Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Sampai Kapan pun, Yukino Yukinoshita Tetap Keras Kepala[edit]

Saat keluar dari ruang kelas setelah jam pelajaran berakhir, kulihat Bu Hiratsuka sedang menungguku sambil menyandarkan dirinya ke tembok. Beliau sudah tampak seperti sipir penjara yang berdiri tegap sambil melipat kedua tangannya. Kalau boleh bilang, pasti akan terasa cocok apabila beliau berpakaian militer dan memegang cambuk di tangannya. Yah, yang namanya sekolah memang mirip seperti penjara, setidaknya itu bukan imajinasi yang terlalu berlebihan. Maksudku, sekolah pun bisa disamakan seperti Alcatraz ataupun Cassandra.[1] Pastinya aku akan bersyukur andai sang Penyelamat Akhir Zaman[2] bergegas datang menolong.

"Hikigaya. Waktunya kegiatan klub."

Seketika itu darahku langsung membeku. Sial, aku tertangkap. Kalau aku sampai digiring ke ruang klub, mungkin kehidupan sekolahku ini sudah tak punya harapan lagi.

Yukinoshita itu orang yang angkuh sejak lahir, kata-kata yang terucap dari mulutnya bagaikan ular berbisa. Sangat kasar, bahkan tak ada manis-manisnya. Apa makhluk sepertinya itu bisa disebut tsundere? Yang benar saja. Ia cuma gadis kurang ajar.

Sambil tersenyum cuek, Bu Hiratsuka tak menghiraukan keenggananku yang tampak jelas ini.

"Ayo pergi." Ujar Bu Hiratsuka sembari berusaha merangkul lenganku. Aku menghindar. Tak tanggung-tanggung, beliau langsung menjulurkan tangannya lagi. Aku pun kembali mengelak.

"Eng... asal Ibu tahu... jika saya pikir-pikir lagi, yah, di antara sekian banyak hal, sistem pendidikan di negara kita ini harusnya saling mendukung juga menghormati kebebasan murid-muridnya, oleh karena itu... saya merasa keberatan jika dipaksa-paksa begini."

"Sayangnya, sekolah merupakan sebuah institusi yang dirancang untuk melatih murid-murid agar bisa menjadi bagian dari masyarakat yang baik. Di kehidupan sesungguhnya, pendapatmu barusan tak mungkin akan dihiraukan. Karena itu, kau pun harus terbiasa untuk dipaksa-paksa orang."

Kali ini bukan sebuah pukulan biasa yang beliau lesatkan, melainkan sebuah serangan telak dari sebuah tinju yang terpilin dan menusuk tubuhku. Sangat kuat, sampai-sampai aku tak bisa bernapas. Tanpa menyia-nyiakan momentum, beliau berhenti menyerang dan langsung merangkul lenganku.

"Kau tahu apa jadinya jika coba membangkang, bukan? Jadi jangan coba-coba memancing tinju Ibu ini, ya."

"Jadi Ibu benar-benar serius mau memakai tinju itu?"

Perih ini tak mungkin bisa lebih buruk lagi.

Selagi berjalan, mulut Bu Hiratsuka mendadak terbuka seakan beliau baru teringat sesuatu.

"Oh, iya. Jika kau mencoba kabur lagi, maka secara tak langsung kau dianggap kalah dari Yukinoshita. Segala bentuk keberatan takkan Ibu terima, lo. Jadi, jika kau tetap tak menghiraukannya, maka jangan harap kau bisa lulus di tahun ketigamu."

Aku sudah tak mungkin lagi bisa lari dari beliau, bahkan dari segi mental sekalipun. Bu Hiratsuka berjalan di sampingku, suara ketukan dari hak sepatu berbunyi di setiap langkahnya. Dan yang terburuk, beliau merangkul pergelangan tanganku. Kalau dilihat lagi, ini tampak seolah Bu Hiratsuka menjadi seorang wanita penghibur yang memakai kostum guru sekolah dan sedang menggandengku ke kabaret cosplay miliknya.[3]

Meski begitu, ada tiga hal yang membedakannya, yaitu: Aku tak bisa membayar beliau sepeser pun, beliau sebenarnya hanya merangkul ujung sikutku bukan seluruh lenganku, dan aku tak merasa senang maupun tertarik sama sekali. Yah, terkecuali fakta kalau ujung sikutku sempat menyentuh payudara Bu Hiratsuka.

Satu-satunya tempat yang ingin beliau tuju sekarang hanyalah ruang klub.

"Eng... saya takkan coba kabur lagi kok, jadi biar saya jalan sendiri saja, ya. Ibu juga pasti sudah tahu kalau selama ini saya selalu sendiri. Jadi tak akan apa-apa jika saya jalan sendiri. Lagi pula, kalau tak melakukannya sendiri, saya justru tak bisa tenang."

"Jangan bicara begitu. Ibu memang mau pergi bareng, kok." Bu Hiratsuka tersenyum lembut sambil mendesah pelan.

Ini membuatku kaget; ini bukan ekspresi yang biasanya beliau tunjukkan padaku.

"Membiarkanmu kabur bisa bikin Ibu gregetan. Jadi, meski tak tega, Ibu harus memaksamu pergi ke sana supaya stres Ibu ini bisa berkurang."

"Alasan yang tak masuk akal!"

"Mau bagaimana lagi? Meski Ibu sebenarnya sudah capek, Ibu masih harus menemanimu sampai ke sana. Semua ini demi kelancaran program rehabilitasimu itu sendiri. Bisa dibilang, ini salah satu contoh dari ikatan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya."

