Kokoro Connect (Indonesia):Jilid 2 Bab 5

From Baka-Tsuki
Revision as of 14:04, 31 January 2016 by Arisa4869 (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Chapter 5 - Bekerja Sama Membangkitkan yang Tumbang

Meski Taichi beradu mulut dengan Aoki dan Nagase kemarin, ia masih pergi ke sekolah seperti biasa.

Sebenarnya, dia pikir dia terlalu sombong dan egois sehingga dia lebih baik tetap di rumah.

Meski begitu, dia memiliki fisarat buruk bahwa dia akan mendapat konsekuensi yang lebih buruk jika dia benar-benar tetap tinggal di rumah.

Masih ada adik dan orang tuanya di rumah. Tidak sepenuhnya aman jika dia membuat kekacauan di sana.

Lagipula, Nagase pasti akan menyesal jika dia melakukan itu. Entah hatinya atau bagian lain, Taichi tidak ingin menyakitinya lagi.

Pada waktu yang sama, ia merasa ragu karena ia tak tahu apa yang akan dilakukannya di luar. Jika dia rentan untuk menyakiti Nagase ketika menghadapinya, tampaknya itu adalah keputusan yang gegabah. Berada di hutan tanpa jalan keluar, dia tidak tahu ke mana harus pergi atau jalan mana yang benar.

Bagaimanapun juga, ia masih berhasil pergi ke sekolah.

Namun, ia masih gelisah karena dia akan membuat kekacauan jika dia mendekati orang lain.

Dia harus bertahan hari itu dan menjaga jarak dengan semua orang, memfokuskan pikirannya hanya pada pelajaran.

Ketika Nagase mendekatinya sekali, ia dengan sengaja menjauhkan diri darinya. Ia mengiriminya pesan yang berkata ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menjauhinya.

Ia juga mengirim pesan permintaan maaf atas apa yang dikatakannya kemarin pada Aoki.

Tetapi, ia belum menerima jawaban meski telah menunggu lama.

Ketika dia dan Aoki sedang dalam pelajaran olahraga, Aoki mengabaikannya.

Taichi tidak bisa mengumpulkan keberanian untuk pergi ke ruang klub.

Esok harinya, Taichi melakukan hal yang sama.

Tak pernah dalam waktu yang lama ia hanya pergi ke sekolah tanpa satu pun percakapan dengan Nagase atau Inaba Himeko. Biasanya, mereka akan berbicara dengan satu sama lain paling tidak sekali pada saat istirahatdalam sehari.

Watase dan teman-teman lainnya berkali-kali bertanya dengan terkejut, "Apa kalian tidak apa-apa?" Jika jarak di antara mereka semakin jauh, mungkin teman-teman sekelas mereka akan penasaran apa yang sedang terjadi di antara mereka.

Lalu masih ada masalah Kiriyama. Sebenarnya itu adalah masalah terbesar.

Kiriyama masih belum ke sekolah, termasuk kemarin dan hari ini. Sejak kekacauan di stasiun, dia telah absen selama lebih dari seminggu.

Diduga—didengarkan diam-diam, sebenarnya—bahwa Nagase mengunjungi Kiriyama sendiri kemarin, tetapi tidak membuahkan hasil. Nagase bilang dia berencana mengunjunginya lagi hari ini.

Teman-teman Kiriyama di kelasnya sepertinya juga melakukan hal yang sama, meski mereka tidak mengalami kemajuan, karena mereka tidak tahu alasan sebenarnya dibalik ketidakhadirannya.

Memikirkan solusi untuk masalahnya itu penting tapi masalah mungkin terjadi jika hasrat Taichi terlepas pada saat itu; karena itu, lebih baiklebih baik mengumpulkan anggota klub dan memikirkan solusinya bersama. Tapi tetap saja, mereka mungkin menyakiti satu sama lain jika mereka berkumpul bersama karena proses berpikir mereka mungkin membuat mereka emosional, terutama dirinya, , sombong dan hanya memikirkan hal-hal yang penting bagi dirinya sendiri.

Ia dapat dengan mudah menyakiti yang lainnya. Dia tahu melakukan hail in adalah ide terburuk, namun, orang terburuk di sini adalah dirinya sendiri.

Tidak berhasil: dia tidak bisa melakukan ini.

Ia hanya dapat membiarkan waktu berlalu selagi masalahnya memburuk hari demi hari.

Ia tak dapat mengumpulkan keberanian untuk pergi ke ruang klub lagi hari ini.

Seminggu lagi telah berlalu.

