupikir kau menginginkannya.”

“Tapi…”

“Selain itu, makanlah yang cukup. Kau akan mati kalau terlalu kurus, tahu.”


Mati…? Tentu saja aku akan mati. Aku pasti akan mati… Seperti yang terjadi pada Rifana. Aku akan mati dengan cara yang sama.


“Ini pesanan anda. Terima kasih sudah menunggu.”


Pelayannya membawakan hidangan yang dihiasi, dan menaruhnya depanku. Ada sebuah bendera yang dipasangkan di makanan itu.

Sesuatu yang sebelumnya membuatku iri, sekarang aku mendapatkannya juga.

Aku sempat ragu. Aku yakin saat aku akan memakannya, pemuda itu akan membuang makanan ini ke tanah, dan menertawakanku.


“Kau tidak mau memakannya?”


Dia menatapku dengan kebingungan.


“... Apa aku boleh memakannya?”

“Hah... tidak apa-apa, makanlah.”


Ya. Nanti dia pasti akan membuangnya.

Perlahan aku merentangkan tanganku. Aku segera memandang ke arah tuanku ini. Dia tidak terlihat akan melakukan sesuatu. Lalu kusentuh makanan ini.

Aku menarik bendera kecilnya, dan merasa seolah aku telah menyelesaikan salah satu kewajibanku. Aku merasa tidak membutuhkan apapun lagi, kalau aku terus menggenggam bendera kecil ini.

Rasanya, seakan aku telah kembali ke desaku. Rasanya, bendera kecil ini adalah bendera yang sama, dengan yang telah hilang dari desa kami.

Tate no Yuusha Volume 1 Image 5.jpg

Sembari memakan makananku, aku terus menggenggam erat bendera itu. Makanan ini sangat enak, hingga tak terasa air mataku meleleh saat aku memakannya.

Kalau aku menangis, pemuda ini pasti akan memarahiku. Aku mencoba mengusap air mataku, sebelum dia menyadarinya.

Bagian 8[edit]

“Apa kau suka makanannya?”

“Iya!”


Tidak! Tidak sengaja aku menjawabnya, dan dia tahu kalau aku merasa senang. Dia pasti menghukumku karena bersikap lancang seperti ini.


“Baguslah.”


Hanya itu yang dia katakan. Aku masih tidak mengerti. Aku terus menggenggam erat benderanya. Rasanya bendera ini… berbeda.

Dibandingkan dengan bendera yang pimpinan daerah kami berikan, bendera ini sangat kecil dan tidak berharga, namun bisa mewakili semua hal yang telah hilang dariku. Seakan bendera ini, ingin agar aku mengingat sesuatu yang penting.

Aku pun melihat ke arah pemuda itu. Seperti biasanya, dia terlihat marah, tapi ada sesuatu yang berbeda.

Hal apa yang berbeda itu? Wajah dan suaranya begitu menyeramkan, tapi apa dia ini seorang yang baik hati? Aku terus meragukan banyak hal.

Banyak yang terjadi di hari itu. Dia memberiku obat, dan membawaku pergi ke berbagai macam tempat.

Tapi ada suatu perbedaan yang besar.



Mimpi yang menghantuiku sekarang berbeda.


“Raphtalia…”


Kedua orangtuaku sedang berdiri di atas sebuah tebing.


“Ayah! Ibu!”


Aku berlari sekuat tenaga untuk mengejar mereka. Aku ingin menemui mereka. Aku ingin terus bersama mereka.

Aku tahu. Seharusnya aku tidak begini, tidak di depan mereka, tapi bisa kurasakan air mataku terus mengalir.


“Tidak apa-apa... jangan takut, kau sudah aman sekarang.”

...

“Jangan menangis. Jadilah seorang yang kuat.”

“Huhu… Tapi…”


Aku terus menangis, ayah dan ibuku terus memelukku dan mengusap kepalaku.


“Kami akan selalu bersamamu.”

“Ya. Karena itu, berbahagialah.”

“Tapi…”

“Kau akan baik-baik saja bersamanya…”


Lalu aku terbangun.

Aku tidak percaya. Tuanku yang baru sedang memelukku, dan mengusap kepalaku.

Ternyata, dia bukan orang yang jahat. Dia tidak akan mempermainkanku, dan tidak akan menyakitiku. Dia memang ceroboh dan kasar, tapi dia adalah pria yang baik.

Dia tidak punya uang, tapi dia masih memberiku obat, membelikanku makanan, dan lebih mementingkan perlengkapan untukku daripada dirinya sendiri.

Akhirnya aku tahu dia ini orangnya seperti apa. Tatapan matanya terlihat gelap, dan dipenuhi kebencian dan kesedihan. Dia terlihat kasar, pemarah, dan tidak sopan. Dia begitu menakutkan. Tapi, dia juga memahami penderitaan orang lain, dan sebenarnya, hatinya itu begitu lembut.

Ya, dia lah sosok yang Rifana dan aku rindukan… yaitu sang Pahlawan Perisai.



Pahlawan Perisai membelikanku banyak barang. Aku telah kehilangan banyak hal, tapi sekarang aku mendapatkan banyak hal yang baru.

He hee…

Sang Pahlawan memberiku sebuah tas, dan aku tersenyum setiap dirinya memberikan sesuatu padaku.

Salah satunya, sebuah bola. Lalu sebilah pisau. Dan banyak lagi benda lainnya. Tapi, benda yang paling penting adalah bendera kecil itu. Dan masih banyak benda yang tidak muat disimpan di dalam tasku.

Sekarang aku merasa lebih baik, lebih sehat, dan kuat.


“Ini, makanlah.”

“Iya!”


Rifana, bisakah kau mendengarku? Aku sekarang mendampingi Pahlawan Perisai di setiap pertarungannya. Kau pasti tidak akan percaya.



Aku juga pernah bermimpi... dan itu adalah mimpi yang indah.

Rifana, dia sedang berdiri di depanku. Dia tersenyum. Aku bilang padanya tentang semua yang kualami. Di sana, kami membicarakan banyak hal.


“Raphtalia, bersemangatlah!”

“Iya.”

“Kau sangat beruntung! Bisa bertarung mendampingi Pahlawan Perisai!”

“Heh heh… Kau iri, ya?”

“Ahaha! Cuma sedikit, kok!”


Di dalam mimpiku, wajahnya terlihat tenteram dan bahagia. Dia tersenyum padaku.


“Aku akan terus mengawasimu.”

“Aku tahu.”

“Ayo kita kembali ke desa, tempat bendera kita dikibarkan.”

“Iya! Sampai jumpa di sana!”


Aku harap ayah dan ibuku selalu mengawasiku, di manapun mereka berada. Aku ingin mereka bisa melihatku membangun kembali semuanya.

Aku ingin menjadi kuat, agar bisa menghukum orang-orang jahat yang ingin menyakiti kita.

Dunia ini begitu kejam. Walau dunia ini dipenuhi kejahatan dan kegelapan, aku tidak akan menyerah. Aku tidak ingin kehilangan siapapun lagi.

Aku akan menjadi semakin kuat, cukup kuat untuk melindungi keluargaku, untuk melindungi Rifana. Ya, dan untuk melindungi Tuan Naofumi.

Aku pasti bisa melakukannya. Dan aku pun terus melangkah.

Referensi :[edit]

  1. Hatchet adalah kapak yang sisi lainnya berbentuk logam datar, yang berfungsi seperti palu. (dikutip dari Wikipedia)
  2. Basement adalah ruang bawah tanah dari sebuah bangunan/rumah, yang biasanya dijadikan gudang/penjara.