"Ibu bilang yang begini ini kasih sayang? Maaf, Bu, saya enggak butuh."

"Nah, jawabanmu semacam itu yang malah menunjukkan kalau kau memang sudah menyimpang, kau tahu? ...apa saking menyimpangnya sampai-sampai titik urat nadimu jadi terbalik? Lalu kau mau coba membangun sesuatu semacam Makam Kaisar Salib Suci, begitu?"[4]

Bu Hiratsuka ini memang penggila manga...

"Padahal, kau bisa tampak lebih manis kalau mau sedikit menurut. Kau tak bisa menikmati hidup kalau masih punya pandangan menyimpang seperti itu."

"Yah, dunia itu kan tak selalu dipenuhi padang bunga matahari dan aster. Jika masyarakat terbentuk oleh pikiran kalau orang harus selalu bahagia, tentunya Hollywood takkan membuat film-film sedih, ya 'kan? Soalnya, ada sebagian orang yang juga senang dengan tragedi."

"Argumen seperti itu memang ciri khasmu. Wajar, sih, bagi remaja kalau berpikiran sinis, tapi kalau kau ini sudah jadi penyakit namanya. Jenis penyakit yang sering diidap anak kelas dua SMA. Kalau dipikir lagi, ternyata kau memang pengidap kounibyou."[5] Ujar Bu Hiratsuka sambil tersenyum bangga.

"Jadi Ibu memperlakukanku seperti orang penyakitan, begitu? Kejam banget. Lagi pula, apa itu kounibyou?"

"Kau suka manga dan anime, enggak?" Beliau mengganti topik pembicaraan dan mengabaikan pertanyaanku.

"Yah, bukannya saya enggak suka, sih."

"Lalu apa yang kau suka dari hal itu?"

"Eng, soalnya... itu mewakili kebudayaan Jepang. Itu juga bagian dari budaya modern yang bisa jadi kebanggaan Jepang. Aneh kalau saya tak mengakui fakta tersebut, ya 'kan? Pangsa pasar domestik bisa semakin berkembang karenanya, maka dari itu sisi ekonomi pun harus disangkut-pautkan di sini."

"Begitu rupanya. Lalu kalau karya sastra umum? Seperti Keigo Higashino dan Koutarou Isaka contohnya?"[6]

"Saya juga baca, tapi jujur, saya lebih senang karya yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal."

"Terus, kalau label penerbit light novel favoritmu?"

"Gagaga... Kodansha Box juga. Saya tak tahu apakah Ibu juga menggolongkan Kodansha Box sebagai salah satu penerbit light novel.[7] Oh, iya, untuk apa Ibu tanya-tanya hal barusan?"

"Yah, kau memang seperti yang Ibu duga. Tapi dalam artian negatif. Contoh sempurna seorang pengidap kounibyou."

"Makanya tadi saya tanya, apa itu kounibyou?"

"Kounibyou ya kounibyou, sebuah ungkapan umum terhadap kondisi mental yang dialami murid-murid SMA. Mereka pikir kalau bersikap sinis itu terlihat keren dan mereka selalu memberi tanggapan dengan kalimat-kalimat yang populer di internet, contohnya, Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi.[8] Ketika sedang membahas tentang pengarang novel dan manga, mereka berkata, Aku lebih senang karya yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal. Mereka mencemooh sesuatu yang sedang digandrungi orang-orang dan memuja hal-hal yang sifatnya tak jelas. Dan terlebih lagi, mereka mengejek para otaku[9] padahal mereka sendiri sebenarnya tak berbeda jauh. Mereka menerka-nerka seakan tahu segalanya lalu menyebarkan logika-logika sesat. Intinya, mereka tak disukai orang-orang."

"Tak disukai orang-orang... cih! Logis sekali, sampai-sampai tak bisa saya sangkal lagi!"

"Oh, bukan begitu, Ibu ini sedang memujimu. Murid-murid zaman sekarang sudah pintar-pintar dan mudah menerima kenyataan. Sebagai guru, Ibu takkan mengejek kesalahan yang kauperbuat. Maksudnya, Ibu menganggapmu layaknya orang yang sudah dewasa, jadi ini sama seperti kita sedang berbisnis."

"Murid-murid zaman sekarang, ya?" Aku hanya bisa tersenyum kecut. Pernyataan barusan itu sudah tampak jelas dan aku jadi merasa sedikit jengkel, karena itu aku sempat berniat membantahnya. Meski begitu, kusadari Bu Hiratsuka sudah menatap mataku dengan pandangan serius dan aku pun cuma bisa menundukkan bahu.

"Kau memang terlihat sedang mengatakan hal-hal keren tapi itu justru menandakan karakteristik asli seorang kounibyou."

"Oh... benarkah?"

"Sebenarnya Ibu tak mau kau jadi besar kepala, tetapi Ibu memang sedang memujimu kok. Ibu senang dengan orang yang memegang teguh pendiriannya, meskipun orang itu menyimpang."

Mendengar beliau yang tiba-tiba berkata senang malah membuatku terbengong layaknya orang bodoh. Aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.

"Jadi, sebagai orang yang sudah menyimpang, bagaimana pendapatmu tentang Yukino Yukinoshita?"