Ia mengunci dirinya di kamarnya tanpa keluar pada akhir minggu. Adiknya sangat mengkhawatirkan kondisinya.

Takut akan terlepasnya hasrat, dia menghabiskan waktu sendiri, waktu yang terasa sungguh terlalu lama.

Ia harus memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang, namun ia tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukan dalam renungannya.

Dia tidak mau melakukan apapun, juga tidak mau bersantai-santai sendiri.

Pernah sekali waktu ia menghancurkan jam beker di depannya ketika hasratnya terlepas.

Amarah penghancur yang tersembunyi dalam dirinya mengejutkannya.

Dia tidak tahu akan jadi apa dia nantinya.

Dia takut dia akan menjadi seseorang yang akan mennyakiti atau merusak sesuatu yang penting baginya.

Jika sendirian, ia akan tenggelam dalam rawa, tidak dapat melakukan apa-apa.

Melepaskan pikiran-pikirannya yang berlebihan, dia pergi ke sekolah seperti biasa pada hari Senin.

Dia berusaha untuk menahan diri dari memikirkan hal-hal yang akan membuat hatinya sedih. Ia membiarkan pikirannya berkelana jauh dan berkonsentrasi pada hal yang tepat di depannya.

Sebenarnya, dia tidak dapat mengontrol pikirannya dengan cara yang menyenangkan. Setiap kali ada yang terjadi, berbagai hal akan melintasi pikirannya.

Bagaimanapun juga, tidak ada hal-hal yang disebabkan oleh lepasnya hasrat yang mempengaruhi orang di sekitarnya.

Apakah itu hanya keberuntungannya? Ataukah dia memang orang seperti ini?

Taichi tidak berbicara pada siapapun di klub juga hari ini.


□■□■□


Pelajaran keenam hari Senin adalah waktunya pertemuan kelas 1C. Ketua kelas—Fujishima Maiko—berdiri di depan meja guru, mendiskusikan masalah tentang kegiatan karyawisata pada akhir minggu. Taichi mengingatkan dirinya untuk berkonsentrasi pada apa yang sedang terjadi sekarang.

"Diskusi ini menjadi semakin membosan. Tidakkah bagus jika semuanya diputuskan untuk kita pada awalnya?" Kata Watase, yang duduk di sebelah Taichi. Mereka berdua duduk di dekat satu sama lain pada semester pertama juga semester kedua.

"Aktivitas ini membutuhkan pertisipasi semua orang, kurasa."

Setiap kelas di kelas satu SMA Yamaboshi dapat memutuskan mau pergi ke mana dan apa yang akan dilakukan pada karyawisata musim gugur. Sudah berkali-kali mereka mendiskusikan hal ini dalam pertemuan kelas, dan diskusi kali ini adalah yang terakhir.

"Betapa melelahkan. Ini kan hanya jalan lintas alam biasa. Ini pasti karena para guru bermalas-malasan dan menyuruh para murid untuk memutuskan."

"Daripada itu katakan sesuatu yang membantu, dong."

"Hei, lagipula yang mulia Fujishima ada di sini. Hari ini pun dia menakjubkan dan cantik."

Watase menyebutkan nama Fujishima dari waktu ke waktu. Apa dia super masochist?

"Tapi kenapa 'yang mulia'?"

Taichi menoleh untuk melihat Fujishima. Rambutnya disisir ke belakang dan poninya juga disisir dengan rapi seperti biasanya.

"Jadi, mari bicara tentang kelompok, di mana setiap kelompok akan melakukan aktivitas utama dalam kunjungan ini—membuat nasi kare."

Wali kelas mereka, Gotou Ryuuzen, pergi setelah mengatakam, "Terima kasih banyak. Aku akan membiarkan Fujishima mengambil alih di sini," dan Fujishima dengan cepat mengambil alih.

"Aku berencana membuat delapan kelompok, setiap kelompok beranggotakan lima orang. Sebenarnya aku ingin membuat sepuluh kelompok, tapi karena kelas 1A juga akan menggunakan fasilitas kita, aku mengubahnya menjadi delapan jadi kita tidak akan kekurangan."

"Apakah akan ada terlalu banyak kelompok?"

"Bukankah akan lebih baik jika ada lebih banyak orang dalam satu kelompok?"

Para murid mulai mengutarakan pendapat (komplain) mereka.

"Apa yang kau bicarakan?" Kata Fujishima, menggelengkan kepala dengan pasrah.

