Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah[edit]

"Biar Ibu tebak, jangan-jangan kau punya trauma saat di kelas Tata Boga, ya?"

Sudah kuserahkan makalah untuk mata pelajaran PKK sebagai pengganti absenku saat di kelas Tata Boga, namun entah kenapa aku masih dipanggil ke ruang guru.

Rasanya ini lebih mirip déjà vu saja. Kenapa yang menceramahiku justru Bu Hiratsuka?

"Maaf, Bu, bukannya Ibu ini guru Bahasa Jepang?"

"Ibu merangkap sebagai guru BK di sini. Bu Tsurumi yang memberi wewenang pada Ibu untuk menyelesaikan masalah ini."

Kulihat Bu Tsurumi sedang asyik menyiram bunga penghias di pojok ruangan. Bu Hiratsuka pun sejenak memandang beliau sebelum mengarahkan pandangannya kembali padaku.

"Pertama, Ibu mau dengar alasanmu bolos dari kelas Tata Boga. Jelaskan dengan singkat."

"Yah, saya hanya tak habis pikir kenapa dalam kelas Tata Boga saya mesti kerja berkelompok dengan murid lain..."

"Hikigaya, jawabanmu itu tak masuk akal. Apa sesakit itu kenanganmu saat kerja berkelompok? Atau jangan-jangan tak ada yang mau mengajakmu berkelompok?" Bu Hiratsuka memandangku, berlagak seolah cemas.

"Jelas tidak. Bu Hiratsuka ini bicara apa? Ini kan cuma tentang pelatihan memasak dalam kelas Tata Boga. Artinya, pelatihan semacam ini tak berguna jika diterapkan dalam kehidupan nyata. Contohnya ibu saya. Beliau bisa memasak karena belajar sendiri. Dengan kata lain, memasak adalah hal yang harus dipelajari sendiri! Sebaliknya, menghubungkan antara pelatihan memasak dengan kerja berkelompok adalah hal yang keliru!"

"Hal yang kaubicarakan tadi jelas berbeda dengan yang Ibu maksud."

"Maaf, Bu! Jadi Bu Hiratsuka mau bilang kalau ibu saya salah?! Sungguh keterlaluan! Sudahlah, tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Saya mau keluar!" Jawabku seraya berpaling pergi.

"Hei! Jangan buat seolah Ibu yang jahat di sini, terus kau mencak-mencak tak keruan begitu padahal Ibulah yang harusnya marah!"

...rencanaku gagal, ya? Soalnya Bu Hiratsuka langsung merentangkan lengannya dan menarik bagian belakang kerah bajuku. Untuk beberapa saat wajah kami saling berhadapan, dan beliau menggantung kerahku layaknya mengangkat seekor anak kucing. Sial. Andai saja saat itu kujawab, Salah, toh? Saya ini bodoh banget, ya? Sambil menjulurkan lidah keluar, mungkin saja aku tak bakal jadi begini.

Beliau lalu menghela napas dan menepuk lembar makalahku dengan bagian belakang tangannya.

"Cara Membuat Kari Yang Lezat — untuk bagian ini tak ada masalah. Justru bagian setelah ini yang jadi masalahnya. 1. Potong bawang merah secara melintang, lalu iris tipis dan bumbui. Irisan tipis bawang merah akan mudah meresap dengan bumbu, sama halnya orang awam yang gampang terpengaruh dengan sekitarnya... kenapa hal itu malah kaucampur dengan sarkasme? Harusnya itu kaucampur dengan daging."[1]

"Maaf, Bu, tolong berhenti bermain kata-kata... saya yang mendengarnya pun jadi ikut malu."

"Meski Ibu sudah tak ada niat lagi untuk membacanya. Paling-paling kau sudah tahu kalau Ibu bakal menyuruhmu untuk mengerjakan ulang." Bu Hiratsuka benar-benar terlihat sangar ketika sebatang rokok terhimpit di antara bibirnya.

"Memangnya kau bisa masak?" Tanya Bu Hiratsuka. Ekspresi beliau tampak sedikit kaget sewaktu membalik makalahku.

Pernyataan tersebut sudah terlalu melecehkan. Murid SMA zaman sekarang setidaknya sudah bisa memasak kari sendiri.

"Bisa, dong. Jika mempertimbangkan rencana masa depan, tentu saja saya bisa."

"Jadi maksudmu, kau sudah di umur yang wajar untuk hidup sendiri, begitu?"

"Bukan, bukan itu alasannya."

"Eh?" Tampang beliau seakan ingin bertanya, Lalu, apa?

"Soalnya, memasak adalah keahlian yang wajib dikuasai oleh bapak rumah tangga."

Setelah mendengar jawabku, beliau lalu mengedipkan mata bulatnya yang digarisi dengan maskara itu sekitar dua sampai tiga kali.

"Oh, kau mau jadi bapak rumah tangga, toh?"

"Ya begitu, deh, itu salah satu pilihan..."

"Setidaknya hentikan dulu tatapan mesummu itu selagi kau bicara tentang impian. Kalau mau membahas hal tersebut, harusnya kau menatap dengan mata penuh harap... Ibu cuma mau tahu saja, kok. Memangnya seperti apa sih rencanamu terhadap masa depan?"

Mungkin bukan ide bagus jika aku menjawab, Harusnya Ibu lebih khawatir tentang masa depan Ibu sendiri. Karena itu aku memilih untuk mengalah dengan memberi jawaban logis.

"Yah, saya akan coba berkuliah di perguruan tinggi mana pun yang mau menerima saya."

"Oh, begitu." Bu Hiratsuka mengangguk, isyarat setuju akan jawabanku. "Lantas, selesai kuliah kau mau cari kerja apa?"

"Akan saya cari wanita cantik nan terpandang untuk dinikahi, jadi wanita tersebut bisa selalu mendukung saya hingga akhir hayat nanti."

"Yang Ibu tanya itu kerja! Jawab dengan spesifik!"

"Kan sudah saya bilang: Bapak rumah tangga."

"Kalau seperti itu, hidupmu malah tak jauh beda seperti gigolo! Sebuah cara hidup yang mengerikan untuk dijalani. Mereka menyinggung tentang masalah pernikahan pada pasangan mereka, lalu tanpa disadari mereka sudah tinggal dalam satu rumah, bahkan mereka membuat kunci duplikat dan mulai menaruh barang-barang mereka ke dalam rumah pasangannya. Lalu ketika saatnya mereka berpisah, tanpa tanggung-tanggung mereka ikut membawa pergi perabotan pasangannya seperti gelandangan yang sedang menjarah toko!" Cerocos Bu Hiratsuka, yang tanpa sadar menguak rahasianya sendiri dengan begitu detail. Sambil menggebu-gebu beliau menceritakan hal tersebut, air matanya pun berlinang.

Sungguh kasihan aku melihat beliau... sampai-sampai aku ingin menghiburnya.

"Tenang saja, Bu! Saya takkan mungkin seperti itu. Saya tetap akan mengurus segala urusan rumah tangga dan menjadi gigolo terbaik yang pernah ada!"

"Teori Superstring gila macam apa itu?!"[2]

Saat mendengar cita-citaku yang telah dilecehkan sebegitu hinanya, diriku merasa seolah dipaksa berada di ujung perbatasan. Impianku sudah seperti di ambang kehancuran, karena itu aku mencoba berargumen untuk membela diri.

"Kedengarannya malah enggak enak kalau Ibu menyebut saya gigolo, soalnya kan, menjadi bapak rumah tangga juga enggak buruk-buruk amat."

"Hmm..." Bu Hiratsuka menatap tajam ke arahku sambil bersandar pada kursinya yang berdecit. Sikap tubuh beliau seakan berkata, Baiklah, kemukakan pendapatmu.

"Berkat kehidupan masyarakat yang telah mengakui kesetaraan gender seperti sekarang, sebuah hal yang wajar jika kaum wanita sudah membuat kemajuan di dalamnya. Bu Hiratsuka sampai bisa berprofesi sebagai guru begini adalah bukti nyata dari hal tersebut."

"...yah, Ibu pikir kau benar."

Kurasa aku berhasil menarik perhatian beliau. Berarti aku kini hanya harus lanjut bicara saja.

"Meski begitu, hanya butuh matematika sederhana untuk mengetahui fakta bahwa besarnya jumlah wanita yang memasuki dunia kerja ternyata berbanding lurus dengan jumlah pria yang kehilangan pekerjaan. Maksud saya, bukankah jumlah lapangan kerja akan selalu terbatas?"

"Betul..."

"Ambil contoh, ada sebuah perusahaan yang lima puluh tahun lalu memiliki tenaga kerja yang sepenuhnya diisi oleh seratus orang pria. Jika kemudian lima puluh orang wanita dipekerjakan di perusahaan tersebut, berarti lima puluh orang pria sisanya harus mencari pekerjaan di tempat lain. Namun itu hanyalah perhitungan yang benar-benar sederhana. Bila Ibu mempertimbangkan kemerosotan ekonomi yang terjadi seperti saat sekarang, maka hanya masalah waktu hingga para tenaga kerja pria jatuh dalam masa kemunduran."

Bu Hiratsuka merenung sembari menggaruk dagunya sewaktu mendengar argumenku.

"Lanjutkan."

"Bagi pihak perusahaan sendiri, yang ada justru mereka mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Semua ini akibat dari meluasnya penggunaan komputer dan berkembangnya Internet yang memungkinkan sebuah efisiensi kerja teroptimal dalam rangka meningkatkan tingkat efisiensi per kapita secara besar-besaran. Jika Ibu bertanya pada masyarakat tentang pendapat mereka, mungkin Ibu akan menemukan jawaban semacam, Memang tak ada salahnya jika kau bekerja keras, tapi itu malah merepotkan... kemudian, hal-hal seperti istilah, saling berbagi tugas kerja pun mulai bermunculan. Yah, kurang lebih seperti itu, deh."

"Ya, pendapat itu bisa diterima."

"Karena peralatan rumah tangga sudah semakin jauh berkembang dan juga lebih beraneka ragam, alhasil, takkan jadi masalah walau siapa pun yang menggunakannya. Bahkan kaum pria dapat melakukan berbagai pekerjaan rumah dengan baik."

"Eh, tunggu sebentar." Potong Bu Hiratsuka saat kujelaskan argumenku dengan penuh semangat tadi. Beliau lalu sedikit berdeham dan langsung menatap ke arahku. "Memang cukup sulit untuk tahu cocok atau tidaknya suatu hal, itu sebabnya... hal tersebut tak selalu berjalan sesuai dengan keinginanmu..."

"Yah, mungkin itu hanya berlaku bagi Ibu."

[Keadaan hening seketika.]

"...apa?" Kursi yang sempat beliau duduki tadi mendadak berputar sewaktu beliau mendaratkan tendangannya di pergelangan kakiku. Sakitnya bukan main. Setelah itu, tatapan geram beliau tertuju ke arahku. Aku kemudian lanjut berbicara untuk memperjelas maksud perkataanku sebelumnya.

"Ja-jadi intinya! Sewaktu Ibu memikirkan bagaimana beratnya membangun masyarakat yang ternyata di dalamnya ada orang yang bisa sukses tanpa bekerja, maka akan terasa konyol dan salah kalau ada yang terus-menerus menggerutu tentang pekerjaan atau mengeluh karena tak cukupnya lapangan kerja yang tersedia!"

Kesimpulan yang sangat tepat. Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi. Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi.

"...benar-benar, deh. Kau memang benar-benar sudah busuk." Bu Hiratsuka lalu menghela napas panjang. Kemudian, segera setelahnya, beliau menyengir dan tertawa kecil seakan baru terpikir sesuatu.

"Andai saja ada anak perempuan yang pernah menawarkanmu masakan buatannya sendiri, Ibu yakin kau akan mengubah cara pikirmu yang sudah busuk itu..."

Bersamaan dengan itu, Bu Hiratsuka lalu berdiri dan mulai menarik bahuku menuju pintu.

"Tu-tunggu dulu! Ibu ini mau apa?! Aduh-duh! Sakit, Bu!"