Langsung kujawab. "Gadis kurang ajar." Aku membencinya seperti ingin memberi racun pada orang yang berkata, Lebih baik kau menyerah saja menggubah lagu Concrete Road.[10]

"Begitu rupanya." Bu Hiratsuka menyengir. "Yukinoshita memang murid yang luar biasa, tetapi... yah, bagi mereka yang mereka diberkati sesuatu, tentunya akan ada penderitaan tersendiri ketika memiliki sesuatu itu. Biar bagaimanapun, ia tetap gadis yang sangat manis."

Dalam hal apa? Pertanyaan itulah yang mencuat di benakku.

"Ia pun pasti mengidap penyakit yang hampir sama denganmu. Yukinoshita orang yang jujur dan senantiasa benar, namun sekelilingnya tak demikian dan justru bersikap tak adil. Ibu yakin hidupnya penuh kesulitan."

"Ia tak selalu benar, tapi saya yakin sebagian besar orang-orang akan setuju dengan Ibu."

Bu Hiratsuka langsung melihatku seolah ingin berkata, Itulah yang Ibu pikirkan.

"Sudah Ibu duga seperti itu — kalian berdua saling bertolak belakang. Ibu jadi khawatir. Tak ada satu pun di antara kalian yang bisa berbaur dengan baik di masyarakat, karena itu Ibu mengumpulkan kalian dalam satu tempat."

"Ternyata itu memang ruang karantina..."

"Ya, begitulah. Sungguh menyenangkan ketika melihat tingkah murid-murid seperti kalian berdua ini. Mungkin Ibu cuma sekadar mau tahu bagaimana jadinya kalau kalian akrab." Beliau lalu tertawa dengan senangnya.

Kemudian, seperti yang sudah-sudah, beliau dengan cepat mengunci pergelangan tanganku. Kedua lengan beliau sudah menguciku di seputaran tubuhnya, merangkul tanganku di setiap sisinya. Bela diri campuran ini pasti pengaruh dari manga. Sikutku sampai mengeluarkan bunyi patahan seiring dengan payudara besar Bu Hiratsuka yang menggesek-gesek lenganku.

...ampun, deh. Lagi-lagi aku kesulitan untuk lari dari jurus beliau yang satu ini. Sungguh menjengkelkan, tapi lama-lama aku pun akhirnya terpaksa pasrah.

Sudah cukup, aku tak tahan lagi.

Saat itu sesuatu terlintas di pikiranku, karena jumlahnya ada dua, maka seharusnya kata itu disebut dengan lengkap, yaitu, sepasang payudara.


— II —


Sesampainya di paviliun, Bu Hiratsuka akhirnya melepaskanku. Mungkin beliau tak lagi cemas kalau aku bakal lari. Biar begitu, beliau pergi tanpa melepas pandangannya padaku. Tak ada sedikit pun rasa kasihan yang beliau tampakkan, bahkan tak ada ucapan seperti, Maaf, Ibu harus meninggalkanmu di sini, atau, Ibu benci harus berpisah denganmu... yang ada justru beliau memberi kesan membunuh, seolah hendak berkata, Kau tahu apa jadinya kalau mencoba lari, bukan?

Aku lanjut berjalan sambil tersenyum masam.

Ujung gedung paviliun ini sudah dipenuhi hawa dingin dan rasa sunyi yang mencekam.

Harusnya ada klub lain di sekitar sini, tapi tak sekalipun aku pernah mendengarnya. Mungkin saja ini karena perempuan itu, atau mungkin ini dampak dari aura aneh yang dipancarkan Yukino Yukinoshita.

Kutempelkan tanganku pada pintu, bermaksud ingin membukanya. Hal semacam ini bisa membuatku depresi, namun aku benci kalau harus lari. Semua akan baik-baik saja andai aku tak membiarkannya berlaku semena-mena terhadapku. Aku tak boleh menganggap jika berduaan dengannya di tempat ini bukanlah sebuah masalah. Aku harus berpikir bagaimana cara untuk membiasakan diri sekaligus menjaga jarak darinya.

Andai tak ada sesuatu di antara kami, tak mungkin aku merasa canggung dan tak nyaman begini. Karenanya, hari ini akan kugunakan satu-satunya cara untuk melenyapkan rasa takut akan kesendirian itu: Jika kau melihat orang asing, anggaplah ia memang benar-benar orang asing. Sayangnya, tak ada cara lagi selain cara tersebut.

Rasa canggung timbul akibat persepsi semacam, Kalau aku tak membuka pembicaraan... atau, Jika aku tak berusaha mencoba akrab dengannya... yang selalu muncul di dalam pikiran.

Sama halnya ketika ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah kita saat di dalam kereta, dan kita berpikir Sial! Kami jadi berduaan begini! Canggung banget rasanya!

Jika aku masih berpikiran seperti itu, maka semua ini takkan bisa berakhir. Semoga saja ia tetap diam dan asyik membaca bukunya.

Begitu pintu ruang itu terbuka, kulihat Yukinoshita sedang asyik membaca, posisi duduknya masih sama persis seperti kemarin.

"..."

Baiklah, pintu sudah kubuka, jadi apa aku juga perlu membuka pembicaraan? Pada akhirnya, aku pun hanya membungkuk kemudian berjalan melewatinya.

Yukinoshita memandangku sekilas lalu segera beralih kembali pada buku bacaannya.

"Kau sudah ada di tempat terasing begini — jangan-jangan kau ini memang diasingkan, ya?"