Koko 2 00179-1-.jpg

"Memang penting untuk mengisi masa muda kita dengan memori bermain-main bersama teman-teman kita, tapi apakah kalian puas hanya dengan itu saja? Apakah tidak ada hal yang lebih penting?"

Kelas hening sejenak; semuanya berkonsentrasi pada apa yang akan Fujishima katakan.

"Benar. Hal itu adalah—cinta!"

Bagaikan menunjuk kriminal seperti detektif terkenal, dia menunjukkan jarinya dengan penuh semangat.

"Saat anggota kelompok lebih sedikit, semua orang harus berusaha lebih keras. Karena sedikitnya anggota kelompok akan mencegah fenomena itu—perempuan dan laki-laki berbicara dengan sesamanya—terjadi. Kemudian mereka akan, sedikit demi sedikit, mulai bekerja bersama, dan mengerti satu sama lain, atau bahkan melakukan kontak tubuh! Apa kalian benar-benar ingin kesempatan bertunasnya sesuatu ini hilang begitu saja? Oke, kutanya sekali lagi: kalian mau delapan kelompok? Atau kurang?"

"Ayo buat delapan kelompok! Fujishima-sama!" Teriak mayoritas laki-laki di kelas.

Watase juga ikut berteriak.

Meski begitu, sejak kapan Fujishima menjadi karakter seperti itu? Seharusnya dia lebih seperti ketua kelas yang tegas. Tunggu? Kenapa dia tidak bisa mengingat bagaimana dia terlihat ketika dia masih tegas?

"Aku mengerti. Jadi, karena ada dua puluh delapan orang pada kedua jenis kelamin, kita harus memisahkan perempuan dan laki-laki dalam masing-masing empat kelompok dengan tiga orang dan empat kelompok dengan dua orang. Jika ada yang menginginkan, kita dapat memperbolehkan untuk membentuk kelompok dengan jenis kelamin yang sama saja. Aku akan membuat penyesuaian jika ada kelompok yang tidak dapat terbentuk. Ayo mulai!"

Atas perintah Fujishima, semua orang meninggalkan kursinya dan memulai diskusi yang hangat. Taichi berpikir akan berpasangan dengan siapa. Jangankan laki-laki, apa dia harus mengajak Nagase dan Inaba menjadi anggota kelompoknya untuk mencegah hal yang tidak diinginkan? Meski begitu, mereka menjaga jarak mereka untuk mencegah bahaya. Tidak, jika dia berpikir terlalu banyak lagi, maka dia akan...Ia teringat saat Nagase terbentur lemari. Untung lukanya kecil dan bukannya luka yang fatal, , tapi jika waktu itu dia terbentur jendela, kaca, atau benda yang lain...

"Ayo masuk dengan kelompok yang sama denganku, Yaegashi!"

"Baik. Tidak masalah bagiku," Taichi menganggukkan kepala menyetujui perkataam Watase.

"Lalu, untuk perempuannya, aku ingin Fujishima!"

"Um..."

"Hei, mungking kau ingin Nagase dan Inaba bersamamu, tapi kali ini dilarang. Kau punya cukup waktu menggoda mereka pada aktivitas klubmu; tidakkah kau sebaiknya membantuku kali ini? Oke, aku akan merekomendasikan tempat kencan yang bagus untukmu lain kali. Aku janji," kata Watase, menggoncangkan pundak Taichi, matanya sangat serius.

"Sejak kapan aku menggoda cewek?"

Tidak tahu harus memikirkan atau melakukan apa, Taichimencoba mengalihkan perhatiannya pada topik lainnya.

"Watase, aku harus mengatakannya. Meski aku tahu kau populer dengan perempuan, dan pengalaman cintamu luas, Fujishima bukanlah orang yang kau inginkan."

"Karena itu aku menginginkannya. Selain itu, kenapa kau bicara seperti kau tahu banyak tentangnya?"

"I-Itu sulit dijelaskan dengn cepat."

Selagi Taichi menghindari pertanyaan Watase, ia melihat sekeliling kelas, sekilas melihat Nagase dan Inaba berbicara agak jauh darinya.

"Sebaiknya kita sekelompok, Inaban."

"Jagalah jarak dariku; tidakkah kau ingat apa yang kukatakan?" kata Inaba, sepertinya marah.

"K-Kau tidak harus mengatakan itu," kata Nagase dengan gontai.

Sepertinya suasananya kurang baik.

"Ini untuk kebaikanmu sendiri."

"Aku juga melakukan ini untuk kebaikanmu."

"Aku yang benar, bukan kau."

"Itu sulit untuk dikatakan!" Teriak Nagase.