"Kembalilah kemari saat kau sudah belajar tentang martabat seorang tenaga kerja di Klub Layanan Sosial." Kemudian, dengan kuncian jepit pada bahuku, beliau lalu mengekang tubuh ini dengan sekuat tenaga dan menarikku keluar pintu.

Baru saja aku hendak berbalik dan mengeluh, tahu-tahu pintu sudah dibanting dengan keras. Kurasa itu artinya, Segala bentuk keberatan, bantahan, protes maupun keluhan takkan Ibu terima.

Saat-saat itu rasanya bagai diriku habis didepak dari sekolah saja, bahuku terasa begitu nyeri sewaktu Bu Hiratsuka menguncinya... bila saja waktu itu aku mencoba melarikan diri, mungkin aku bakal dihabisi.

Orang yang mengekang tubuhku dengan gerak refleks cepat dan terukur seperti tadi adalah makhluk yang benar-benar mengerikan.

Dan tanpa menyisakan pilihan, kuputuskan untuk datang ke klub yang mengatasnamakan Layanan Sosial itu, yang menurut pengamatanku, salah satu kegiatannya adalah memecahkan teka-teki. Walau disebut sebagai sebuah klub, namun aku tak pernah tahu seperti apa kegiatan utama klub tersebut. Ditambah lagi, sosok ketua klubnya sendiri pun jauh lebih misterius. Sebenarnya ada apa sih dengan perempuan itu?


— II —


Seperti biasa, Yukinoshita sedang asyik membaca bukunya.

Setelah saling bertukar salam, aku bergerak sedikit menjauh, kutarik sebuah kursi, kemudian duduk. Lalu kuambil sebuah buku dari dalam tasku.

Yang ada sekarang, Klub Layanan Sosial sudah berubah menjadi Klub Membaca Untuk Kawula Muda.[3] Tapi kesampingkan dulu leluconnya... memangnya kegiatan apa yang pernah dilakukan klub ini? Lalu sebenarnya bagaimana kelanjutan dari pertandingan yang harus kami ikuti tempo hari?

Tak disangka, suara ketukan pintu menjawab pertanyaanku. Yukinoshita tertahan sewaktu membalik lembar bukunya, dengan sigap ia menaruh pembatas ke dalamnya.

"Silakan masuk." Jawabnya seraya mengahadap pintu.

"Pe-permisi." Suara itu terdengar sedikit gelisah... gugup, mungkin? Pintu hanya bergeser sedikit, lalu seorang perempuan menyelipkan tubuhnya melalui celah kecil itu. Pasti ia tak mau jika sampai ada orang yang melihatnya masuk ke tempat ini.

Rambut coklatnya yang ikal dan sepanjang bahu itu berayun ketika ia berjalan. Tatapannya cemas menjelajahi sekitar ruangan. Lalu ketika pandangannya tertuju padaku, ia terhenyak.

...memangnya aku ini apa? Monster?

"Ko-kok ada Hikki di sini?!"

"...sebenarnya aku bagian dari klub ini."

Atau harusnya aku bilang saja, Kenapa kau memanggilku Hikki? Lalu yang terpenting, perempuan ini siapa?

Jujur, aku sungguh tak tahu, namun dari penampilannya, ia tampak seperti perempuan gaul kebanyakan — perempuan norak yang heboh di masa remajanya. Aku sering melihat perempuan sejenis ini: Rok pendek, tiga kancing blus yang terbuka, rambut yang disemir pirang, dan kilauan kalung dengan liontin hati yang sengaja ia perlihatkan di sekitar dadanya. Penampilan tersebut benar-benar melanggar aturan sekolah.

Aku tak punya urusan dengan perempuan semacam itu. Nyatanya, aku memang tak punya urusan dengan perempuan mana pun.

Meski begitu, sikapnya menunjukkan seolah ia ada di lingkungan yang mengenalku. Aku ragu apakah tak apa jika kubilang, Maaf, kau ini siapa, ya?

Aku juga menyadari kalau pita yang tergantung di dadanya itu ternyata berwarna merah. Di sekolah kami, setiap kelas dapat dikenali lewat warna pitanya. Pita berwarna merah menandakan kalau ia duduk di kelas 2 sama sepertiku.

...bukan berarti aku menyadari itu karena aku menatap dadanya. Soalnya jalur pandangku saat itu sedang tertuju ke sana... lagi pula, dadanya juga cukup besar, sih...

"Baiklah, untuk sementara duduk saja dulu." Dengan santai kutarik sebuah kursi dan mempersilakannya duduk. Perlakuan sopanku ini bukan bermaksud untuk menutupi rasa bersalah tadi. Wajar jika aku ingin memberi kesan baik padanya lewat sikap tulusku. Aku ini lelaki terhormat. Itu semua sudah tampak dari cara berpakaianku.

"Te-terima kasih..." Ia tampak kebingungan saat menanggapi tawaranku dan perlahan mulai duduk.

Yukinoshita yang duduk di hadapannya, mulai melakukan pendekatan. "Yui Yuigahama, bukan?"

"Ka-kau mengenalku?"

Si Yui Yuigahama ini langsung merasa senang, seakan-akan ada status tersendiri bagi orang-orang yang dikenali Yukinoshita.

"Kau pasti banyak tahu, ya... jangan-jangan kau tahu nama semua orang di sekolah ini?" Tanyaku.

"Tidak juga. Aku tak tahu kalau kau sekolah di sini."

"Begitu, toh..."

"Jangan berkecil hati; itu salahku. Akulah yang tak menyadari lemahnya hawa keberadaanmu, lagi pula, tak ada niat bagiku untuk berharap agar perhatianku tak tertuju padamu. Itu semua hanya karena lemahnya pikiranku saja."

"Jadi maksud dari kata-kata tadi hanya untuk membesarkan hatiku, begitu? Cara menghibur yang payah. Ujung-ujungnya, kau juga memberi kesimpulan kalau semua itu salahku."

"Aku tak bermaksud menghiburmu. Aku memang sedang menyindirmu." Ucap Yukinoshita sambil berpaling seraya mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Kelihatannya... klub ini menyenangkan." Ujar Yuigahama dengan tatapan berbinar yang tertuju ke arah kami berdua.

Perempuan ini... pikirannya pasti hanya dipenuhi padang bunga matahari dan aster saja.

"Komentar barusan sama sekali tak mengenakkan... di sisi lain, kesalahpahamanmu itu benar-benar mengganggu." Tatapan dingin Yukinoshita membuat gugup Yuigahama.

"Oh, bukan, bagaimana bilangnya, ya?" Ia melambaikan tangannya tanda menyangkal. "Aku hanya berpikir sikap kalian berdua begitu alami! Eng, maksudku, Hikki jadi berbeda sekali dengan yang di kelas. Ternyata ia bisa bicara panjang lebar."

"Jelas aku bisa bicara. Dasar kau ini..." Memangnya aku tampak seperti orang yang punya keterbatasan dalam berkomunikasi, apa?

"Oh, iya benar. Yuigahama juga duduk di kelas F."

"Hah, yang benar?" Tanyaku.

"Jangan-jangan kau memang tak pernah tahu, ya?" Yukinoshita balik bertanya.

Yuigahama tampak terkejut oleh ucapan Yukinoshita.

Sial.

Tak ada yang paham bagaimana sakitnya tak dikenali oleh teman sekelas lebih dari aku. Karenanya, sebelum ia ikut merasakan sakit yang sama, kucoba untuk menutupi salah paham tadi.

"Te-tentu saja aku tahu."

"...lalu kenapa kau memalingkan mata?" Tanya Yukinoshita.

Yuigahama kemudian menatapku dengan pandangan sinis. "Bukannya itu yang membuatmu jadi tak punya teman, Hikki? Maksudku, tingkahmu aneh dan itu rasanya menjijikkan."

Kini aku ingat perempuan sinis ini. Tentu saja, para perempuan lain di kelasku juga memandang hina diriku. Pasti ia salah satu dari kelompok yang sering bergerombol di sekitar Klub Sepak Bola.

Apa-apaan itu? Berarti ia salah satu musuhku, dong? Percuma saja tadi aku bersikap baik padanya.

"...dasar bispak."[4] Tanpa sengaja aku mengumpat.

YahariLoveCom v1-085.png

"Apa? Siapa yang kausebut bispak?!" Yuigahama spontan berseru. "Aku ini masih pera— aaahhh! Lupakan!" Wajahnya langsung memerah dan tangannya bolak-balik melambai, seakan berusaha menarik kembali kata-katanya. Dasar plinplan.

Yukinoshita mulai bicara, seolah ingin meredakan kepanikan Yuigahama. "Itu bukan hal yang memalukan. Di usia kita ini, jika masih pera—"

"A-aaahhh, berhenti! Kau ini bicara apa?! Untuk ukuran anak kelas 2 SMA, itu jelas memalukan! Yukinoshita, di mana sisi kewanitaanmu?!"[5]

"...hal yang tak penting."

Buset. Entah bagaimana, tapi Yukinoshita baru saja meningkatkan tingkat kesinisannya beratus kali lipat.

"Biar kau bilang begitu, kata kewanitaan justru semakin terdengar bispak bagiku." Tambahku.

"Kau berkata begitu lagi! Mengatai orang lain bispak itu enggak sopan, tahu! Hikki, kau menjijikkan!" Yuigahama lalu menampakkan wajah geram mengejek dan melihatku dengan mata berkaca-kaca.

"Mengataimu bispak tak ada hubungannya dengan menjijikkannya diriku. Dan jangan memanggilku Hikki."

Soalnya panggilan itu terdengar seperti hikikomori, 'kan?[6] ...oh, pasti ia juga bermaksud menyindirku. Itu pasti semacam nama ejekan buatku yang beredar di kelas.

Kejam sekali, 'kan? Sampai-sampai aku ingin menangis mendengarnya.

Bergosip di belakang orang itu enggak baik.

Itu sebabnya aku langsung berkata blakblakan dengan suara lantang. Jika suaraku tak terdengar, maka perkataanku ini tak ada efeknya!

"Dasar bispak."

"Ka-kau! Menjengkelkan! Benar-benar menjijikkan! Kenapa tak mati saja sana?!"

Padahal sudah bersikap sopan, yang ada, aku malah jadi bersikap keras begini, bahkan aku terpaksa bungkam setelah mendengar ucapannya.

Di dunia ini ada banyak kata yang harusnya tak boleh diucapkan begitu saja, terutama yang menyangkut nyawa manusia. Jika belum siap memikul tanggung jawab atas nyawa, maka seseorang tak ada hak untuk berkata demikian.

Sejenak keheningan berlalu, dengan maksud menegurnya, kulontarkan tanggapan serius dengan nada menggebu-gebu.

"Sekali lagi kaubilang mati saja atau kubunuh kau seenak udelmu, 'kan kucincang kau."

"Ah... ma-maaf, bukan maksud... eh, apa?! Kau barusan bilang begitu! Kau barusan sungguh-sungguh berkata ingin membunuhku!"

Yuigahama mungkin terlambat sadar, ternyata ia memang orang yang plinplan. Meski begitu, aku sempat terkejut. Ia terlihat seperti perempuan yang bisa meminta maaf dengan sopan.

Ia tampak berbeda dari penampilan yang dikesankannya. Aku sempat yakin kalau ia sama saja dengan para gadis di kelompoknya, para lelaki di Klub Sepak Bola dan semua orang di sekitarnya. Awalnya kupikir, di kepalanya itu hanya berisi hal-hal seperti yang ada di dalam novel karya Ryuu Murakami,[7] yang selalu dipenuhi seks, narkoba dan hal bejat lainnya.

Yuigahama lalu menghela napas. Bersikap terlalu aktif pasti membuatnya capek.

"Eng, begini. tadi aku sempat mendengarnya dari Bu Hiratsuka, tapi... katanya klub ini bisa mengabulkan keinginan para murid, ya?" Yuigahama memecah keheningan sesaat.

"Masa, sih?" Aku malah yakin kalau ini hanya klub membaca yang tak ada habisnya.

Yukinoshita benar-benar mengabaikan pertanyaanku dan justru menjawab pertanyaan Yuigahama.