Ia benar-benar tak menghiraukanku dan rasanya diriku ini dianggap angin lalu saja. Kok situasi ini mirip seperti waktu aku di ruang kelas?

"Itu salam yang aneh. Kalau boleh tahu, itu salam dari suku mana, ya?"

Karena tak tahan akan kata-kata pedasnya, lebih baik kuucapkan saja salam yang kupelajari sewaktu TK dulu.

"...selamat siang."

Yukinoshita langsung tersenyum. Ini mungkin pertama kalinya ia menunjukkan senyumnya padaku. Ketika ia tersenyum, kusadari lesung pipi dan gigi taring yang mirip vampir itu jadi tampak terlihat. Memang kelihatan manis, sih, namun aku tak peduli hal sepele semacam itu.

"Selamat siang. Kupikir kau tak mau lagi datang ke sini." Itu senyum yang melecehkan, sebuah pelanggaran yang setingkat dengan Gol Tangan Tuhan Maradona.[11]

"Ja-jangan terlalu dipusingkan! Kalau aku tak kemari, sama saja aku mengaku kalah, cuma itu! Ja-jangan salah paham dulu!"

Pembicaraan tadi justru agak mirip pembicaraan yang ada dalam kisah komedi romantis. Bedanya, aku yang jadi pihak perempuan dan Yukinoshita yang jadi pihak laki-lakinya. Dan bukan seperti ini yang aku mau.

Komentarku tak tampak menarik perhatiannya. Sebaliknya, ia malah melanjutkan pembicaraan seakan tak peduli dengan tanggapanku.

"Padahal sudah dilecehkan sedemikian rupa, wajar kalau tak mau datang lagi... jangan-jangan kau masokis, ya?"

"Bukan..."

"Kalau begitu, penguntit?"

"Jelas bukan. Hei, kenapa kaukira aku mau menguntitmu?"

"Oh, jadi bukan, ya?"

Kurang ajar... ia memiringkan kepalanya dan memasang wajah seolah bingung! Kuakui saat itu ia tampak manis, tapi aku tak peduli sama sekali!

"Ya iyalah! Aku tak terima kau langsung beranggapan begitu."

"Ya, soalnya aku sempat yakin kalau kau suka padaku." Ujar Yukinoshita dengan ekspresi datar di wajah dinginnya.

Yukinoshita memang punya wajah yang manis, bahkan untuk orang sepertiku yang tak punya teman ini, sampai ikut mengakuinya.

Sudah pasti ia perempuan paling cantik di sekolah ini.

Meski demikian, sikap percaya dirinya itu sudah di luar kewajaran.


— II —


"Bagaimana bisa kau berpikiran senaif itu? Memangnya ulang tahunmu itu dirayakan tiap hari? Atau kau mau bilang, kalau kau disayang Sinterklas, begitu?" Jika bukan, berarti ia sedang terjebak dalam halusinasi kehidupan bahagianya sendiri.

Bila dirinya masih terus-terusan bersikap begini, maka keadaan yang sekarang sudah pasti tak jauh beda seperti sedang mengalami hal menyakitkan. Sebaiknya ia mengganti sikapnya itu sebelum datang kata terlambat.

Dari benakku yang terdalam, aku jadi sedikit merasa kasihan padanya. Sebaiknya aku berhati-hati dalam memilih kata-kata dan langsung menyampaikan intinya saja.

"Yukinoshita. Kau memang enggak normal. Kau benar-benar suka berhalusinasi. Bedah dulu otakmu sana."

"Jadi kau bermaksud bicara blakblakan begitu demi kebaikanku?" Yukinoshita tertawa kecil sembari menatap ke arahku, padahal ia tak tampak seperti sedang terhibur – menakutkan.

Yah, yang penting aku tak mengatainya dengan kata-kata sampah atau umpatan semacamnya. Setidaknya ia sempat memujiku tadi. Jujur, andaikata ia tak punya wajah yang manis, mungkin dari dulu perempuan ini sudah kuhajar.

"Jika dilihat dari rendahnya sisi pergaulanmu, kau boleh saja menganggapku layaknya orang aneh. Meski begitu, sudah sewajarnya kalau aku sampai berpikir seperti tadi. Itu sesuatu yang kudapatkan dari pengalaman." Yukinoshita tertawa sambil mengangkat bahunya dengan bangga. Fakta bahwa Yukinoshita tetap terlihat menarik meski dengan sikap yang seperti itu masih menjadi misteri.

"Dari pengalaman, kaubilang..."

Ia pasti mau menyinggung soal pengalaman asmara. Hal yang sudah tampak jelas jika melihat dari penampilan luarnya.

"Jadi kau mau bilang kalau kehidupan sekolahmu itu lebih menyenangkan..." Gerutuku.

"Ya, begitulah. Kau memang benar. Tak salah jika kubilang kalau kehidupan sekolahku masih lebih baik." Jawab Yukinoshita.

Mengenyampingkan hal tersebut, entah kenapa seperti ada perasaan terasing yang tampak di mata Yukinoshita saat ia menatap ke arahku. Karenanya aku sempat berpikir bila lekukan halus yang tergurat dari dagu hingga ke lehernya itu terlihat begitu indah. Aku malah memikirkan hal yang tidak-tidak, mati aku.

Pada saat memandangnya, aku jadi tersadar sesuatu. Yah, jika tetap bersikap seperti biasa, aku pasti akan langsung memerhatikan hal tadi, namun sifat angkuh dari lahir yang selalu jadi pembawaan Yukinoshita itu tak mungkin bisa membuat orang betah berhubungan dengan dirinya. Oleh karenanya, tidaklah mungkin juga ia punya kehidupan sekolah semenyenangkan itu.