Murid-murid di sekitarnya menoleh padanya dengan terkejut. Suasana yang kurang bagus itu menggelisahkan orang-orang. Apakah hasrat Nagase terlepaskan? Haruskah kuhentikan dia? Meskipun aku hentikan...

"Berhenti mengeluh, bodoh! Tsk, tolong menjauhlah dariku."

Inaba terlihat lesu, meski sepertinya hasratnya tidak terlepas. Ini membuat Taichi lebih gelisah. Nagase menggertakkan giginya untuk menahan kepedihannya, wajahnya terlihat seperti mau menangis.


"Aku akan mencuci muka," gumam Nagase, pada dirinya sendiri, dan pergi keluar kelas setelahnya.

Kelas menjadi sunyi senyap.

"Nagase..."

Ia sebaiknya mengejarnya, pikir Taichi, selagi berdiri. Pada saat itu, sebuah suara yang jernig dan tegas terdengar dalam kelas yang sunyi.

"Inaba dan juga Nagase akan berada dalam kelompok yang sama denganku," kata sang ketua kelas, Fujishima Maiko.

"Apa?!" Protes Inaba.

"Aku yang akan disalahkan jika Inaba dan Nagase tidak bisa akur dengan satu sama lain dan menghancurkan suasana kelas kita."

"Aku tidak harus mendengarkan omong kosongmu!"

Inaba menunjukkan kemarahannya. Sepertinya kata pengendalian diri tidak ada dalam benaknya.

"Sebagai ketua kelas, aku harus melindungi cinta dan kedamaian dalam kelas kita."

"Meski begitu, kau tidak punya hak untuk memutuskan!"

"Tentu aku punya. Aku ketua kelasnya."

Fujishima terlihat seperti pembela keadilan, Tapi Taichi tidak menyangka dia juga akan melindungi cinta di kelas mereka.

"Apakah boleh kalau begitu, Yaegashi?"

"Eh? Apa?" Taichi bersuara aneh karena terkejut.

"Sebentar... Kau satu kelompok dengan Watase. Jadi, sudah diputuskan. Nagase, Inaba, Yaegashi, Watase, dan aku akan membentuk kelompok dengan lima orang. Bagaimana, Yaegashi?"

"Kenapa kau tanya padaku..."

"Diamlah."

Terpikir olehnya bahwa Fujishima yang bertanya padanya terlebih dahulu—sepertinya belakangan dia brilian dalam terlalu banyak hal.

"Tsk!" Decak Inaba.

Di sisi lain, Watase menepuk pundak Taichi, "Yaegashi, aku akan menraktirmu jus lain kali—dua kaleng."


□■□■□


Pelajaran selesai begitu Perteuan kelas berakhir. Selagi Taichi berpikir akan melakukan apa, dia melihat sekeliling, dan melihat Inaba berjalan ke sisi Nagase. Meski dia tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan, sepertinya mereka sedang berdiskusi. Bagaimanapun juga, Inaba dengan cepat meninggalkan Nagase dengan punggungnya menghadap Nagase.

"Inaba," Nagase memanggil Inaba, tetapi Inaba mengabaikan Nagase dan pergi.

Nagase menurunkan pundaknya dengan sedih. Kelihatannya, selagi pundaknya turun, tas sekolahnya meluncur turun dari pundaknya dan jatuh ke lantai. Nagase kemudian perlahan mengambil tas yang tadinya meluncur di lantai. Saat itu, matanya bertatapan dengan Taichi. Taichi dengan cepat mengalihkan pandangannya, kemudian merasa sesuatu yang tidak baik terjadi.

Kenapa? Kenapa ia mengalihkan pandangannya? Sudah jelas tindakannya itu seperti mengabaikan Nagase. Meskipun mereka sebaiknya tidak terlalu dekat untuk menghindari saling menyakiti, dia tidak perlu mengabaikannya. Bukankah ini juga menyakiti Nagase? Itu benar-benar omong kosong. Taichi melirik mejanya, memikirkan ulang hal tersebut, dan melirik ke atas dengan hati-hati: Nagase telah berjalan keluar dari ruang kelas, sedih dan lelah. Taichi ingin memanggil dan menenangkannya, tapi ketika dia berpikir keinginan ini hanya karena dia tidak mau melihat wajah sedihnya, dia membenci dirinya sendiri.

Taichi sendirian di kelas. Jam di dinding menunjuk angka empat. Orang-orang yang akan pulang sudah memulai perjalanannya; orang-orang yang memiliki aktivitas klub sedang menuju klub mereka. Akan lebih baik jika dia pulang cepat agar dapat merasa aman. Meskipun dia tahu itu, dia tidak dapat berdiri.