"Tidak juga. Hakikatnya, tujuan klub ini terletak pada cara memberi pertolongan bagi orang lain. Terkabul atau tidaknya keinginanmu tergantung dari dirimu sendiri." Tanggapan Yukinoshita tampak dingin dan penuh penyangkalan.

"Bedanya di mana?" Tanya Yuigahama dengan wajah penuh ragu. Sebenarnya itulah yang ingin kutanyakan tadi.

"Apakah kau akan memberi ikan pada orang kelaparan atau mengajarinya cara menangkap ikan? Di situlah letak perbedaannya. Intinya, seorang sukarelawan tak memberi hasil melainkan menyediakan cara. Kurasa, mendorong seseorang untuk mandiri adalah jawaban yang paling tepat."

Pidatonya barusan persis seperti yang termuat pada buku nilai moral, sebuah prinsip tanpa arti yang sering digaungkan di berbagai sekolah — Kegiatan klub akan memberi kesempatan pada para murid untuk mempertunjukkan kemampuannya dalam hal kemandirian sebagaimana murid lainnya. Begitulah pemahaman baruku mengenai sebuah kegiatan klub. Dan, yah, Bu Hiratsuka juga sempat bicara mengenai pekerjaan, itu artinya, klub pun ikut berjuang demi kepentingan murid.

"Wah, hebat banget!" Seru Yuigahama dengan tatapan yang seakan berkata, Kau sudah membuka mataku, aku jadi mengerti sekarang! Aku sedikit cemas kalau di masa depan nanti otaknya mungkin bakal dicuci oleh sekte pemuja setan.

Penjelasan Yukinoshita tadi tak punya dasar ilmiah, apalagi untuk perempuan berdada besar seperti Yuigahama ini, pastinya sulit untuk paham... setidaknya itu anggapan yang berkembang di masyarakat, namun jika ditanya, dengan yakin akan kujawab kalau perempuan ini adalah salah satu buktinya.

Di sisi lain... Yukinoshita punya kecerdasan mumpuni, akal sehat yang tak tertandingi, juga dada yang rata seperti tembok.

"Aku tak bisa menjanjikan kalau keinginanmu dapat terkabul, tapi sebisa mungkin aku akan membantumu."

Yuigahama lalu mulai bicara seakan baru teringat tujuannya datang ke tempat ini.

"Eng, begini! Aku mau coba membuat kue kering..." Ujar Yuigahama sembari menatapku.

Aku ini bukan kue kering, tahu. Sebenarnya aku tahu kalau anak-anak di kelas memperlakukanku layaknya angin lalu, meski terdengar sama, namun artinya berbeda.[8]

"Hikigaya." Yukinoshita lalu mengarahkan wajahnya ke lorong sambil menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Pergi sana. Padahal ia bisa saja berkata baik-baik. Seperti, Kau mengganggu pemandangan, jadi bisa tidak, kau pergi dari sini? Aku akan menghargainya andai kau tak pernah kembali lagi kemari.

Jika ia sedang ingin berbicang mengenai masalah perempuan, maka apa boleh buat. Memang ada hal tertentu di dunia ini yang hanya bisa diperbincangkan antar sesama perempuan saja. Ambil contoh saat mata pelajaran Penjaskes, yang di dalamnya ada hal-hal seperti, Lelaki dilarang masuk, Ruang kelas sedang digunakan untuk mata pelajaran khusus perempuan. Jumlah contohnya pun cukup banyak.

Kira-kira itu mata pelajaran yang seperti apa, ya? Hal-hal yang begitu itu masih mengusik pikiranku sampai sekarang.

"...aku mau beli Sportop dulu."[9]

Aku harus menunjukkan kalau aku orang yang sangat pengertian, bisa membaca situasi dan bertindak tanpa perlu pamer. Andai aku seorang perempuan, pasti aku sudah jatuh cinta dengan diriku sendiri.

Seraya tanganku menempel ke pintu untuk pergi keluar, Yukinoshita memanggilku. Mungkinkah ia punya perasaan yang ingin disampaikannya padaku?

"Aku titip Yasai Seikatsu 100 Strawberry Mix, ya."[10]

Ternyata ia sudah terbiasa menyuruh orang seenak dengkulnya... dasar Yukinoshita. Perempuan ini memang sulit ditebak.


— II —


Tak butuh waktu sampai sepuluh menit untuk menuju lantai satu paviliun lalu kembali lagi ke lantai tiga. Bila aku berjalan dengan santai dan tak tergesa-gesa, mungkin pembicaraan mereka sudah selesai duluan sebelum aku datang.

Tak masalah seperti apa orangnya; yang jelas Yuigahama adalah klien pertama kami. Dengan kata lain, kedatangannya adalah tanda dimulainya pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita.

Yah, aku juga tak begitu ingin menang, kok. Jadi bukan masalah kalau aku hanya berfokus pada meminimalkan luka saja.

Kantin sekolah punya mesin minuman mencurigakan yang berada di luar gedung. Mesin itu menjual beberapa minuman bersoda aneh dalam kemasan kotak yang jarang dijual di toko-toko pada umumnya. Tampilan minuman tersebut sangat bagus untuk ukuran minuman bermerek tiruan, itu sebabnya aku jadi tertarik.

Yang membuatku tertarik adalah minuman bersoda yang bermerek Sportop. Aromanya mirip seperti permen biasa dan komposisinya mengikuti tren yang sedang marak saat ini, nol kalori dan bebas gula. Rasanya pun cukup enak.

Saat kumasukkan dua koin bernilai Rp. 10.000 ke dalam mesin minuman, terdengar suara menderu layaknya sebuah kapal induk udara, yang kemudian menjatuhkan Yasai Seikatsu serta Sportop yang tadi kupilih. Setelahnya, kembali kumasukkan koin bernilai Rp. 10.000 dan menekan tombol Otoko no Café au Lait.

Pasti terasa aneh jika di antara tiga orang yang berkumpul, hanya dua orang saja yang menenggak minuman. Karena alasan itu, kuputuskan untuk membeli lagi minuman buat Yuigahama.

Biaya yang sudah kukeluarkan untuk minuman-minuman ini berjumlah Rp. 30.000, itu artinya, aku sudah menghabiskan separuh dari uang sanguku. Bangkrut, deh.


— II —


"Lambat sekali." Ucap Yukinoshita sambil merebut Yasai Seikatsu dari tanganku. Ia lalu menusuk minuman tersebut dengan sedotan dan mulai meminumnya. Hanya tinggal Sportop dan Otoko no Café au Lait saja yang tersisa.

Tampaknya Yuigahama sadar kalau Otoko no Café au Lait ini untuknya.

"...oh, iya." Katanya, sembari mengambil uang senilai Rp. 10.000 dari dalam dompetnya yang mirip kantung koin.

"Ah, enggak usah."

Maksudku, Yukinoshita saja tak mengganti uangku, lagi pula, aku membelinya atas dasar kemauanku sendiri. Walau mungkin cukup wajar jika aku menerima uang dari Yukinoshita, namun untuk Yuigahama, aku tak punya hak untuk menerima uang darinya. Jadi daripada aku mengambil uang Rp. 10.000 yang dipegangnya itu, lebih baik kuserahkan saja Otoko no Café au Lait ini langsung ke tangannya.

"Ta-tapi aku masih belum mengganti uangmu!" Yuigahama bersikeras menyodorkan uangnya padaku. Pasti akan terasa mengganggu bila terus memperdebatkan masalah tersebut, karena itu aku menjauh lalu duduk di dekat Yukinoshita.

Yuigahama tampak sedikit berat hati saat menaruh kembali uangnya.

"...terima kasih." Ucapnya dengan suara pelan, lalu tersenyum senang sambil malu-malu menggenggam Otoko no Café au Lait itu dengan kedua tangannya.

Tentu itu adalah ucapan terima kasih yang paling berkesan yang pernah kuterima sepanjang hidupku. Ucapan itu memang hanya bernilai Rp. 10.000; tapi bisa dibilang kalau ia membayarku lebih dengan senyum di wajahnya tadi.

"Pembicaraan kalian sudah selesai?" Dengan rasa puas, kucoba membuat Yukinoshita untuk ikut memberikan apresiasi yang semestinya kudapatkan.

"Sudah. Berkat tak adanya dirimu, pembicaraan kami bisa berjalan dengan lancar. Jadi, terima kasih."

Dan tentunya itu adalah ucapan terima kasih yang paling tak berkesan yang pernah kuterima sepanjang hidupku.

"...oh, baguslah. Jadi, apa yang mau kalian lakukan sekarang?"

"Kami mau ke ruang PKK. Kau juga harus ikut."

"Ruang PKK?"

Itu adalah ruang siksaan yang mengatasnamakan kelas Tata Boga, di mana setiap jam pelajarannya harus membentuk kelompok yang anggotanya dipilih sendiri oleh para murid. Itu memang ruang siksaan. Di tempat itu pun terdapat bermacam pisau juga tempat pembakaran. Ruang yang memang sangat berbahaya dan harusnya tak sembarang orang boleh masuk ke sana.

"Lalu, mau apa kita di sana?"

Selain kelas Senam dan karyawisata, kelas Tata Boga adalah satu dari tiga kegiatan sekolah yang dikenal paling bisa menimbulkan trauma. Tak mungkin ada penyendiri yang benar-benar bisa merasa senang akan tiga hal tersebut. Maksudku, bayangkanlah sekelompok orang-orang yang dengan senangnya mengobrol satu sama lain dan saling mengakrabkan diri di antara sesama mereka... lalu bayangkan keheningan yang mendadak muncul ketika aku mencoba bergabung di kelompok tersebut... ya, rasanya sungguh tak tertahankan.

"Kue kering... aku mau membuat kue kering."

"Hah? Kue kering?" Aku tak mengerti yang ia ucapkan, makanya aku hanya bisa menjawab seperti tadi.

"Rupanya Yuigahama ingin membuat kue kering buatannya sendiri untuk diberikan pada seseorang. Namun, karena tak percaya diri dengan kemampuannya, makanya ia meminta bantuan kita. Begitulah permintaannya." Jelas Yukinoshita, yang langsung menyingkirkan keraguanku.

"Kenapa kita juga harus ikut-ikutan bantu? ...minta saja bantuan sama teman-temanmu sana."

"Eng... ya-yah, soalnya... aku enggak mau jika mereka sampai tahu, bisa-bisa aku jadi bahan ejekan bila mereka tahu tentang hal ini... mana bisa mereka memaklumi hal yang serius begini..." Tatapan tajam Yuigahama terarah kepadaku saat ia menjawabnya.

Kuhela napas barang sebentar.

Jujur, yang namanya masalah asmara itu tak mudah untuk diatasi. Tak sekadar masalah siapa suka sama siapa, bagiku menghafal sebuah kosakata justru lebih bermanfaat. Semestinya, hal semacam membantu mengatasi masalah asmara seorang gadis bukanlah sesuatu yang wajar. Dan, yah, aku pun tak begitu tertarik dengan kisah asmara, apalagi memikirkannya.

Tapi kupikir-pikir lagi... tentang pembicaraan serius yang mereka perbincangkan sebelumnya... sudah pasti itu tentang masalah tadi...

Ya ampun.

Sejujurnya, bila ada orang yang sedang punya sesuatu mengenai masalah asmara, yang bisa kita lakukan hanyalah berkata: Jangan menyerah! Semua pasti akan berjalan lancar, kok! Dan jika akhirnya tak berjalan lancar, maka kita hanya tinggal berkata: Ternyata orang itu memang benar-benar berengsek!

"Huh." Desahku saat menatap mata Yuigahama.

"Ah..." Yuigahama tertunduk, kehilangan kata-kata. Ia lalu menggenggam lipatan di pinggir roknya, bahunya sedikit gemetar.

"Ah... ahaha. Pa-pasti tampak aneh, ya? Orang sepertiku sampai mau coba membuat kue kering buatan sendiri... rasanya seperti ingin berusaha melakukan hal yang biasanya perempuan lakukan... maaf, ya, Yukinoshita. Enggak apa-apa, kok. Aku enggak memaksa."