Mungkin hal ini harus kutanyakan sendiri...

"Hei, memangnya kau punya banyak teman?"

Yukinoshita langsung menoleh.

"...kalau begitu, pertama-tama, tolong jelaskan seperti apa posisi seseorang yang bisa disebut sebagai teman?"

"Ah, sudah-sudah, tak usah dibahas. Itu kalimat yang harusnya diucapkan oleh seseorang yang tak punya teman saja."

Contohnya aku.

Jika dipikir baik-baik, aku sungguh tak tahu seperti apa batasan seorang teman itu. Kuharap ada yang mau menjelaskan padaku di mana letak perbedaan antara yang namanya teman dengan kenalan. Apakah orang yang cuma sesekali kita temui bisa kita sebut sebagai teman dan yang setiap hari kita temui bisa kita sebut sebagai saudara? Mido faado reshi sorao?[12] Kenapa cuma bunyi o saja yang tak ada dalam solmisasi di lagu itu? Hal yang demikian sudah terlalu mengusik pikiranku.

Dan yang paling penting, ada sedikit perbedaan mendasar antara istilah teman dengan kenalan. Hal yang sudah jelas kelihatan, terutama bagi kalangan perempuan.

Bahkan untuk mereka yang masih satu kelas, rupanya ada jenjang tersendiri yang menggolongkan antara teman sekelas, teman main dan sahabat karib. Jika demikian, berarti ini hanya masalah soal dari mana perbedaan itu berasal. Tapi aku cuma asal bicara saja, sih.

"Yah, karena kurasa kau tak punya teman, maka tak jadi masalah."

"Aku tak pernah bilang begitu. Lagi pula, sekalipun aku tak punya teman, itu juga takkan membuatku rugi."

"Iya, iya. Kau benar." Cepat-cepat saja kusanggah agar terhindar dari kata-katanya yang hampir keluar seiring dengan tatapan sinis yang ia tujukan padaku.

"Yang kumaksud, kenapa kau yang begitu disukai banyak orang ini, justru tak punya teman?" Tanyaku. Yukinoshita tampak sedikit kesal. Setelahnya, ia memalingkan pandangannya karena tak senang dan mulai bicara.

"...kau takkan pernah mengerti." Yukinoshita sedikit menggembungkan pipinya lalu berpaling.

Itu karena aku dan Yukinoshita adalah pribadi yang benar-benar berbeda dan aku tak pernah tahu sedikit pun apa yang ada di pikirannya. Sulit untuk mencerna maksud perkataan yang ia tujukan padaku. Tak peduli sekeras apa aku berusaha, pada akhirnya kita takkan pernah saling mengerti.

Meskipun ada satu hal dari Yukinoshita yang mungkin bisa kupahami, yaitu kesendiriannya.

"Bukannya aku berlagak sok mengerti. Menjadi penyendiri berarti kau punya banyak waktu berharga untuk dirimu sendiri. Kau bisa meyakinkan dirimu kalau menjadi penyendiri tidaklah menjijikkan."

"..."

Hanya dalam hitungan detik Yukinoshita melihat ke arahku, sebelum ia kembali mengarahkan wajahnya ke depan dan memejamkan mata. Dilihat dari sikapnya, aku merasa kalau ia sedang memikirkan sesuatu.

"Meski kau suka menyendiri, namun bila tahu-tahu ada yang sok perhatian padamu pasti kau akan merasa terganggu. Aku paham kok perasaanmu itu." Kataku.

"Aku heran kenapa kau bertingkah seolah kita ini sejajar. Justru itulah yang membuatku terganggu." Yukinoshita mengibaskan rambutnya ke belakang, mengisyaratkan bahwa ia memang sedang terganggu.

"Yah, meski kau dan aku ada di standar yang berbeda, kurasa sedikit banyak kita punya perasaan yang sama dalam menyikapi kesendirian. Walau itu terasa sedikit menjengkelkan." Saat memberitahukan kejengkelannya itu, Yukinoshita tampak seolah menyunggingkan sebuah senyum getir. Bisa dibilang, ia lebih terlihat muram ketimbang terlihat tenang.

"Apa maksudmu kalau kita ada di standar yang berbeda... aku sendiri punya pandangan pribadi mengenai makna kesendirian. Bahkan kau bisa menjulukiku sang raja penyendiri. Lagi pula, hal konyol jika kausebut dirimu itu penyendiri."

"Hah... kau bisa setegar itu menerima keadaanmu meski sadar jika itu sia-sia..." Yukinoshita terkejut dan melihatku dengan penuh keheranan.

"Lalu kau sendiri, padahal disukai banyak orang, tapi malah menyebut dirimu sebagai penyendiri. Kau itu aib bagi seluruh penyendiri di dunia ini, tahu." Jawabku dengan penuh rasa kemenangan dan puas saat melihat ekspresinya.

Akan tetapi Yukinoshita segera tertawa sambil memasang wajah menghina.

"Sebenarnya itu perkara biasa. Kalau kulihat lagi, ternyata tubuhmu hanya bisa menangkap Refleks Spinalis saja ketimbang Refleks Kranialis.[13] Maksudku, memangnya kau mengerti rasanya disukai oleh banyak orang? Astaga aku lupa, kau tak pernah mengalami hal tersebut, ya? Maaf, aku kurang menjaga perasaan."

