Tate no Yuusha Jilid 1 Bab 19 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 19 : Ingatan tentang Monster Hitam[edit]

Bagian 1[edit]

00:17

Tinggal 17 menit lagi, hingga bencana selanjutmya yang diramalkan itu muncul. Berita ini harusnya sudah menyebar luas di sekitar ibukota. Sejumlah kompi terdiri dari pasukan ksatria dan petualang, segera mengenakan perlengkapan mereka dan bersiap untuk berangkat, sedangkan para warga sipil bersembunyi dan mengunci diri di rumah masing-masing. Karena aku adalah seorang Pahlawan, aku tidak bisa kabur dari serbuan gelombang bencana karena terikat oleh kekuatan jam pasir. Hal yang sama terjadi juga kepada rekanku; sepertinya nanti Raphtalia akan diteleportasikan bersamaku.


“Waktunya hampir tiba, Raphtalia.”

“Baik!”


Raphtalia mengangguk dengan bersemangat, menurutku jawabannya yang antusias itu cukup aneh, melihat situasi yang akan kita hadapi ini. Baiklah, aku takkan mengeluhkan tentang itu, karena suatu keajaiban Raphtalia bisa bersemangat seperti ini.


“Tuan Naofumi... bolehkah aku bicara denganmu sebentar?”

“Hm? Boleh, apa ada yang kau khawatirkan?”

“Ah, tidak... Entah kenapa aku merasa tersentuh, karena sebentar lagi kita akan bertarung menghadapi gelombang bencana.”


...Kenapa dia menggumamkan hal seperti ini, seakan sebentar lagi dia akan mati? Aku akan melindunginya, karena akan menyakitkan bagiku kalau sampai kehilangan dirinya... Tunggu, ini tidak seperti diriku yang biasanya; ini pasti karena aku terlalu banyak menonton anime dan membaca manga. Walaupun dunia ini mirip dunia game, tetap saja aku tidak bisa menganggapnya begitu. Ini adalah dunia nyata. Dan lihatlah, para Pahlawan brengsek itu mengenakan perlengkapan yang bagus. Aku bahkan tidak tahu kalau zirahku ini cukup kuat atau tidak. Sepertinya akan ada beberapa luka yang menggores badanku. Akan sangat hebat kalau aku hanya terluka saja, karena masih ada kemungkinan aku akan kehilangan nyawa di sini. Jika itu terjadi, para “sampah” di kota ini akan bersukacita saat melihat bangkaiku.

---Akhir yang pantas untuk seorang penjahat.

...Aku harus berhenti berpikiran begitu. Kalau tidak, aku takkan sanggup bertarung. Dan demi bertahan hidup, setidaknya sampai bulan depan.


“Sebenarnya... aku sudah diperbudak sejak terjadinya gelombang bencana pertama...”

“Begitu kah?”


Tentu saja, kupikir ada kemungkinan kecil hal itu bisa terjadi.


“Seperti yang sebelumnya pernah kukatakan, aku tinggal di daerah terpencil negeri ini. Desa Demi-human tempatku dibesarkan, memusatkan kegiatannya pada bercocok tanam dan berkebun; dan desaku juga yang menjadi titik munculnya gelombang pertama.”


[1]Kedua orangtuanya begitu ramah, dan semua orang di desanya hidup dengan damai. Meski begitu, sejumlah ratusan prajurit Skeleton muncul diantara gelombang bencana itu. Pasukan Skeleton itu hanya unggul dalam jumlah saja, jadi para petualang di sekitar desanya mampu menghalau mereka. Tapi selanjutnya, gerombolan Beasts dan Kumbang Raksasa menyerbu dalam jumlah besar. Karena itu, garis pertahanan di sana akhirnya hancur dengan cepat. Kemudian, seekor Cerberus berkepala-tiga dan berwarna hitam pekat, juga muncul di sana. Dan para penduduk desa pun diinjak-injak oleh monster itu, bagaikan terinjaknya bunga yang tak berdaya di alam liar.