Ketika dia sedang bermalas-malasan, pintu kelas terbuka. Yang masuk kelas adalah wali kelas 1C sekaligus pembimbing klub mereka—Gotou Ryuuzen. Mungkinkah itu «Fuusenkazura»? Pikir Taichi sekilas.

"Oh, Yaegashi, apa yang kau lakukan di kelas sendirian?"

Itu bukan «Fuusenkazura». Dia hanya Gotou yang normal.

"Bukan apa-apa. Sungguh."

Gotou berjalan masuk ke kelas.

"Hei, tinggalkan saja apa yang sedang kau lakukan untuk nanti. Jadi, beberapa guru mengomel padaku bahw ameja guru ini goyang terus, jadi aku meminta sekolah untuk menggantinya dengan yang baru, tapi mereka menyuruhku menggantinya sendiri. Apa ini masuk akal? Ini bukan bagian dari pekerjaan guru, kan? Meski sepertinya mereka akan membantu menggantinya besok, tapi guru yang komplain padaku bilang besok dia ada pelajaran. Guru ini sangat pemarah, kau tahu."

Selagi dia bicara tanpa akhir, dia mengangkat meja guru dan berhenti.

"Sepertinya kau menganggur. Ayo, bantu aku."

Jadi, Taichi membawa meja guru bersama Gotou. Taichi menghadap ke arah tempat tujuan mereka untuk menghidari melihat Gotou secara langsung. Meski Gotou tidak melakukan apapun yang membuatnya marah, tidaklah menyenangkan untuk mengingat «Fuusenkazura» setiap kali dia melihatnya.

"Yo. Sungguh beruntung ada kau yang membantuku. Akan berbahaya membawa benda ini melewati tangga."

"Oh," kata Taichi tak berdaya.

Biasanya, Taichi dapat membedakan Gotou dan «Fuusenkazura», tapi sekarang dia tidak dapat memperlakukan Gotou dengan kepala jernih. Dia takut dia akan marah pada Gotou.

Berbalik di ujung koridor, mereka memasuki bagian lain sekolah.

"Yo," kata Gotou, dengan nada bicara yang sedikit berubah, "apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Diserang pada tempat yang tepat, Taichi hampir menjatuhkan meja guru dan memegangnya dengan baik setelahnya.

"Tidak ada. Aku baik-baik saja."

"Sungguh tida meyakinkan menyangkalnya dengan wajah seperti itu. Apa kau ditolak? Coba kutebak... Nagase atau Inaba? Atau mungkin... Kiriyama?"

"Bukan hal semacam itu," kata Taichi datar. Dia harap tidak semua hal akan langsung dihubungkan dengan cinta.

"Kau harus mencari teman untuk mendiskusikannya pada waktu seperti ini."

"Eh?"

Karena Gotou menjawab dengan serius, seperti layaknya seorang guru, Taichi mau tidak mau menjawab dengan suara terkejut.

"Aku bilang—bicarakan hal itu dengan seorang teman. Oh, jangan minta saran padaku! Aku tidak peduli soal masalah cinta murid SMA."

Taichi tidak menjawab, tapi dia menggumamkan apa yang dikatakan Gotou: "Kebanyakan masalah dapat diselesaikan jika kau membicarakannya dengan seorang teman."

Ketika Gotou mengatakannya dengan penuh perasaan, dia tidak terdengar seperti guru yang tidak peduli apapun dan bertingkah seperti murid. Dia terdengar seperti orang dewasa yang dapat diandalkan. Perlindungan diri Taichi sedikit melemut, dan dia mengeluarkan sedikit pikirannya, "Tapi jika aku membicarakannya dengan teman-temanku, mereka akan terluka."

Mereka ingin mendiskusikan cara membantu Kiriyama, tapi mereka malah menyakiti satu sama lain sampai entah seberapa dalam.

"Apa? Bukankah tema adalah orang yang saling menyakiti dan menyusahkan satu sama lain?"

Taichi menatap Gotou dengan terkejut, tapi Gotou hanya menatapnya dengan wajah yang seakan berkata 'apa maksudmu? Itu kan sudah jelas'.

"Omong-omong, apa maksudmu terluka karena curhat? Oh, apa ini tentang cinta segitiga?"

Selagi Gotou bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri, dia melanjutkan perkataannya.