"Kalau dari awal kau memang berniat mau menjaga perasaanku, mestinya tak mungkin kau sampai bersikap begitu..."

Memangnya sikap seperti itu masih bisa dianggap sopan? Perempuan ini memang kurang ajar.

"Terus, seperti apa rasanya jadi pujaan banyak orang?" Tanyaku. Yukinoshita lalu memejamkan matanya seakan sedang memikirkan jawaban atas hal tersebut.

Setelah sedikit berdeham, ia kemudian mulai bicara. "Bagi orang yang tak populer seperti dirimu, ini mungkin hal yang kurang enak untuk didengar."

"Tenang saja, aku sudah kenyang kalau soal yang begitu." Aku menjawab. Yukinoshita pun langsung menarik napas dalam-dalam.

Tak mungkin aku bisa lebih kenyang lagi. Pikiranku sudah penuh dengan perdebatan kecil tadi. Ini terasa seperti aku bisa memakan mi ramen sebanyak apa pun itu.

"Karena dari dulu aku punya paras yang manis, para lelaki cenderung mendekatiku, karena mereka semua memendam rasa kepadaku."

Aku menyerah, deh. Rasanya seperti ia menambah dua kali lipat sayuran dan vetsin ke dalam mi ramenku. Walau sudah berusaha tegar dan berlagak kuat, aku tak boleh menyerah begitu saja. Aku harus menahan diri dan bersabar mendengarkannya bicara.

"Aku yakin kalau hal itu bermula saat tahun terakhirku di SD dulu. Ya, memang semenjak itu..." Ekspresi Yukinoshita tampak berbeda dari sebelumnya. Kini ia jadi terlihat sedikit murung.

Kalau dihitung, itu sudah sekitar lima tahun yang lalu. Bisa-bisanya ia bercerita seakan dirinyalah yang dilimpahi kasih sayang oleh lawan jenis?

Jujur, tak pernah sekalipun kupahami alasan kenapa aku dicap jijik oleh lawan jenis selama lebih enam belas tahun hidupku ini. Begitu pula alasan kenapa tak ada cokelat yang kudapatkan saat Hari Valentine bahkan dari ibuku sendiri, yang membuatku semakin tak memahami dunia ini. Perkataannya tadi tampak seolah menunjukkan bahwa ia merupakan satu dari sekian banyak orang yang bersorak atas gemilangnya hidup mereka. Apa ia sengaja ingin pamer di depanku?

Namun cuma itu saja, 'kan?

Meskipun ini hanya masalah perbedaan yang digambarkan layaknya vektor positif yang terarah dari vektor negatif pada skala ukur,[14] tetap saja akan kurang manusiawi jika aku menanggapinya dengan terus terang. Itu sama saja seperti berdiri telanjang di tengah hujan badai. Akan terasa kurang manusiawi sama halnya seperti melecehkan dirinya ketika di tengah diskusi kelas.


— II —


Aku teringat dulu ketika kuberdiri sendirian di depan papan tulis, dan seisi kelas mengelilingku sambil menyerukan, Min-ta-ma-af! Min-ta-ma-af! Dengan nyaringnya disertai tepuk tangan yang bergemuruh. Keadaan saat itu bisa dibilang seperti di neraka.

...pengalaman yang benar-benar menyakitkan. Itulah kali pertama dan terakhirku menangis di sekolah.

Namun kini aku baik-baik saja.

"Setidaknya, disukai banyak orang, masih lebih baik ketimbang terus-menerus dibenci. Kau memang enggak beres. Benar-benar enggak beres." Umpatku ketika kenangan pahit barusan terlintas kembali di pikiranku.

Yukinoshita sedikit berdesah. Ia lebih terlihat seolah sedang tersenyum, walau ekspresi yang ditunjukkannya jelas berbeda.

"Bukan berarti seakan akulah yang menginginkan hal itu." Tegas Yukinoshita yang kemudian lanjut berbicara. "Sebaliknya, jika mereka memang tulus suka padaku, bisa jadi itu hal yang bagus."

"Apa?" Tanpa sadar aku memintanya untuk mengulangi ucapan yang tak begitu jelas terdengar tadi. Dengan tampang serius, ia lalu menoleh ke arahku.

"Bagaimana sikapmu, jika di antara temanmu ternyata ada yang begitu populer di kalangan perempuan?"

"Pertanyaan konyol. Aku kan enggak punya teman, jadi enggak perlu risau mengenai itu." Jawabku menggebu-gebu. Seperti yang biasanya pria dewasa lakukan. Meski itu hasil pikiranku sendiri, aku sempat kaget karena bisa secepat itu menyanggah ucapannya.

Yukinoshita tampak terkejut. Ia terbengong seolah kehilangan kata-kata.

"...tunggu sebentar, kupikir kau mau mengatakan hal keren tadi." Yukinoshita menempelkan tangan di dahinya sembari menundukkan kepala. "Anggaplah kalau itu hanya pengandaian, dan beri aku jawaban."

"Kubunuh anak itu." Aku tak tahu apakah jawaban spontan itu bisa memuaskannya, namun Yukinoshita menganggukkan kepalanya seolah mengerti.