Bagian 2[edit]

Selagi desa Raphtalia terputus dari jalan utama, para penduduk mati-matian mencoba melarikan diri. Sayangnya, para monster itu tidak kenal ampun; pasukan monster itu membantai semua orang, seakan pembantaian itu dianggap sebagai ajang olahraga terbesar di dunia. Dan seperti penduduk desa lainnya, kedua orangtua Raphtalia juga membawanya dan lari, hingga mereka sampai di ujung tebing yang mengarah ke lautan. Sadar pelarian diri mereka sia-sia saja, kedua orangtua Raphtalia menatapnya dan tersenyum. Mereka tidak menggunakan waktu yang tersisa itu untuk kabur, tapi mereka memilih mengusap lembut kepala si Raphtalia kecil.


“Raphtalia... mulai sekarang, kau akan menemui pengalaman yang menyakitkan. Mungkin kau juga tidak akan selamat.”

“Tapi, kau tahu, Raphtalia? Kami berdua ingin kau bisa terus bertahan hidup... karena itu, tolong maafkan keegoisan kami.”


Meskipun dia masih sangat muda, Raphtalia kecil bisa merasakan, kalau kedua orangtuanya hanya ingin puteri mereka bisa selamat.


“Tidaak! Ayah! Ibu!”

*brukk!*

Harapan mereka satu-satunya adalah, agar Raphtalia bisa terus bertahan hidup, dengan begitu mereka mendorong Raphtalia hingga jatuh dari atas tebing. Saat dia terjatuh, Raphtalia menyaksikan saat kedua orangtuanya dikoyak dengan brutal oleh pasukan monster ganas itu.

Raphtalia terjatuh ke dalam lautan dengan suara ceburan yang keras, namun ajaibnya dia masih hidup, dan terombang-ambing hingga hanyut ke pesisir pantai.[2] [3]Setelah tersadar, Raphtalia berdiri dan kembali mendatangi ujung tebing untuk mencari kedua orangtuanya. Dan di saat itu, semua monster yang menyerang telah ditumpas oleh para ksatria dan petualang. Melangkah dengan susah payah melewati banyaknya mayat yang tergeletak di sana, akhirnya dia bisa menemukan kedua orangtuanya. Tempat itu dipenuhi genangan darah, dan robekan daging yang berserakan di mana-mana. Tahu bahwa kedua orangtuanya telah meninggal, Raphtalia pun jatuh tersimpuh, bersamaan dengan perasaan yang menyeruak dari dalam dirinya.


“TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK!!!!!”


Kemudian dia terus melangkah tanpa arah dengan isak tangisnya, dan membayangkan kehangatan dari kedua orangtuanya demi lari dari kenyataan ini. Dan sebelum dia menyadarinya, dia sudah dikurung di sudut gelap sebuah tenda sirkus. Tempat itu... seakan seperti neraka. Setiap harinya selalu ada tahanan yang dibeli atau dikembalikan di tempat itu.

Raphtalia juga mengalami hal yang sama. Pada mulanya, mereka berharap bisa menjadikan Raphtalia sebagai seorang pelayan. Seorang bangsawan kaya pernah membelinya, dan mengajarinya banyak hal. Tapi penyakit batuknya itu cukup membuat masalah, ditambah lagi dia selalu menjerit dengan keras di malam hari. Karena itu, keesokan harinya dia sering dipulangkan lagi ke tenda sirkus. Pembeli yang selanjutnya juga mencoba mengajari Raphtalia banyak hal, dan lagi-lagi, hari berikutnya dia dikembalikan ke tenda sirkus itu. Pembeli sebelum diriku adalah orang terkejam, di antara semua orang yang pernah membelinya. Pada suatu malam, mereka membeli Raphtalia, lalu mencambuknya sepanjang malam, dan di pagi hari menjualnya kembali, dengan meninggalkan banyak luka di badannya. Aku tidak sedikitpun terkejut dengan keberadaan orang-orang biadab di negeri ini, yang mencari kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain. Dia sudah hancur oleh penyakitnya, rapuh oleh mimpi buruk yang menghantuinya, dan berkali-kali telah ditinggalkan... saat itulah aku membeli dirinya.[4]


“Kau tahu, aku sangat bahagia karena bisa bertemu dengan seseorang seperti dirimu, Tuan Naofumi.”