"Yah, jika kau memang mau, aku tak keberatan... oh, aku tahu. jika kau mencemaskan anak itu, maka tak perlu kaupikirkan. Ia sama sekali tak punya standar moral,[11] karena itu akan kupaksa ia ikut serta."

Entah bagaimana, rasanya undang-undang negara ini tak berlaku untukku. Maksudku, kerja paksa macam apa ini?

"Bukan begitu, sungguh enggak apa-apa, kok! Maksudku, membuat kue kering memang enggak cocok buatku dan pasti terasa aneh... aku sudah pernah bertanya pada Yumiko dan Mari, tapi mereka bilang kalau itu sudah ketinggalan zaman." Sesekali Yuigahama melirik ke arahku.

"...ya. Aku juga tak akan menyangka jika perempuan yang penampilannya heboh sepertimu, sampai mau membuat kue kering." Ujar Yukinoshita, seakan ingin membuat terpuruk Yuigahama yang sebelumnya memang sudah terpuruk.

"Be-benar! Rasanya aneh, 'kan?!" Yuigahama tertawa gelisah seolah menunggu reaksi dari kami. Ia langsung menundukkan pandangannya ketika melihatku, seolah hendak menantangku. Rasanya ia seperti ingin memintaku supaya memberi tanggapan.

"...yah, aku tak bisa bilang kalau... yang mau kaulakukan itu aneh, tak cocok buatmu, atau itu bukan bagian dari dirimu. Sebenarnya, aku hanya tak bisa untuk pura-pura tak peduli. Itu saja."

"Yang kaukatakan itu malah lebih buruk!" Bentak Yuigahama. "Hikki, aku sungguh enggak menyangka! Kau benar-benar membuatku jengkel. Asal kau tahu, sebenarnya aku bisa kalau aku serius!"

"Malah kata-kata barusan itu tak layak untuk kaupakai. Kata-kata itu lebih pantas diucapkan oleh ibumu sambil berlinangan air mata. Ibu selalu mengira kalau kau pasti bisa asal mau serius... tapi nyatanya, kau memang tak bisa. Begitu, deh."

"Alah, paling-paling ibumu sendiri sudah angkat tangan!"

"Kesimpulan yang masuk akal." Yukinoshita segera mengangguk. Sementara, air mata Yuigahama sudah mulai berlinang.

Ah, biarkan saja. Meski bersikap pasrah rasanya juga menyakitkan...

Aku jadi merasa tak enak sudah merusak suasana hati Yuigahama, padahal ia sudah berterus terang menjelaskan keinginannya untuk membuat kue kering. Terlebih, pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita ini masih berlangsung.

"Yah, aku memang hanya bisa memasak kari, tapi aku tetap akan membantumu." Dengan setengah hati kutawarkan bantuanku.

"...te-terima kasih." Yuigahama lalu menghela napas lega.

"Kami memang tak berharap apa pun dari kemampuan memasakmu. Kami hanya ingin agar kau mencicipi kue keringnya dan memberi pendapat."

Yah, jika Yukinoshita yang bilang begitu dan sudut pandang anak lelaki memang dibutuhkan, berarti sudah jelas kalau hal yang baru disinggung tadi bakal jadi tugasku. Ada banyak sekali anak lelaki yang tak suka memakan kue, jadi tugasku di sini adalah mencocokkan rasa kue tersebut dengan selera anak lelaki. Terlebih, kupikir sebagian besar makanan akan terasa nikmat andai saja aku bukan orang yang pemilih.

...kira-kira itu bakal membantu, enggak, ya?


— II —


Ruang PKK kini sudah dilputi oleh aroma vanili. Yukinoshita membuka lemari pendingin, seakan ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya, lalu mengambil beberapa liter susu juga telur. Ia mengeluarkan timbangan dan sebuah mangkuk besar, kemudian menyiapkan beberapa butir telur, serta menggunakan bermacam peralatan memasak yang belum begitu kukenal.

Entah bagaimana, tampaknya manusia super sempurna ini juga sungguh hebat dalam hal memasak.

Setelah selesai dengan persiapan cepatnya tadi, ia kenakan celemeknya, seolah ingin menunjukkan kalau saat ini adalah waktunya memasak. Yuigahama pun ikut mengenakannya, namun sepertinya sudah kelihatan kalau ia belum pernah sekalipun mengenakan celemek; ia mengikat talinya dengan sembrono, sampai-sampai jadi kusut.

"Ikatan tali celemekmu kusut. Apa kau sungguh tak tahu caranya mengikat celemek?"

"Maaf. Terima kasih... eh, apa?! Kalau cuma mengikatnya saja, aku bisa, kok!"

"Kalau begitu, tolong ikat celemeknya dengan benar. Jika tidak, nanti kau bisa berakhir seperti anak itu – yang tak bisa kembali lagi ke titik balik hidupnya."

"Jangan menggunakanku sebagai contoh negatif. Memangnya aku ini Namahage?"[12]

"Padahal ini pertama kalinya kau bisa tampak berguna bagi orang lain, harusnya kau sedikit senang... oh, tapi jangan cemas; meski kau membandingkan dirimu dengan Namahage, aku takkan mau macam-macam dengan kulit kepalamu, jadi tenang saja."

"Siapa juga yang cemas soal... hei, hentikan. Jangan pandang rambutku dengan senyum mencurigakan itu." Dengan maksud menghindar dari senyumnya – sebuah ekspresi yang biasanya tak pernah ia tunjukkan – kulindungi rambut ini dengan tanganku.

Kudengar tawa cekikik dari Yuigahama. Dan sudah ditebak, ia masih berusaha mengikat celemeknya sembari menyaksikan perdebatanku dengan Yukinoshita dari kejauhan.

"Jadi kau masih belum mengikatnya? Atau jangan-jangan kau memang tak bisa? ...ya ampun, ayo sini. Kubantu kau mengikatnya." Yukinoshita tampak frustasi, sekilas memberi isyarat pada Yuigahama.

"...ah, enggak apa-apa, kok." Gumam Yuigahama, menampakkan sedikit keraguan, dan bolak-balik melihat ke arahku dan ke arah Yukinoshita. Ia tampak seperti anak kecil yang sedang tersesat dan gelisah.

"Cepat sini." Nada bicara Yukinoshita yang dingin seakan menyingkirkan keraguan Yuigahama. Aku tak tahu apakah ia sedang marah atau tidak, yang pasti ia terlihat sedikit menakutkan.

"Ma-ma-ma-maaf!" Jawab Yuigahama dengan suara terpekik, lalu berjalan mendekat pada Yukinoshita. Memangnya ia anak anjing, apa?

Yukinoshita lalu bergerak ke belakang Yuigahama dan segera mengikat ulang tali celemek perempuan itu.

"Yukinoshita... rasanya kau jadi seperti kakakku saja, ya?"

"Yang jelas adikku takkan jadi separah dirimu." Yukinoshita mendesah dan tampak tak senang, namun entah kenapa, aku sebenarnya setuju dengan pemikiran Yuigahama.

Kalau melihat Yukinoshita yang dewasa bersanding dengan Yuigahama yang kekanak-kanakan, rasanya memang seperti sedang melihat pasangan kakak-beradik. Kalau dilihat lagi, memang terasa ada semacam jalinan kekeluargaan di antara mereka.

Di sisi lain, jika kebanyakan pria setengah baya menganggap bahwa perempuan akan tampak bagus bila mengenakan celemek tanpa memakai apa-apa di baliknya, justru menurutku akan terlihat sangat bagus jika ada seragam sekolah di balik celemek tersebut.

Saat membayangkannya, hatiku terasa begitu hangat dan tanpa sadar aku menyengir sendiri.

"He-hei, Hikki..."

"A-apa?" Suaraku terbata. Sial. Mungkin tampang di wajahku sempat terlihat menjijikkan tadi. Dan tanpa sengaja, jawaban gugupku malah menambah betapa jijiknya hal tersebut.

"Ba-bagaimana pendapatmu terhadap perempuan yang pandai memasak?"

"Bukannya aku enggak suka, sih. Bukan pula seolah para lelaki menganggap itu sebagai hal yang menarik."

"Be-begitu, toh..." Setelah mendengarnya, Yuigahama tersenyum lega. "Baiklah! Kita mulai sekarang!" Ia gulung lengan bajunya, memecahkan telur dan mulai mengocoknya. Lalu ditambahkannya tepung terigu, kemudian gula, mentega dan sedikit perisa, termasuk aroma vanili di dalamnya.

Meski aku bukan orang yang ahli dalam seni memasak, tapi bisa kulihat dengan jelas kalau kemampuan Yuigahama masih jauh dari normal. Aku yakin, bagi dirinya, membuat kue kering adalah hal yang berada di luar jangkauan. Padahal itu hal yang sangat sederhana, jadi bukan hal sulit untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi dirinya dari standar normal. Kemampuan Yuigahama yang sebenarnya, tanpa ditutup-tutupi, telah terpampang jelas.

Yang pertama, kocokan telur. Masih ada cangkang yang ikut tercampur di dalamnya. Yang kedua, perisanya masih menggumpal. Yang ketiga, menteganya masih keras. Bisa ditebak, ia keliru mengganti tepung dengan garam, dan berlebihan menuang susu beserta aroma vanilinya hingga tumpah dari mangkuk.

Ketika sekilas pandanganku tertuju ke Yukinoshita, bisa kulihat wajahnya yang pucat sembari menaruh tangan di dahinya. Bahkan untuk juru masak payah sepertiku saja, sampai merinding. Apalagi Yukinoshita yang memang hebat dalam memasak, hal ini pasti sebuah aib besar.

"Sekarang kita perlu..." Yuigahama terhenti dan mengambil bubuk kopi.

"Kopi? Kukira itu untuk diminum, mungkin akan mudah dicerna kalau dijadikan makanan, ya? Ide yang hebat."

"Eh? Bukan begitu. Justru ini bahan rahasianya. Anak lelaki enggak suka makanan manis, 'kan?" Wajah Yuigahama memerah sembari melanjutkan perkerjaannya. Dengan pandangan terfokus pada tangannya, adonan hitam segera terbentuk di tengah-tengah mangkuknya.

"Pastinya itu tak lagi jadi bahan rahasia."

"Waduh!? Ih. Biar nanti kutambahkan tepung saja supaya jadi lebih bagus." Nyatanya, ia cuma mengganti adonan hitam itu menjadi adonan yang lebih putih. Kemudian, gelombang besar dari kocokan telur mulai menyapu adonan tersebut, yang seakan menggambarkan kejinya neraka.

Biar kusimpulkan: Kemampuan memasak Yuigahama memang payah. Ini bukan tentang masalah mampu atau tidaknya – untuk kemampuan dasar saja ia tak punya. Sikap plinplannya di luar kewajaran, bahkan untuk melakukan hal yang mudah saja, ia gagal. Ia adalah orang yang tak ingin kujadikan partner saat tugas di laboratorium. Yang ada, ia cukup plinplan untuk membuat dirinya sendiri terbunuh.

Akhirnya benda itu pun selesai dipanggang, dan keluarlah kue panas yang terlihat gosong. Dari baunya saja bisa kutebak kalau rasanya pahit.

YahariLoveCom v1-101.png

"Ko-kok bisa?" Yuigahama terpaku ngeri saat melihat sebuah aib di hadapannya.

"Aku sungguh tak mengerti... bagaimana mungkin ada kesalahan yang bisa terjadi secara berturut-turut...?" Gumam Yukinoshita. Kurasa ia berkata pelan begitu agar tak didengar Yuigahama. Meski begitu, ia tadi terlihat keceplosan karena geregetan.

Yuigahama mengambil aib itu dan meletakkannya di atas piring. "Mungkin kelihatannya saja begini, tapi... mana kita tahu sebelum mencicipinya!"

"Kau benar. Di sini kita punya orang yang bertugas untuk itu."

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Yukinoshita. Benda aneh ini kausuruh aku... kalau yang begini, namanya pengujian racun."

"Kok racun, sih?! ...racun ...ya, mungkin saja ini memang beracun?" Dibandingkan sangkalan yang dipaksakannya di awal, Yuigahama kini malah tampak cemas sambil memiringkan kepalanya, seakan ingin bertanya, Bagaimana ini?