"Jika kau ada dalam situasi seperti ini, sebaiknya jangan kabur, buatlah semuanya jelas dan saling mengertilah satu sama lain. Selalu ada cara menyelesaikan masalah jika kau membicarakannya dengan satu sama lain secara langsung. Itulah yang dilakukan teman. Kadang, kau mungkin gagal, tapi jika kau tidak bicara dan membiarkannya, kau akan menyesalinya seumur hidupmu. Daripada begitu, bukankah lebih baik melakukan sesuatu dan gagal?"

Itu bukannya bersikap optimis, bukan juga khawatir akan resikonya. Itu adalah percaya semuanya akan membaik pada akhirnya dan mengambil langkah. Taichi mendengarkan Gotou dengan penuh perhatian.

"Kau mungkin gagal, tetapi tanpa pertengkaran , kau tidak akan menjadi teman sejati. Bagaimana aku harus mengatakannya? Jika kau hanya main aman saja, kau mungkin kehilangan hal yang terpenting."

Kata-kata itu perlahan meresap ke hati Taichi: akankah dia kehilangan hal yang terpenting jika dia hanya main aman saja?

"Yah, omong-omong, tidakkah aku terdengar seperti guru ketika aku berkata hal semacam itu? Bisakah kau sedikit lebih tersentuh?"

"Jika kau tidak bilang begitu, sejujurnya aku tersentuh."

"Apa. Di saat seperti ini, harusnya kau bilang dengan jujur, 'Aku tersentuh, pak!' Atau haruskah kubilang, oh, hei, Fujishima, ngapain di sini?"

Gotou memanggil Fujishima, yang bertemu dengannya di koridor.

"Saya harus mengurus sesuatu tentang karya wisata. Apa anda juga punya sesuatu yang harus diurus, pak? Terima kasih banyak," kata Fujishima dengan formal.

"Sepertinya begitu. Omong-omong, Fujishima, bisa tolong dengarkan Yaegashi?"

"Eh?"

"Apa?"

Taichi dan Fujishima bersuara, bingung.

"Aku sedang membicarakan dengan Yaegashi tentang pentingnya teman. Jadi, Fujishima, bisakah kau dengarkan dia? Sepertinya ada yang mengganggunya."

"Pak, meskipun saya ketua kelas dan anda wali kelasnya, anda tidak bisa menyuruhk saya melakukan semuanya. Lagipula, Yaegashi bukan teman saya melainkan musuh saya."

Jadi begitu Taichi di mata Fujishima.

"Apa? Fujishima musuhnya? Hei, hubungan rumit macam apa yang kalian miliki? Anak SMA sekarang sungguh unik. Bagaimana pun, bukankah bagus Fujishima berhubungan langsung dengan masalahnya? Jadi, kalian berdua harus berbicara."

"T-Tunggu, 'Go'!"

Meski Taichi memanggil Gotou dengan nama panggilannya, Gotou tidak mendengarkannya.

Gotou, yang sepertinya telah sangat diremehkan, menggunakan kekuatannnya untuk mengangkat meja guru yang dia dan Taichi angkat sendiri, dn meninggalkan Taichi dan Fujishima.

Taichi dan Fujishima kemudian ditinggalkan di tengah koridor dimana tidak akan ada orang yang lewat.

"Apa-apaan? Lupakan saja. Yaegashi, apa yang mengganggumu?" tanya Fujishima, menaikkan kacamatanya pada waktu yang sama.

"Tidak ada."

Tidak banyak yang dapat dibicarakan dengan Fujishima. Selain itu, dia pernah berpikir untuk mendorong Fujishima. Tidak baik terlalu dekat dengannya.

Meski begitu, Taichi berhenti berpikir sejenak.

Terpikir olehnya bahwa di salah.

"Tidak? Ya, sudah. Oh, apa mungkin berkaitan dengan Inaba dan Nagase?"

"Mmm..."

Ditusuk di tempat yang tepat, Taichi mau tidak mau mengubah wajahnya.

"Oke! Sebagai pelindung kedamaian dan cinta di kelas, aku tidak bisa membiarkannya. Apa masalahnya? Katakan saja."

Fujishima memaksanya menjelaskan; matanya di belakang kacamata mempertegas tekanan yang menakutkan itu.

Dia mungkin tidak dapat kabur jika dia bilang tidak ada apa-apa.

Lagipula, dia mungkin bisa mengerti sesuatu jika dia mengatakan sesuatu.

Bagaimana pun juga, suasana hatinya sedang tidak buruk, dan kekerasan di hatinya sudah melunak. Meskipun hasratnya terlepas, keadaan tidak akan terlalu buruk.