"Lihat, kau pun mau menyingkirkan temanmu itu, 'kan? Orang yang berperilaku begitu memang tak jauh beda dengan orang barbar yang tak berakal. Bahkan lebih tak berakal dari hewan sekalipun... dan sekolah tempatku belajar banyak diisi oleh orang-orang seperti itu. Walau aku yakin jika mereka berbuat demikian supaya orang-orang mau mengakui keberadaan mereka." Yukinoshita pun segera tertawa seakan mengejek.

Perempuan yang dibenci oleh kalangannya sendiri. Kategori seperti itu sudah pasti ada. Tak percuma aku bersekolah sampai dengan sepuluh tahun ini. Bukan berarti aku bisa paham karena berada di tengah-tengah mereka, melainkan karena berada di luar kalangan tersebutlah makanya aku bisa mengerti.

Dan posisi Yukinoshita hampir selalu berada di tengah-tengahnya, alhasil, sudah pasti ia dikepung dari segala arah. Tak bisa kubayangkan seperti apa hidup yang sudah dijalaninya selama ini.

"Sewaktu SD dulu, sepatu sekolahku disembunyikan sebanyak enam puluh kali, yang lima puluh di antaranya merupakan ulah para perempuan di kelasku."

"Aku jadi penasaran seperti apa sepuluh sisanya."

"Tiga di antaranya perbuatan anak lelaki. Dua lagi, karena guru yang menyimpankannya untukku. Lalu lima sisanya, seekor anjing pelakunya."

"Ternyata persentase perbuatan anjing lumayan tinggi."

Hal itu sudah di luar jangkauan imajinasiku.

"Namun hal tadi bukanlah bagian yang paling mengejutkan."

"Tak perlu bilang begitu, aku juga tak berniat ingin tahu, kok!"

"Berkat kejadian tersebut, setiap hari aku selalu membawa pulang sepatu sekolahku ke rumah, bahkan sampai serulingku pun ikut kubawa pulang." Ujar Yukinoshita dengan nada memelas. Tak sengaja aku jadi merasa simpati padanya.

Bukankah ia berbuat demikian karena sebuah alasan? Yaitu sebuah fakta yang mirip dengan yang pernah kulakukan dulu. Sebuah fakta yang terjadi ketika masih SD, yang membuatku merasa bersalah karena sewaktu tak ada siapa-siapa di kelas aku bebas menukar corong serulingku dengan corong milik anak lain.

Aku jadi merasa prihatin terhadap Yukinoshita.

Itu benar. Itu benar. Hachiman. Jangan. Berkata. Bohong.

"Itu pasti hal berat bagimu."

"Ya, memang berat. Semua itu karena parasku yang manis."

Kali ini, entah kenapa aku tak merasa jengkel saat mendengar ucapan yang disertai senyum getirnya tadi.

"Namun apa boleh buat. Tak ada manusia yang sempurna. Mereka lemah, berpikiran jelek dan gampang iri. Bahkan mereka berusaha menjatuhkan sesamanya. Anehnya lagi, semakin diberkati seseorang, maka semakin sulit baginya untuk hidup di dunia ini. Bukankah itu hal yang ironis? Itu sebabnya aku ingin mengubah dunia ini beserta orang-orang di dalamnya." Tatapan Yukinoshita tampak begitu serius dan di dalamnya tersimpan sebuah kesinisan yang mampu membekukan orang yang memandangnya.

"Bukankah itu terlalu gila, memaksakan dirimu ke dalam rencana yang tak wajar itu?"

"Mungkin kau benar. Tapi itu masih lebih baik ketimbang rencanamu yang hanya berdiam diri, membusuk kemudian mati... Aku benci caramu yang menganggap kelemahan sebagai hal positif." Ucap Yukinoshita sambil memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.

Yukino Yukinoshita memang perempuan yang cantik. Sebuah fakta tak terbantahkan yang sampai memaksaku untuk mengakuinya. Dari luar ia tampak begitu mengagumkan dengan nilai sempurna dan tanpa cela yang ia miliki. Akan tetapi, pribadinya yang keras justru menjadi sebuah borok bagi pencitraan karakternya. Hal demikian memang bisa membuat jelek citra seseorang. Namun ada alasan tersendiri kenapa ia masih mau memendam borok tersebut.

Aku memang tak begitu saja percaya dengan apa yang dikatakan Bu Hiratsuka. Tapi untuk seseorang yang begitu diberkati, Yukinoshita ternyata cukup menderita.

Pasti tak sulit menyembunyikan hal tersebut dengan berbohong pada diri sendiri dan orang di sekitarnya. Hampir semua orang di dunia ini berbuat begitu. Seperti halnya murid yang mendapat nilai tinggi di ujian, dan berkata kalau ia cuma beruntung saat mengerjakan soal. Begitu pula dengan gadis bertampang pas-pasan yang iri pada gadis yang lebih cantik, dan memaksakan anggapan bahwa dirinya jelek karena lemak yang ada di tubuhnya.

Tapi Yukinoshita tak seperti itu.

Ia tak pernah membohongi dirinya sendiri.

Bukan aku mau memuji sikapnya. Namun lebih karena kami punya kesamaan.

Dan selepas pembicaraan ini berakhir, Yukinoshita mengarahkan kembali pandangan pada buku bacaannya.

Ketika melihatnya, tiba-tiba ada perasaan aneh yang kurasakan.

Ada keyakinan tersendiri bahwa aku dan dirinya memang punya kesamaan. Kupikir ini akan bertentangan dengan prinsipku.

Namun entah kenapa keheningan seperti ini terasa nyaman bagiku.