Hal tersebut sudah tak perlu dijawab lagi. Kupalingkan wajahku dari ekspresi Yuigahama yang seperti anak anjing itu dan coba menarik perhatian Yukinoshita.

"Hei, apa ini benar-benar harus kumakan? Ini sangat mirip dengan batu arang yang dijual di Joyful Honda."[13]

"Karena kami tak memakai bahan-bahan yang tak layak konsumsi, mestinya kau akan baik-baik saja. Setidaknya begitu. Dan..." Yukinoshita terhenti sejenak, lalu mulai berbisik. "...aku juga akan memakannya, jadi kau tak perlu risau."

"Serius? Jangan-jangan kau ini memang orang baik, ya? Atau jangan-jangan kau memang suka padaku?"

"...setelah kupikir lagi, lebih baik kau makan semuanya dan mati sendiri saja sana."

"Maaf. Tadi aku sempat kaget, makanya aku jadi mengoceh tak jelas." Semua gara-gara kue kering ini... meski patut dipertanyakan, apakah aib yang ada di hadapan kami ini masih bisa disebut kue kering.

"Aku memintamu untuk mencicipinya, bukan justru mempersoalkannya. Terlebih, aku sudah terlanjur menyetujui permintaan Yuigahama. Setidaknya aku harus bertanggung jawab." Yukinoshita menarik piring itu ke sisinya. "Jika tak bisa menemukan akar permasalahannya, situasi seperti ini takkan berakhir. Walau itu tak bisa dianggap sebagai harga yang dibutuhkan untuk sebuah rasa ingin tahu."

Yukinoshita memandangku setelah mengambil satu dari aib berwarna hitam itu – yang mungkin akan salah dikira batu bara. Matanya tampak sedikit berkaca-kaca. "Kita takkan mati, 'kan?"

"Justru itu yang mau kutanyakan..." Kupandangi Yuigahama, yang juga sedang memandang kami, yang seolah juga ingin ikut bergabung.

...bagus. Alangkah baiknya jika ia saja yang memakan semuanya. Ia pun harus mengerti penderitaan orang lain.


— II —


Kami pun selesai mencicipi kue kering buatan Yuigahama. Jika ini di dalam manga, riwayat kami pasti bakal tamat, kami akan jatuh sakit lalu tak sadarkan diri setelah memakannya. Kalau boleh bilang, saking buruknya benda tersebut, sampai-sampai kita akan merasa senang andai cuma jatuh pingsan saja. Kalau aku, lebih baik memilih jatuh sakit daripada harus memakannya lagi.

Lalu sebuah pikiran terlintas di benakku. Apa ia memasukkan jeroan sebagai bahan di kue keringnya ini, ya? Tapi kurasa takkan sampai seburuk itu, setidaknya itu tak langsung membunuh kami semua. Namun, jika dipikir lebih dalam lagi, bukan hal mustahil kalau itu lambat laun akan memicu sel-sel kanker.

"Ih... sudah pahit, menjijikkan pula..." Ujar Yuigahama sambil mengunyah kue keringnya dengan air mata yang berlinang. Yukinoshita langsung menyodorkan cangkir teh padanya.

"Akan lebih baik jika itu disterilkan dulu dan sebisa mungkin jangan mengunyahnya. Berhati-hatilah untuk tidak membiarkan lidahmu tersentuh olehnya. Kue kering itu memang seperti racun mematikan."

Hei, jangan seenaknya saja berkata hal-hal mengerikan begitu.

Yukinoshita lalu menuangkan air panas dari ceret pemanas dan menyeduh seteko teh hitam. Seusai ia menuangkannya ke cangkir kami masing-masing, teh itu segera kami minum supaya rasa yang tak enak pada lidah kami ini bisa segera hilang. Paling tidak, semuanya sudah kembali normal, dan aku pun bisa bernapas lega.

Kemudian, Yukinoshita segera membuka mulutnya, seakan ia ingin mengganggu suasana santai yang kini tengah kami nikmati. "Nah sekarang, ayo pikirkan cara untuk membuat ini jadi lebih baik."

"Bagaimana kalau Yuigahama tak usah memasak lagi?"

"Kau memang enggak mau memberiku kesempatan, ya?!"

"Hikigaya, yang tadi itu adalah usaha terakhir kita."

"Usaha terakhir? Jadi semua ini akan berakhir begitu saja?!" Ekspresi Yuigahama yang terkejut segera berubah jadi putus asa. Tampak murung, bahunya terturun dan ia menghela napas panjang. "Kurasa, memasak memang enggak cocok buatku... orang-orang menyebut itu sebagai bakat, 'kan? Nyatanya, aku memang enggak punya bakat."

Yukinoshita spontan sedikit berdesah. "...begitu, ya. Kurasa aku punya solusi"

"Solusi apa?" Tandasku.

"Berusaha lebih keras" Jawab Yukinoshita dengan tenang.

"Kausebut itu solusi?" Sejauh yang kuamati, itu justru jadi solusi paling buruk. Di titik ini, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan selain memaksanya untuk lebih serius, sebab cuma itu pilihan yang tersisa.

Tapi jujur saja, hal tersebut akan selalu jadi percobaan yang sia-sia.

Pasti akan lebih mudah jika ia tinggal bilang, Hentikanlah, tak perlu berharap lagi. Mencoba begitu keras dan berusaha tanpa arti pada hal semacam ini, akan berakhir sia-sia. Jika Yukinoshita memang ingin menyerah terhadap Yuigahama, maka ia bisa memanfaatkan waktunya itu untuk bekerja keras pada hal lain. Pastinya itu akan lebih efisien.

"Berusaha keras adalah solusi paling tepat. Jika kita melakukannya dengan benar, itu akan berhasil." Tanggap Yukinoshita yang seakan sudah membaca pikiranku. Apa ia punya indra keenam, ya? "Yuigahama, tadi kaubilang kalau kau tak punya bakat, bukan?"

"Hah? Ah, kau benar."

"Tolong singkirkan pemikiranmu itu. Mereka yang tak pernah berjerih payah tak pantas iri pada mereka yang berbakat. Mereka yang gagal, berpikir seperti itu, karena mereka tak bisa membayangkan perihnya kerja keras yang dilakukan oleh mereka yang berhasil." Kata-kata Yukinoshita terasa begitu dingin. Tak terbantahkan jika kata-kata itu memang benar, hingga tak menyisakan ruang untuk mengelak.

Yuigahama kehilangan kata-kata. Pasti tak seorang pun pernah melontarkan kenyataan seperti itu padanya. Ekspresi panik dan kebingungan terlintas di wajahnya, hingga ia menutupinya dengan sebuah cengiran.

"Ta-tapi, eng... zaman sekarang sudah enggak ada lagi orang yang melakukan hal begini... sudah pasti itu enggak cocok buatku."

Seiring tawa malu-malu Yuigahama yang berangsur tersamar, terdengar suara berdenting dari cangkir yang diletakkan ke atas meja. Suaranya begitu tenang, terdengar pelan, dan masih bergemerincing pada lapisan kristalnya, yang secara tak sadar memaksa pandangan kami untuk tertuju ke arahnya. Ialah Yukinoshita, yang memancarkan hawa dingin ini, dan menghimpun aura di sekitarnya.

"...tolong berhenti untuk selalu menyesuaikan diri dengan sekelilingmu. Sungguh tak enak didengar. Apa kau tak malu membebankan sikap plinplan, ketidakmampuan, serta kebodohan yang kaumiliki itu kepada orang lain?" Ujar Yukinoshita dengan nada keras. Ia jelas terlihat jengkel, sampai-sampai aku pun tersentak, hingga mau berseru, Wu-wuah...

Yuigahama yang tak berdaya, jatuh dalam keheningan. Ia menundukkan kepala hingga tak bisa lagi kulihat wajahnya, namun tangannya menggenggam erat ujung roknya seolah sedang menyingkap emosinya.

Pastinya ia orang yang cakap dalam berkomunikasi. Lagi pula, untuk dapat bergaul dengan anak-anak populer, penampilan menarik saja tidaklah cukup; kita harus bisa bersikap baik pada orang-orang. Dengan kata lain, perempuan ini memang pandai dalam menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang juga berarti, ia tak punya cukup keberanian untuk menjadi dirinya sendiri, karena itu sangat beresiko baginya.

Akan tetapi, sementara Yuigahama menyesuaikan diri dengan sekelilingnya, Yukinoshita justru berusaha melangkah di jalannya sendiri. Ia memang orang yang keras kepala.

Mengingat kecenderungan mereka menjadi seorang penyendiri, mereka adalah dua tipe perempuan yang sangat berbeda. Jika kita membahas siapa yang lebih kuat, sudah jelas kalau itu Yukinoshita. Dari argumennya saja sudah terlihat.

Mata Yuigahama sudah berkaca-kaca.

"Lu-lu..."

Kurasa ia mau bilang, Lupakan saja kue keringnya. Suaranya yang parau dan terbata terdengar seperti sedang menangis. Karena bahunya yang gemetar, suaranya pun ikut gemetar.

"Luar biasa..."

"Hah?!" Tanggapku dan Yukinoshita dalam satu harmoni. Bicara apa perempuan ini? Tanpa sengaja kami pun saling bertukar pandang.

"Kau langsung berkata apa adanya... dan itu rasanya, sungguh... sangat keren..." Yuigahama menatap ke arah Yukinoshita dengan ekspresi menggebu-gebu. Wajah Yukinoshita menegang seiring ia mundur dua langkah ke belakang.

"Bi-bicara apa kau... apa kau tak dengar yang kukatakan tadi? Aku cukup yakin kalau kata-kataku tadi terdengar kasar."

"Enggak, kok! Sama sekali enggak! Yah, maksudku, kata-katamu memang kasar, dan jujur, aku sempat tersentak."

Ya, itu memang benar. Sebenarnya, tak kusangka Yukinoshita akan mengatakan hal semacam itu ke sesama perempuan. Kata-kata yang diucapkannya lebih dari sekadar kasar, bahkan sempat membuatku tersentak. Meski aku yakin, yang dialami Yuigahama lebih dari sekadar tersentak.

"Biar begitu, aku sungguh berpikir kalau kau cuma ingin bersikap jujur padaku. Maksudku, bahkan ketika kau berbicara pada Hikki, kalian memang saling melontar kata-kata pedas, namun kalian berbicara satu sama lain dengan begitu wajar. Yang selama ini kulakukan hanyalah berusaha mencocokkan diri dan berkata sesuai dengan pikiran orang-orang terhadapku, jadi ini hal baru bagiku..."

Yuigahama masih melanjutkan. "Aku minta maaf. Akan kulakukan lagi dengan benar." Ketika ia meminta maaf, tatapannya kembali tertuju ke Yukinoshita.

"..." Tak disangka, kali ini yang kehilangan kata-kata justru Yukinoshita. Mungkin ini pertama kalinya ia mengalami hal semacam ini. Ternyata masih ada segelintir orang yang setelah dicecar dengan sebuah kebenaran, tapi malah meminta maaf. Biasanya, wajah kita akan memerah dan jadi benar-benar marah karena itu.

Tiba-tiba Yukinoshita memalingkan kepalanya ke samping dan mengibaskan rambut dengan tangannya. Gelagatnya seakan sedang mencari-cari sesuatu tapi masih belum bisa menemukannya. Astaga... ia benar-benar payah saat memberi tanggapan spontan.

"...ajari ia cara yang benar. Dan kau, Yuigahama, pastikan kau sungguh-sungguh menuruti apa yang dikatakannya." Sesaat kucoba memecah kesunyian di antara mereka, Yukinoshita sedikit berdesah dan mengangguk setuju.

"Aku akan mencontohkannya padamu, jadi kau bisa mencoba dan membuatnya persis seperti yang kubuat." Yukinoshita lalu berdiri dan memulai persiapan. Ia gulung lengan bajunya ke atas, memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk, kemudian mengocoknya. Ia ayak sejumlah tepung terigu dalam takaran tepat dan mencampurnya hingga tak menggumpal. Lalu ia tambahkan gula, mentega, perisa, dan aroma vanili secukupnya.