Taichi kemudian mencoba menanyakan pertanyaan yang dia tanyakan pada Gotou.

"Oke. Jika kau akan melukai orang lain jika kau berbicara dengan mereka, apa yang akan kau lakukan?"

Mendengar pertanyaan Taichi, Fujishima menghela napas. Dia seperti mengatakan: "Kau bahkan tidak tahu itu?"

"Jadi, tidak bisakah kau menghindari bicara dengan mereka?"

"Ya, ini jawaban yang paling mungkin, tapi jika tidak ada pembicaraan yang terjadi, ada hal yang tidak dapat dilakukan."

"Jadi bicarakan saja."

"Tapi mereka mungkin akan terluka."

"Coba kutanya, Yaegashi. Mana yang paling penting? Apakah itu menyakiti orang yang kau ajak bicara atau menyelesaikan suatu tugas dengan berbicara? Mana tujuanmu yang terpenting? Apa hal yang kau anggap paling penting? Coba tanyakan pada dirimu pertanyaan-pertanyaan itu," kata Fujishima.

Tujuannya yang terpenting.

Hal yang dia anggap paling penting.

"Saat kau dapat memutuskan hal yang terpenting dengan kepercayaan dan kepastian, keadaan akan membaik sendiri pada akhirnya. Sebaliknya, biasanya, jika kau tidak memutuskan, tidak akan ada yang terjadi," kata Fujishima, kemudian tersenyum.

Melihat Fujishima, yang selalu berwajah datar, tersenyum, akan menimbulkan perasaan apakah bagus melihat senyum seperti itu pada wajahnya.

Meski begitu, Taichi menganggapnya sebagai senyum dengan pesona yang baik.

"Omong-omong, kupikir manusia adalah makhluk yang akan menyakiti satu sama lain. Bagaimana kau menanggapinya adalah kebebasanmu."

Manusia adalah makhluk yang akan menyakiti satu sama lain. Ini adalah apa yang Fujishima katakan dan percayai.

Pada saat itu, Fujishima berkata, "Oh, maaf," dan mengeluarkan ponselnya. Sepertinya seseorang meneleponnya.

"Halo? Ada apa? Oke, jai kau mau curhat tentang cinta? Serahkan padaku."

Ketua kelas mereka yang dapat diandalkan itu sepertinya memang sibuk.

"Oke, dah."

Menutup ponselnya, Fujishima menatap Taichi.

"Maaf, ada beberapa hal yang harus kuurus. Apa ada hal lain yang ingin kau tanyakan?"

"Tidak, tak apa. Kau harus mengurus hal-hal tersebut sekarang."

"Benarkah? Baiklah. Silahkan curhat padaku kapan saja. Jika hal itu berpengaruh terhadap kelas kita, aku bahkan akan membantumu," kata Fujishima dengan elegan, dan pergi meninggalkannya.

Melihatnya terlalu elegan, Taichi tiba-tiba berkata, setengah bercanda, "Fujishima, sebenarnya kau itu apa?"

"Aku?"

Fujishima menoleh, rambutnya yang disisir ke belakang berkibar tertiup angin.

Dia menaikkan kacamatanya.

"Coba kupikir. Sepertinya aku bisa disebut pendeta cinta," kata Fujishima dengan wajah serius meski sedang mengatakan sesuatu yang seperti candaan.

Fujishima meninggalkannya dan menghilang setelah dia berbelok di tangga.

Taichi ditinggal di koridor sendirian.

Meski dia sendirian, dia tidak merasa dia sedang di sana sendirian.

Pengumuman sekolah terdengar pada saat itu: "Pak Gotou, Pak Gotou. Datanglah ke ruang guru secepatnya."

Pengumumannya memanggil Gotou. Taichi berharap itu bukan karena dia lupa iktu rapat.

Setelah pembicaraan itu, Taichi melangkah dan mulai berjalan.

Setelah anggota klub, termasuk dirinya, terkena fenomena «Fuusenkazura», mereka selalu mendiskusikannya bersama.

Itu dapat dimengerti jika memikirkan situasi mereka.

Meski begitu, masih ada orang selain mereka di dunia ini. Mereka akan mempengaruhi orang di sekitar mereka; mereka akan minta bantuan orang di sekitar mereka dan merepotkan mereka.

Setiap saat, dia akan terhubung dengan berbagai macam orang.

Taichi, pada akhirnya, mengingat fakta yang hampir dia lupakan.


□■□■□


Taichi memasuki ruang klub sendiri.

Baru beberapa hari kepergiannya, tapi dia sudah sangat merindukan tempat ini.