Rasanya detak jantung ini berdetak semakin cepat. Seakan ingin lebih cepat dari irama jarum jam.

Mungkin...

Mungkin ia dan aku bisa...

"Begini, Yukinoshita... jika kau mau, aku bisa jadi te—"

"Maaf. Itu mustahil."

"Haaah? Tapi aku belum selesai bicara!"

Yukinoshita spontan menolak. Dan parahnya lagi, ia memasang wajah yang seakan jijik terhadapku.

Begitulah, gadis ini memang tak ada manis-manisnya. Kisah komedi romantis beserta isinya mending meledak saja sana.


Catatan Penerjemah[edit]

  1. Mengacu pada penjara besar Cassandra yang dikuasai oleh Ken-Oh (Raoh sang Raja Tinju, 拳王) yang ada dalam manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) Penjara itu juga dikenal dengan sebutan Kota Ratapan Iblis dan digunakan untuk memenjarakan para ahli bela diri yang gulungan kunonya telah direbut oleh Ken-Oh. Semua itu dilakukan demi ambisi Ken-Oh yang ingin menciptakan aliran bela diri pamungkas.
  2. Merujuk pada julukan yang disematkan untuk Kenshiro dalam manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara). Karena reputasinya yang sering menyelamatkan kaum lemah dari kumpulan geng yang berkeliaran di wilayah yang porak-poranda karena bencana, sehingga orang-orang pun menjulukinya sebagai Penyelamat Akhir Zaman (世紀末救世主, Seikimatsu Kyuuseishu).
  3. Yang dimaksud adalah pertunjukkan hiburan berupa musik, komedi, sandiwara, bahkan tari-tarian yang menggunakan cosplay. Cosplay sendiri berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film animasi.
  4. Berdasarkan karakter Souza/Souther dari manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) yang memiliki kelainan tubuh Dextrocardia Situs Inversus Totalis di mana jantung serta titik vital tubuh lainnya menjadi terbalik dari kiri ke kanan. Karakter tersebut memiliki kenangan tragis yaitu membunuh gurunya sendiri, oleh karena itu ia menampik segala bentuk perasaan cinta dan kasih sayang. Ia kemudian menyebut dirinya sebagai Kaisar Suci (聖帝, Seitei) dan memperbudak anak-anak untuk membangun Makam Kaisar Salib Suci (聖帝十字陵, Seitei Juuji Ryou), sebuah tempat pemujaan yang diperuntukkan bagi gurunya.
  5. Kounibyou (高二病) secara harfiah diterjemahkan menjadi Penyakit Murid SMA Kelas 2. Dicirikan mirip dengan chuunibyou (Penyakit Murid SMP Kelas 2) di mana para pengidapnya memiliki rasa percaya diri yang terlalu berlebih.
  6. Keigo Higashino adalah penulis novel kawakan dari Jepang yang terkenal dengan karya-karya misterinya sedang Koutarou Isaka adalah penulis khusus kisah-kisah detektif.
  7. Gagagaga Bunko adalah label penerbit light novel dari Perusahaan Penerbit Shogakukan. Oregairu adalah salah satu light novel terbitannya. Sedang Kodansha Box adalah bagian dari Perusahaan Penerbit Kodansha.
  8. Pernyataan menurut buku aslinya (Bahasa Jepang) adalah Hataraita make (働いたら負け). Itu adalah ucapan yang umum dilontarkan para pelajar maupun pengangguran yang meyakini bahwa tak ada gunanya bekerja jika hasil yang didapat tak sepadan dengan yang dikerjakan.
  9. Otaku adalah istilah yang ditujukan untuk para penggemar fanatik subkultur asal Jepang seperti anime dan manga.
  10. Concrete road adalah lagu yang dibuat oleh Shizuku yang merupakan karakter utama dari film Mimi wo Sumaseba produksi Studio Ghibli. Seiji Amasawa yang merupakan lawan main Shizuku, bersikap kejam pada awalnya dan menyuruh Shizuku untuk menyerah ketika menggubah lagu Concrete Road. Setelahnya, Shizuku menggerutu sambil berkata, Kurang ajar berkali-kali sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya. Hachiman berpikir begitu untuk menggambarkan sedemikian bencinya ia pada Yukinoshita. Concrete Road sendiri adalah parodi dari lagu Take Me Home, Country Road yang dipopulerkan oleh John Denver.
  11. Mengacu pada kejadian sewaktu Maradona mencetak gol dengan tangannya saat pertandingan perempat final Piala Dunia Tahun 1986 antara Argentina melawan Inggris, dan seharusnya gol tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran Handball.
  12. Merupakan salah satu penggalan lirik dari lagu tema acara anak-anak, ‘Do-Re-Mi-Fa-Donuts’. Hachiman bermaksud menekankan fakta bahwa dalam solmisasi (do-re-mi-fa-sol-la-si) seharusnya tak diakhiri dengan bunyi 'o', melainkan bunyi 'si'.
  13. Refleks Spinalis adalah refleks yang jika konektornya ada pada sumusum tulang belakang, contohnya: Gerakan menarik tangan saat menyentuh benda panas atatu menarik kaki ketika terkena duri. Sedangkan Refleks Kranialis adalah refleks yang jika konektornya terdapat di otak, contohnya: Gerakan mata terpejam karena kilat.
  14. Vektor adalah istilah dalam matematika dan fisika yang mengacu pada sebuah obyek geometri yang memiliki besaran dan arah.
Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 3