Keahliannya membuat kecil hati Yuigahama. Ia bisa membuat adonan kue kering dalam sekejap mata dan mencetaknya dalam bentuk lingkaran, bintang, maupun hati. Kertas panggangan pun sudah siap di atas loyang pemanggang. Dengan hati-hati ia tempatkan adonan yang telah dicetak itu pada loyang, dan memasukkannya ke dalam oven yang telah dipanaskan.

Beberapa saat kemudian, aroma sedap tak tertahankan telah memenuhi ruangan. Mudah untuk menyimpulkan bahwa persiapan yang diselesaikan dengan tepat, akan memberi hasil yang bagus. Dan sesuai dugaan, kue kering yang baru matang ini segera memanjakan mataku yang sempat perih sebelumnya. Yukinoshita lalu meletakkannya ke atas piring dan segera menyajikannya.

Benda itu terpanggang dalam balutan warna coklat muda yang sedap dipandang mata dan sudah jelas kalau itu bisa disebut kue kering. Kue itu dibuat dengan baik, mirip seperti yang dibuat bibiku. Itu sebabnya, kue kering tersebut kuterima dengan senang hati.

Saat kuambil salah satunya dan coba memakannya, tanpa sadar wajahku tersenyum.

"Enak sekali! Kau ini seorang pâtissier, ya?"[14] Kubiarkan pujianku terlontar padanya. Aku tak bisa menahan diri untuk tak memakannya lagi. Soalnya itu sangat enak. Mungkin takkan ada lagi gadis yang membuatkanku kue buatannya sendiri, karena itu kuambil kesempatan ini untuk memakannya sekali lagi. Buatan Yuigahama tadi tak bisa disebut kue kering, makanya itu tak kuhitung.

"Rasanya benar-benar enak... Yukinoshita, kau luar biasa."

"Terima kasih." Yukinoshita tersenyum tanpa menyisipkan sarkasme di dalamnya. "Perlu kau tahu, aku hanya mengikuti apa kata resep. Maka dari itu, mestinya kau mampu membuat seperti apa yang kubuat ini. Jika masih belum berhasil, mungkin saja ada semacam kekeliruan."

"Boleh kue kering ini kupakai sebagai contoh?"

"Tak masalah. Kalau begitu, mari sama-sama berusaha, Yuigahama."

"Ba-baik... menurutmu, apa aku bisa membuatnya? Maksudku, membuat seperti yang kaubuat itu?"

"Tentu saja. Itu jika kau mengikuti apa kata resep." Yukinoshita tak lupa mengingatkannya. Dengan demikian, dimulailah percobaan Yuigahama yang kedua.


— II —


Yuigahama menirukan pengerjaan maupun tindakannya, seolah ia setengah berhasil menyalin apa yang Yukinoshita lakukan. Begitulah, karena ia cuma mengulang pembuatan kue keringnya, jadi itu terasa seperti memutar-mutar kata saja. Aku yakin kue kering yang sudah jadi nanti bakal tak enak dimakan. Dan yang kulakukan kini hanyalah memutar-mutar kata yang tak ada juntrungnya.

Biarpun begitu...

"Yuigahama, bukan begitu caranya. Saat kau mengayak tepungnya, cobalah untuk mengayaknya dalam pola lingkaran. Lingkaran, kubilang, lingkaran. Kau paham, tidak? Apa sewaktu SD kau tak diajari tentang lingkaran?"

"Sewaktu mencampur bahan-bahannya, pastikan kau memegang mangkuknya dengan benar. Kau justru memutar-mutar mangkuknya, bahan-bahannya jadi tak tercampur sama sekali. Jangan diaduk, gulung mengikuti campuran bahannya."

"Tidak, tidak, yang kaulakukan itu keliru. Kau tak perlu menambahkannya walau itu untuk menguatkan rasa. Bahan seperti persik kalengan tak perlu ditambahkan sekarang. Lagi pula, bahan tersebut mengandung banyak air, adonannya bisa hancur. Dan itu tak bisa diperbaiki lagi."

Yukinoshita – Sang Yukino Yukinoshita – benar-benar pusing dibuatnya. Ia tampak sungguh tertekan.

Ketika Yukinoshita selesai memasukkan adonannya ke dalam oven, ia menarik napas. Sikap galaknya perlahan menghilang, dan setetes keringat mengalir di dahinya.

Saat Yuigahama membuka ovennya, aroma yang sedap menyeruak; ini hampir mirip seperti kue kering yang dibuat Yukinoshita sebelumnya. Akan tetapi...

"Kue keringnya kelihatan beda..." Putus asa, bahu Yuigahama pun terturun.

Setelah mencicipinya, aku bisa bilang kalau kue keringnya jelas berbeda dengan buatan Yukinoshita. Meski begitu, buatan Yuigahama ini masih layak disebut kue kering. Dibandingkan dengan batu arang yang ia buat sebelumnya, ini jauh lebih baik. Jujur, aku tak keberatan memakannya.

"...harus kuajari seperti apa lagi supaya kau bisa paham?" Kebingungan, Yukinoshita pun memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir.

Sewaktu menyaksikannya tadi, kusadari sebuah alasan yang jelas: Ia memang payah dalam hal menjelaskan sesuatu.

Kalau boleh jujur, Yukinoshita memang orang yang jenius, dan karena hal itu, ia jadi tak mau memahami perasaan orang biasa. Ia hanya tak dapat menerima alasan di balik kegagalan mereka.

Sebagai contoh, penerapan yang tepat untuk sebuah resep mirip seperti sebuah rumus dalam matematika. Orang-orang yang payah dalam matematika pasti tak mengerti cara kerja sebuah rumus hingga bisa menghasilkan sebuah jawaban. Mereka bahkan tak paham kenapa rumus itu perlu untuk digunakan.

Yukinoshita hanya tak bisa mengerti alasan kenapa Yuigahama masih belum bisa paham. Bila aku berkata begitu padanya, itu malah terdengar seolah aku yang menyalahkan dirinya. Padahal bukan. Yukinoshita sudah berusaha semampunya; masalahnya ada pada Yuigahama.

"Kenapa masih belum benar juga? ...padahal aku sudah membuatnya sesuai yang kauajarkan." Yuigahama menundukkan kepalanya, tertegun sembari mengambil kue keringnya.

Jika ada orang yang percaya kalau seseorang yang benar-benar pandai harusnya juga bakal pandai dalam mengajari orang lain, tak peduli betapa bodohnya yang diajari, maka orang tersebut salah. Tak peduli bagaimanapun cara mengajarinya, sekali bodoh tetaplah bodoh, itu sebabnya orang bodoh sulit untuk mengerti. Biar berkali-kali pun diajari, satu pun mungkin tak ada yang menyangkut.

"Hmm... ini beda sekali dengan buatanmu, Yukinoshita." Yuigahama sudah tampak patah semangat, dan Yukinoshita telah membenamkan kepala dalam dekapan tangannya sendiri.

Sewaktu kusaksikan sulitnya keadaan mereka, kukunyah kembali salah satu kue kering tadi. "Hei, eng... aku jadi berpikir, kenapa kalian sampai sebegitunya ingin membuat kue kering yang enak?"

"Apa?" Ekspresi Yuigahama tampak seolah ingin berkata, Bicara apa kau, dasar perjaka? Ekspresi yang begitu melecehkan, hingga membuatku sedikit geram.

"Se-bispak itukah dirimu sampai enggak tahu apa-apa? Kau ini bodoh kali, ya?"

"Sudah kubilang, berhenti memanggilku bispak!"

"Soalnya kau memang enggak mengerti cara pikir anak lelaki."

"Ya jelaslah! Aku kan enggak pernah sekalipun pacaran! Maksudku, teman-temanku banyak yang sudah punya pacar... jadi aku cuma mengikuti apa yang pernah mereka lakukan dulu dan seperti inilah jadinya..." Suara yuigahama perlahan-lahan semakin mengecil, hingga akhirnya tak dapat kudengar lagi.

Kalau bicara itu yang jelas, tahu? Jangan bilang kalau ia mau meniru tingkahku sewaktu aku dicibir guru di kelas.

"Ini tak ada hubungannya dengan tubuh bagian bawah Yuigahama. Jadi apa maksudmu bicara begitu, Hikigaya?"

Tunggu dulu, apa maksudnya dengan tubuh bagian bawah? Padahal, tak pernah lagi kulihat ada poster yang memamerkan hal tersebut di dalam kereta. Berapa sebenarnya umur perempuan ini?

Aku terdiam sejenak untuk memberi kesan dramatis sebelum tertawa terbahak-bahak, seolah aku sudah menguasai keadaan. "Huh. Tampaknya kalian berdua tak pernah tahu bagaimana nikmatnya memakan kue kering buatan sendiri. Kembalilah sepuluh menit lagi. Akan kuhidangkan rasa sesungguhnya dari kue kering buatan sendiri."

"Kau ini mengoceh apa... ini bukan main-main. Aku ini serius, tahu!" Mungkin ia merasa tersinggung atas penolakan kue kering buatannya itu, namun meski ia berkata demikian, ia malah mengajak Yukinoshita untuk keluar dari ruangan dan menuju koridor.

Nah, kalau begitu, sekarang adalah giliranku untuk mengambil langkah di pertandingan ini. Dengan kata lain, kini waktunya membeberkan solusi pamungkas dan jitu untuk masalah ini.

Segera setelah itu, ruang PKK telah terselimuti oleh hawa yang tak mengenakkan.

"Inikah kue buatan sendiri sesungguhnya, yang sempat kausebut tadi? Teksturnya tak merata dan gosong di sana-sini. Kalau yang begini ini..." Tatap Yukinoshita penuh keraguan pada benda yang ada di hadapannya.

Tiba-tiba Yuigahama melongok dari samping. "Yah, padahal tadi kau sudah bicara sehebat itu, tapi ternyata ini enggak ada istimewanya. Bikin ketawa saja! Dimakan saja rasanya kurang layak!" Tiba-tiba saja ia tertawa mengejek... atau boleh kubilang, tawa yang menggelegar. Kurang ajar... awas saja, ya.

"Sebelum komentar, cicipi dulu, dong." Ujarku sambil tersenyum santai dengan ekspresi datar. Dengan senyum itu, aku berlagak seolah persiapanku ini telah sempurna, seolah tak ada yang tahu tentang strategiku ini, seolah aku sudah memastikan kemenanganku ini.

"Yah, kalau kau memang sudah berusaha sekeras itu..." Sambil malu-malu Yuigahama memasukkan kue kering itu ke mulutnya. Tanpa bicara apa-apa, Yukinoshita pun ikut mengambilnya sepotong.

Setelah berakhirnya suara kunyahan dari mereka, kesunyian pun segera meliputi ruangan ini. Tak diragukan lagi, inilah yang disebut ketenangan sebelum badai.

"E-eh, ini!" Mata Yuigahama terbelalak. Sambil mengingat-ingat kembali dengan indera pengecapnya, ia seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan tanggapannya. "Ini memang enggak ada istimewanya, maksudku, ada yang begitu keras di beberapa bagian! Jujur, ini enggak begitu enak!" Emosi Yuigahama berubah 360 derajat dari terkejut menjadi menggebu-gebu. Aku tak begitu yakin kalau rasa kue tersebut sampai bisa mengubah emosinya, meski begitu, tatapan Yuigahama sedang tertuju ke arahku.

Yukinoshita tak berkata apa-apa; yang ada, ia justru melihatku dengan curiga. Entah kenapa, sepertinya ia menyadari sesuatu.

Seusai memerhatikan ekspresi mereka masing-masing, perlahan kutundukkan pandanganku.

"Begitu, ya. Jadi, kue keringnya enggak enak... padahal sudah susah payah membuatnya."

"-ah... maaf." Yuigahama jadi salah tingkah, lalu menundukkan pandangannya di hadapan diriku yang sedang termenung.

"Lebih baik kue keringnya kubuang saja." Kataku sambil menyambar piring yang berisi kue kering tersebut dari dirinya, kemudian berbalik dan pergi menjauh.

"Tu-tunggu sebentar."

"...mau apa lagi?"