“... Yah.”

“Dan dirimu juga yang telah mengajariku cara bertahan hidup.”

“... Yah.”


Tanpa sadar aku menjawab perkataan Raphtalia dengan kata yang sama, seperti sebuah mesin otomatis. Setidaknya, dia tidak tersinggung dengan caraku menjawabnya.


“Karena itulah, kumohon berikan aku kesempatan. Kesempatan untuk melawan gelombang bencana ini.”

“... Yah.”

“Kalau begitu, aku akan melakukan yang terbaik!”

“Ha... ha... berjuanglah dengan seluruh kemampuanmu.”


Meskipun kupikir aku sudah bersikap tanpa perasaan padanya. Walau begitu, yang bisa kutunjukkan malah sikap yang menyedihkan seperti itu.

00:01

Tinggal satu menit lagi. Aku mempersiapkan diriku untuk proses teleportasinya.

00:00
HIIINGGG!

Suara yang memekakkan telinga itu menggema ke seluruh dunia. Dan sesaat setelahnya, penglihatanku mulai meredup, dan pemandangan di sekitarku pun berubah. Aku mungkin sedang “dipindahkan” saat ini.


“Langitnya...”


Berwarna merah gelap yang mengerikan, suatu retakan dimensi telah muncul, dan terus memanjang membelah langit.

“Jadi, ini...”


Saat masih memastikan di mana kami berada sekarang, tiga sosok bayangan dengan cepat melesat melewatiku, diikuti oleh dua belas orang lainnya. Para Pahlawan brengsek itu. Kemudian aku juga mengikuti mereka, karena itulah hal pertama yang terpikir olehku, tapi mereka itu akan pergi kemana? Sembari berlari dengan cepat, aku melihat musuh yang muncul, merayap keluar dan saling berdesakan dari retakan di langit.


“Ini daerah di dekat desa Riyuuto!”


Raphtalia berseru dengan gelisah, setelah memastikan area di sekitarnya.


“Karena ini daerah perkebunan, pasti masih banyak orang yang berada di sini!”

“Tapi bukannya mereka sudah mengungsi-..."


Kemudian tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Kita tidak pernah tahu di mana Gelombang Bencana akan muncul, kan? Kalau begitu, bagaimana bisa kita tahu penduduk pemukiman mana yang harus diungsikan?


“Hei orang-orang bodoh, tunggu!”


Menolak untuk mendengarkanku, ketiga Pahlawan bodoh itu langsung berlari menuju sumber gelombang. Di saat itu juga, sekumpulan monster laba-laba yang telah memisahkan diri dari gelombang, langsung bergerak menuju desa. Tunggu, salah satu dari rombongan pahlawan menembakkan sesuatu mirip peluru suar ke langit, seperti mengisyaratkan suatu pesan. Itu pasti dimaksudkan agar semua kompi ksatria segera datang ke tempat tersebut.


“Tsk! Raphtalia! Ayo kita lindungi desanya!”


Aku sudah banyak dibantu oleh penduduk desa Riyuuto. Aku akan merasakan penyesalan mendalam, kalau mereka sampai terbunuh dalam serbuan gelombang ini.


“BAIK!”


Kami pun segera memisahkan diri dari barisan para pahlawan brengsek itu.

Referensi :[edit]

  1. (Flashback Start 1/2) Naofumi mengingat kembali apa yang diceritakan Raphtalia di Bab 16.
  2. (Flashback End 1/2) Naofumi mengingat kembali apa yang dikatakan Raphtalia di Bab 16.
  3. (Flashback Start 2/2) Naofumi mengingat kembali apa yang diceritakan Raphtalia di Bab 16.
  4. (Flashback End 2/2) Akhir kilas balik Naofumi tentang apa yang diceritakan Raphtalia di Bab 16.