Yuigahama lalu memegang tanganku ini untuk mencegahku pergi. Tanpa membiarkanku beranjak, ia mengambil sepotong kue kering tersebut dan segera memakannya. Wajahnya berubah muram, dan ia pun menggertakkan giginya.

"Kau enggak perlu membuangnya. Rasanya enggak buruk-buruk amat, kok... dan rasanya enggak semenjijikkan seperti yang kubuat sebelumnya."

"...oh. Jadi kau sudah cukup puas dengan kue kering ini?" Kusunggingkan sebuah senyuman, dan Yuigahama menganggukkan kepalanya tanpa bersuara, lalu memalingkan pandangannya. Diikuti sinar senja yang memancar dari jendela, bisa kulihat kalau wajahnya kini sedang tersipu.

"Sejujurnya, ini adalah kue kering yang kaubuat sebelumnya, Yuigahama." Ucapku jujur dengan santai, tanpa terbata-bata. Aku tak pernah bilang kalau aku yang membuatnya, jadi aku tak berbohong.

"...hah?" Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Bisa dibilang, ia memang orang yang plinplan. "A-apa?" Mata Yuigahama berkedip-kedip. Yukinoshita dan aku saling bertukar pandang. Rupanya Yuigahama sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi.


— II —


"Hikigaya, aku tak yakin dengan yang hendak kaulakukan ini. Apa ada maksud lain dari leluconmu tadi?" Yukinoshita menatapku risih.

"Ada sebuah kutipan yang berbunyi... Asal ada cinta, cinta saja tak masalah!!" Kusunggingkan senyum bangga sambil mengacungkan jempol.

"Acara itu kan jadul banget."[15] Tanggap Yuigahama dengan suara pelan. Yah, itu memang acara yang disiarkan waktu aku SD dulu. Yukinoshita pun sepertinya tak mengerti maksud ucapanku dan memiringkan kepalanya karena kebingungan.

"Ibarat lomba lari halang rintang, fokus kalian hanya tertuju pada melompati rintangannya saja." Tanpa sadar aku tersenyum. Wah, perasaan superior apa ini? Seakan hanya aku saja yang tahu jawaban yang benar. Bikin aku geregetan saja.

"Begini... tujuan utama lari halang rintang bukanlah melompati rintangannya, tapi untuk sampai ke garis finis dengan waktu secepat mungkin. Tak ada aturan yang mengatakan kalau rintangan tersebut wajib dilompati. Da-dan tak per-" Tanpa sengaja bicaraku mulai terbata.

"Cukup, aku sudah paham maksudmu."

-lu cemas soal menabrak, menggulingkan atau menghancurkan rintangannya. Itulah yang akan kukatakan andai Yukinoshita tak memotong ucapanku.

"Jadi kau mau bilang kalau kami sudah mencampuradukkan maksud dan tujuan kami yang sebenarnya, begitu?"

...aku tak begitu paham yang barusan ia katakan. Namun, aku yakin kalau ia mau mengatakan hal yang sama, karena itu aku mengangguk dan lanjut berbicara.

"Inti sesungguhnya dari hal tersebut yaitu pada seberapa kerasnya usaha kalian saat membuat kue kering. Jika kalian tak mengalami stres saat membuatnya, maka semua itu akan terasa hambar. Bagaimana orang bisa senang kalau rasanya sama saja seperti beli dari toko. Bahkan boleh dibilang, kue kering yang dibuat sendiri itu masih lebih baik walau rasanya kurang enak."

"Kurang enak?" Tanya Yukinoshita sambil menampakkan wajah kebingungan.

"Kalau kalian bisa membuat orang yang menerimanya berpikir. Yah, meski hasilnya kurang bagus tapi ia sudah berusaha semampunya. Maka orang tersebut akan salah sangka dan berpikir dengan wajah penuh harap, Ternyata ia sudah susah payah membuat kue kering ini demi aku..."

"Aku yakin tak sesederhana itu..."

Yuigahama melihatku curiga, seolah menyiratkan, Perjaka ini sebenarnya mau apa, sih?

Apa boleh buat. Mungkin harusnya kutambahkan saja sesuatu yang lebih menarik.

"...ini cerita tentang temannya temanku... ini cerita ketika ia baru memasuki masa SMA. Karena masih di awal semester, maka ketika itu adalah saat diadakannya pemilihan ketua kelas. Seperti yang sudah diduga, semua anak lelaki kala itu sedang di masa-masa gelisahnya, jadi mereka bakal menolak kalau ditunjuk menjadi ketua kelas. Tentu saja, mereka akhirnya memilih seseorang secara acak. Lalu, secara kebetulan temannya temanku itu pun terpilih. Guru lalu menyerahkan wewenang kepada anak tersebut dan memberinya tugas untuk memilih wakil perempuan. Itu merupakan beban berat bagi seorang anak pemalu, penakut dan pendiam seperti dirinya."

"Penjelasanmu terlalu bertele-tele. Cerita pembukamu juga terlalu panjang."

"Diam dan dengarkan saja dulu. Pada saat itu, dipilihlah salah seorang anak perempuan. Perempuan itu punya wajah yang manis. Dan dengan demikian, maka pasangan ketua kelas yang baru pun diresmikan. Sang wakil perempuan kemudian tersenyum senang sambil berkata; Mohon kerja samanya untuk satu tahun mendatang. Setelah itu, ia mulai membicarakan berbagai hal dengan temannya temanku ini. Jadi, si temannya temanku ini mulai berpikir: Wah, apa ia suka padaku, ya? Mungkin ia sengaja agar terpilih karena aku juga ikut terpilih. Ia begitu akrab saat bicara denganku, maka sudah jelas kalau ia memang suka padaku! Dan tak makan waktu lama baginya untuk meyakinkan hal tersebut. Yah, kira-kira satu minggu."

"Wah! Cepat banget." Yuigahama menaikkan volume suaranya sembari menganggukkan kepala.

"Ya iya, lah. Kau tak boleh berlama-lama jika menyangkut soal asmara. Jadi, seusai jam pelajaran, saat mereka sedang mengambil fotokopi materi yang diminta guru, temannya temanku ini mencoba mengutarakan perasaannya:

He-hei, apa sudah ada anak yang kautaksir?

Ha-hah? Tak ada, kok!

Jawabanmu tadi malah menunjukkan kalau itu memang ada! Jadi siapa?

...menurutmu siapa?

Mana aku tahu. Kasih petunjuk, dong! Petunjuk!

Ah, tak mau, ah...

Kalau begitu kasih inisial namanya saja. Inisial nama atau marga juga tak apa-apa, kok. Ayolah!

Eng... kurasa itu tak jadi masalah.

Serius?! Sip! Jadi, apa inisialnya?

...H.

Eh... jangan-jangan itu... aku, ya?

Hah? Kau ini bicara apa? Jelas tak mungkin! Menjijikkan banget. Sudah, tak usah dibahas lagi.

Ah... haha... iya, iya. Aku cuma bercanda.

Eng... soalnya tadi kau tampak serius, sih... baiklah, karena sudah selesai, aku pulang dulu.

O-oke.

Lalu setelahnya, hanya tinggal diriku saja yang ada di dalam kelas, kutatap matahari yang terbenam sambil berlinangan air mata. Tapi yang lebih mengejutkan, keesokan harinya saat di sekolah, semua teman-teman sekelasku sudah tahu akan hal tersebut."

"Oh, ternyata itu cerita tentang dirimu..." Gumam Yuigahama, sambil bersikap canggung saat mengalihkan tatapannya.

"Eh, apa? Ya bukan, lah. Aku tak cerita tentang diriku, kok. Kalau yang barusan itu, yah, cuma berandai-andai kalau misal itu aku."

Tanpa memerhatikan penjelasanku, Yukinoshita pun berdesah karena merasa jengkel. "Dari awal ketika kaubilang kalau itu cerita temannya temanku, aku sudah bisa menebaknya. Karena setahuku, kau itu tak punya teman."

"Apa kaubilang?!"

"Mengenyampingkan pengalaman traumatismu, sebenarnya apa tujuanmu menceritakan hal barusan?"

Sudah pasti ini ujung-ujungnya bakal buruk. Soalnya, kejadian itu adalah penyebab para anak perempuan mulai semakin membenciku. Para anak lelaki bahkan memberi julukan Narsisgaya padaku dan... yah, aku rasa itu bukan masalah besar. Kucoba untuk bersikap tegar dan lanjut berbicara.[16]

"Yang ingin kusampaikan adalah, anak lelaki itu makhluk yang sederhana. Mereka bakal salah paham hanya karena kalian bicara dengan mereka, dan mereka akan kegirangan hanya karena diberi kue kering. Jadi..." Aku berhenti sementara untuk melihat Yuigahama. "...kue kering ini bukanlah sesuatu yang istimewa... meski di beberapa bagian agak keras saat dikunyah, tapi sejujurnya tak masalah asal itu tak menjijikkan."

"Be-berisik!" Wajah Yuigahama memerah karena marah. Beberapa kantong plastik dan kertas kedap minyak dilemparkannya ke arahku. Meski itu mengenaiku, nyatanya ia memilih melempar benda yang takkan menyakitiku, itu tandanya kalau ia memang orang yang baik. Eh... apa mungkin ia menyukaiku, ya? Atau itu hanya sekadar main-main? Yah, jangan sampai kejadian waktu itu terulang lagi, deh.

"Kurang ajar kau, Hikki! Kau membuatku jengkel. Aku pergi saja!" Yuigahama menatap tajam ke arahku, sambil menenteng tasnya, ia lalu berdiri. Ia menuju ke pintu sambil berucap, Huh! sembari berjalan keluar. Kedua bahunya tampak gemetaran.

Cih. Mungkin bicaraku sudah kelewatan... kini aku malah jadi kepikiran karena sudah berbicara seenaknya. Karena itu kucoba lanjut bicara dengan bahasa yang lebih baik.

"Yah, asal kautahu saja... jika kau memberi kesan kalau kau sudah berusaha keras saat membuat kue kering ini, bukankah itu bisa membuat hati anak lelaki tersentuh?"

Yuigahama yang sudah berada di depan pintu langsung menoleh ke belakang. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena silau oleh sinar matahari senja.

"...Hikki, memangnya kue kering itu membuatmu tersentuh?"

"Hah? Tentu saja aku sangat tersentuh! Maksudku, hanya dengan kau bersikap baik padaku saja, aku sudah ada di situasi di mana aku bakal jatuh cinta padamu. Dan berhentilah memanggilku Hikki." Tanggapku langsung ke intinya.

"Oh... baiklah." Jawab Yuigahama dengan santai, sebelum ia langsung memalingkan kembali wajahnya ke arah pintu. Lalu sewaktu tangannya sudah di gagang pintu, Yukinoshita memanggilnya.

"Yuigahama, bagaimana dengan permintaanmu?"

"Oh, enggak usah cemas, sudah bukan masalah lagi, kok. Lain kali, akan kucoba dengan caraku sendiri. Terima kasih, ya, Yukinoshita." Yuigahama lalu berbalik menghadap Yukinoshita sambil tersenyum. "Sampai ketemu besok." Ia pun beranjak sambil melambaikan tangan, kemudian berlalu pergi dengan celemek yang masih terpasang di seragamnya.

"...apa kira-kira yang tadi itu sudah cukup untuknya?" Bisik Yukinoshita, sambil menatap ke arah pintu. "Menurutku, agar bisa berkembang, orang-orang harus berusaha keras hingga mencapai batas kemampuan mereka. Karena pada akhirnya semua itu juga akan bermanfaat bagi mereka."

"Yah, itu memang benar. Usaha keras takkan pernah mengkhianatimu. Walaupun, itu mungkin akan mengkhianati mimpi-mimpimu."

"Apa bedanya?" Angin lalu membelai wajah Yukinoshita sewaktu ia menoleh ke arahku. Rambutnya pun berayun lembut mengikuti hembusan angin.

"Meski kau sudah berusaha keras, tak berarti mimpi-mimpimu akan jadi kenyataan. Faktanya, masih ada banyak kejadian yang berujung ke arah itu. Namun setidaknya, kau bisa mendapat kepuasan atas usaha kerasmu tadi."

"Itu hanya sekadar pemuasan diri."

"Yah, paling tidak itu tak mengkhianati dirimu sendiri."

"Menghibur diri sendiri, rupanya... membuatku jijik saja."

"Orang-orang, termasuk kau di dalamnya, sudah bersikap terlalu kejam padaku. Harusnya kau bisa sedikit membiarkanku untuk menghibur diriku sendiri. Dan kurasa orang-orang mestinya juga harus bersikap lebih lembut pada diri mereka sendiri. Jika semua orang nantinya jadi putus asa, maka dunia ini sudah takkan lagi punya harapan."

"Ini pertama kalinya aku bertemu seorang idealis yang punya pandangan sepesimis itu... jika pemikiranmu tadi diterapkan oleh orang-orang, maka dunia bisa jatuh dalam kehancuran." Tandas Yukinoshita dengan ekspresi terkejut, tapi aku justru senang dengan pemikiranku ini.

Pada akhirnya, para pengangguran ingin mendirikan sebuah negara yang dibangun khusus untuk golongan mereka sendiri. Yang diberi nama: Penganggurantopia... dan mungkin akan runtuh hanya dalam kurun waktu tiga hari.


— II —


Akhirnya aku mengerti seperti apa inti dari kegiatan Klub Layanan Sosial. Singkatnya, ini adalah klub yang memberi saran serta membantu para murid untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Meski begitu, keberadaan klub ini masih jarang diketahui. Bahkan, aku sendiri sempat tak tahu kalau klub ini ada. Tapi itu bukan berarti kalau aku tak mengenal sekolahku sendiri.

Jika dilihat dari sikap Yuigahama yang seolah tak menyadari keberadaan klub ini sebelumnya, maka harusnya ada orang yang bertindak sebagai perantara dan mengarahkan orang-orang yang membutuhkan saran tersebut agar datang ke tempat ini. Perantara itu pastilah Bu Hiratsuka.

Terkadang, beliau harus mengarahkan murid-murid yang memiliki kesulitan juga masalah supaya datang kemari. Tepatnya ke ruang isolasi ini.

Di dalam ruang karantina ini, yang selalu kulakukan hanyalah membaca buku. Soalnya, meminta nasihat sama artinya seperti membeberkan masalah pribadi. Jika hal itu didiskusikan dengan teman sebaya, yang ada, itu justru jadi penghalang bagi para murid yang berperasaan sensitif.

Semenjak kedatangan Yuigahama yang kemari atas anjuran Bu Hiratsuka, sudah tak pernah lagi ada orang yang datang ke tempat ini. Meski saat ini tak ada pengunjung yang datang, tapi kegiatan klub masih berjalan seperti biasanya. Aku maupun Yukinoshita seolah tak keberatan dengan kesunyian semacam ini, menghabiskan waktu dengan membaca buku begini, rasanya begitu damai.

Itu sebabnya, ketika ada yang mengetuk pintu, suara ketukannya terdengar menggema.

"Yahalo!" Terdengar sebuah salam konyol dan tak bermutu seiring Yuigahama yang menggeser pintu masuk. Saat kualihkan pandangan dari paha mulusnya yang cuma sedikit tertutupi rok mini itu, mataku sekarang tertuju pada blusnya yang terbuka lebar di bagian dada. Sudah kuduga, ia memang perempuan yang dipenuhi oleh aura bispak.

Yukinoshita berdesah sembari memejamkan matanya. "...mau apa lagi?"

"Hah? Apa aku enggak begitu diterima di sini? ...jangan-jangan, kau... membenciku, ya, Yukinoshita?" Bahu Yuigahama gemetar usai ia mendengar gumaman Yukinoshita.

Yukinoshita menghela napasnya sembari berpikir sejenak. Ia lalu menjawab dengan suara datar. "Aku tak membencimu... hanya saja, kurasa akan merepotkan bila berurusan denganmu..."

"Bagi perempuan, itu sama saja kalau kau membenciku!"

Yah, tampaknya tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin dirinya dibenci. Dilihat dari luar, Yuigahama memang terlihat seperti perempuan bispak kebanyakan, tapi melihat tanggapannya tadi, ia malah lebih seperti perempuan biasa pada umumnya.

"Jadi, ada perlu apa kemari?"

"Eng, kau tahu, enggak, kalau belakangan ini aku mulai serius dalam memasak?"

"Tidak tahu. Baru kali ini aku mendengarnya."

"Yah, pokoknya begitu, deh. Aku berterima kasih atas bantuanmu tempo hari. Oh, iya, aku juga sudah membuatkan beberapa kue kering, lo..."

Seketika itu juga wajah Yukinoshita memucat. Jika memikirkan seperti apa kue buatan Yuigahama, hal yang pertama terlintas adalah sekumpulan batu bara hitam pekat yang sempat ia buat sebelumnya.

Bahkan, hanya dengan mengingatnya saja, kerongkongan juga otakku langsung mengering.

"Saat ini aku tak sedang begitu berselera, jadi terima kasih. Kuterima niat tulusmu itu dengan senang hati." Yukinoshita mungkin jadi hilang selera karena ucapan Yuigahama yang menyebutkan kalau ia sudah membuatkan kue kering untuknya. Karena Yukinoshita orang yang baik, makanya ia tak mengatakannya dengan blakblakan.

Mengenyampingkan penolakan sopan yang dilakukan Yukinoshita, Yuigahama malah bersenandung seolah tak memerhatikan sewaktu ia mengeluarkan sebuah kemasan plastik dari dalam tasnya. Jelas terlihat kalau itu adalah kue kering berwarna hitam pekat yang dibungkus dalam kemasan cantik.

"Ternyata terasa menyenangkan sewaktu membuatnya. Kapan-kapan aku mau coba buat bekal makan siang juga, deh! Nah, kalau begitu, kita makan siang bareng yuk, Yukinon."

"Tidak, aku lebih senang kalau makan sendirian, jadi aku menolak... dan tolong jangan memanggilku Yukinon. Terdengar kurang enak di telinga."

"Serius?! Kau enggak merasa kesepian? Yukinon, kau makan siang di mana?"

"Di ruang klub... hei, kau ini tidak mendengarku, ya?"

"Baiklah, karena aku juga enggak punya kegiatan sepulang sekolah, jadi aku akan bantu-bantu di klub ini. Yah, anggap saja ini semacam... balas budi. Jadi jangan terlalu dipikirkan."

"...kau ini memang tidak dengar, ya?" Yukinoshita benar-benar telah hilang terbawa oleh arus pembicaraan Yuigahama. Ia terus menatapku seolah ingin berkata, Lakukan sesuatu padanya!

Memangnya aku bersedia membantunya, apa? Selama ini ucapannya selalu menyakitiku dan ia pun belum membayar Yasai Seikatsu yang kubeli tempo hari... lagi pula, Yuigahama itu kan temannya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Yukinoshita sudah setulus hati mau mengatasi permasalahan Yuigahama, jadi kupikir, itulah alasan yang membuat Yuigahama sampai bersikeras mau membalas budi padanya. Maka dari itu, Yukinoshita sesungguhnya punya hak serta kewajiban untuk menerima pemberiannya.

Rasanya tak sopan kalau aku ikut campur, jadi kututup saja buku bacaanku dan langsung beranjak dari kursi. "Sampai ketemu besok." Kalimat perpisahan itu kugumamkan pelan-pelan agar tak didengar oleh mereka. Setelahnya, aku lalu bersiap pergi.

"Ah, Hikki!"

Saat aku berbalik, benda hitam pekat melayang terbang ke arah wajahku. Dengan spontan kutangkap benda tersebut.

"Karena kau sudah ikut membantu, kurasa aku juga perlu berterima kasih padamu."

Benda hitam pekat itu dicetak dalam bentuk hati. Mencurigakan sekali. Yah, walau mencurigakan, tapi karena ia mau berterima kasih padaku, jadi kuterima saja.

Oh, dan berhenti memanggilku Hikki.


Oregairu(Indonesia) Jilid 1 Hal129.jpg

Oregairu(Indonesia) Jilid 1 Hal131.jpg Oregairu(Indonesia) Jilid 1 Hal130.jpg

Catatan Penerjemah[edit]

  1. Huruf kanji untuk kata sarkasme adalah 皮肉 (hiniku) yang di dalamnya memuat huruf kanji 肉 (niku) yang berarti daging. Sehingga pada kalimat tersebut, Bu Hiratsuka memang sengaja bermain kata-kata.
  2. Teori Superstring merupakan teori untuk menyelesaikan masalah dimensi dalam ilmu fisika, karena saat terjadi Big Bang sewaktu semesta kita terbentuk, diketahui bahwa terdapat sepuluh dimensi dalam semesta kita, padahal saat ini kita hidup dalam empat dimensi. Dalam teori ini lintasan dimensi digambarkan sebagai string (tali) dengan panjang tak terhingga. Karena adanya dimensi yang lebih dari empat itulah kemudian muncul angan-angan ilmuwan untuk bisa pergi sejauh ribuan hingga jutaan tahun cahaya dalam waktu singkat, yaitu dengan cara lintas dimensi.
  3. Mungkin di kalimat ini Hachiman sedang menyinggung serial 青年のための読書クラブ (Seinen no Tame no Dokusho Club). yang bisa diartikan secara harfiah menjadi Klub Membaca Untuk Kawula Muda.
  4. Sebenarnya kata yang dipakai pada novel aslinya adalah ビッチ (bitchi), kata serapan dari Bahasa Inggris yaitu bitch. Tapi untuk kata tersebut, di Jepang konotasinya berbeda dengan arti kata sebenarnya dari Bahasa Inggris (yang berarti semacam pekerja seks komersial), dan lebih condong kepada perempuan yang gampang untuk diajak berhubungan seks dengan lawan jenis. Di sini sengaja memilih istilah bispak (bisa dipakai), karena memang pengertiannya serupa, juga untuk lokalisasi istilah.
  5. Untuk pergaulan di zaman sekarang, yang membedakan perempuan bisa disebut sebagai seorang gadis atau seorang wanita, biasanya dilihat dari perawan atau tidaknya perempuan tersebut. Seorang perempuan bisa disebut sebagai wanita jika sudah pernah berhubungan seks. Sedang kalau masih disebut sebagai gadis, berarti perempuan tersebut masih perawan dan cenderung masih dianggap anak kecil.
  6. Hikikomori adalah sebutan bagi orang-orang yang kehidupannya mengurung diri di dalam kamar. Biasanya mereka menjauhi orang-orang dan sulit bergaul di lingkungan masyarakat.
  7. Ryuu Murakami adalah pengarang novel Almost Transparent Blue yang isi ceritanya memuat masalah pergaulan bebas dan narkoba di kalangan pemuda Jepang.
  8. Pada LN aslinya kata yang dipakai adalah クッキー (kukkii), kata serapan dari Bahasa Inggris cookie, dan terdengar seperti 空気 (kuuki) yang berarti udara. Harfiahnya, Hachiman berkata, anak-anak di kelas memperlakukanku seperti udara.
  9. Sportop adalah merek minuman energi yang populer di kalangan anak SMA.
  10. Yasai Seiktasu adalah merek populer minuman jus sayuran di Jepang.
  11. Standar moral merupakan sebuah dasar dalam memutuskan apakah suatu tindakan atau aktivitas yang dilakukan benar atau salah.
  12. Namahage adalah orang yang memakai kostum iblis guna menakut-nakuti anak-anak yang punya kelakuan buruk.
  13. Nama toko di Jepang.
  14. Pâtissier adalah chef yang ahli dalam membuat kue-kue.
  15. Acara yang dimaksud adalah Ai no Epuron (愛のエプロン), yang di mana saat acara tersebut akan berakhir, sang pembawa acara menutupnya dengan kalimat, "Memasak adalah sebuah bentuk cinta, asal ada cinta, cinta saja tak masalah."
  16. Pada novel aslinya, julukan Hachiman adalah Narugaya (ナルが谷), Naru (ナル) di sini adalah sebuah plesetan yang berarti: Bersikap narsis. Kebetulan cocok dengan kata 'gaya'.
Mundur ke Bab 2 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 4