Dia duduk di sofa hitam yang dapat memuat tiga orang.

Kedua meja panjang diletakkan bersama, tanpa seorang pun yang duduk di kursi lipat yang mengitarinya.

Sudah dua minggu sejak pertemuan terakhir mereka.

Taichi menarik napas dalam-dalam.

Dia mulai berpikir apa yang harus dilakukan.

Normalnya dia mudah ragu dan khawatir akan apa yang akan dia lakukan jika dia berpikir sendirian, tapi sekarang dia merasa tidak ada masalah.

Dia tahu mengatakan dia tidak takut itu bohong, apalagi ketika pemikirannya untuk membantu orang lain, malah mungkin menyakiti orang, yang cukup berbahaya.

Meski begitu, dia pikir dia mungkin akan mengerti beberapa hal jika dia berusaha lebih keras.

Ada sesuatu dibalik pencerahan yang diberikan Gotou dan Fujishima.

Dia tidak akan tersesat, jadi jangan sampai dia tidak bisa melihat hal-hal yang penting baginya.

Jadi dia mulai berpikir.

Dia telah berusaha untuk menjaga jarak dengan semua orang di klub. Mengapa? Ini karena dia tidak ingin menyakiti siapa-siapa. Dia memilih tidak melakukan apapun karena ini. Tetapi, apakah ini adalah pilihan yang tepat? Memang, fenomena terlepasnya hasrat mungkin berakhir saat dia tidak melakukan apapun, tapi tak ada yang tahu kapan hal ini akan berakhir. Lagipula, sudahkah mereka sampai ke tahap di mana mereka tidak dapat menghindar lagi?Jika terus berlanjut seperti ini, tidakkah semuanya akan mengurung diri pada akhirnya? Jika hal ini berlanjut, mereka pasti akan hancur karena mereka tidak akan dapat menahannya. Mereka harus mencegah hal itu terjadi. Juga, apakah yang terpenting baginya?

Dia sekarang sedang berusaha tidak menyakiti siapapun. Ini tentu saja hal yang penting. Adalah hal yang penting untuk menghindari menyakiti orang yang mendekati diri kita. Meski begitu, apakah itu tujuannya? Apakah bagus hanya mencapai tujuan ini? Apakah dia hidup hanya untuk itu? Tentu saja tidak. Tidak mungkin itu tujuannya. Jadi, kenapa dia berusaha untuk tidak menyakiti siapapun? Ini karena mereka adalah rekannya, dan dia menghargai mereka. Memang, perasaan dalam dirinya bukan hanya perasaan yang disebabkan ketidakinginannya melihat orang terluka, tapi kenapa rasanya masih sakit jika dia hidup bukan untuk mencegah dirinya menyakiti orang? Apa yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa hal yang paling dia harapkan? Apa harapannya hanya agar semuanya berkumpul bersama?

Kiriyama mengurung diri di rumahnya karena dia terkejut. Awalnya semuanya berencana menyelesaikan masalah ini bersama, tetapi mereka malah mendendam satu sama lain, dan pada akhirnya, hubungan mereka memburuk.

Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang?

Dia ingin situasinya berubah jadi apa?

Solusi apa yang paling ideal?

Hubungan mereka membaik lagi, dan mereka dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah Kiriyama mengurung diri di rumahnya—bukankah itu tujuan yang ingin ia capai?

Ini jelas-jelas solusi yang paling ideal, tetapi mengapa ia belum berusaha mencapai hal itu? Itu karena dia telah mengacaukan semuanya, melupakannya, dan kehilangan hal yang terpenting.

Apa yang harus dilakukannya saat membela diri hanya memperburuk situasi?

Jawabannya adalah serangan.

Kadang serangan adalah pembelaan diri terbaik.

Dia sama sekali tidak ingin melihat orang terluka, jadi dia akan mengorbankan segalanya untuk menyelesaikan masalah ini.

Dia terlalu keras kepala.

Bisakah orang yang keras kepala mengharapkan hal-hal ini? Dia tidak tahu. Meski begitu, tidak masalah bertanya pada orang lain jika dia tidak tahu. Jika tidak, situasi hanya akan memburuk. Jadi, kenapa tidak langsung akhiri saja semuanya?

Dia punya tujuan yang ingin dikejarnya.

Apa akan ada yang setuju dengan keinginannya?

Wajah Nagase, Inaba, Kiriyama, dan Aoki muncul dalam benaknya.

Dia ingin bersama semuanya lagi.

Dia ingin semuanya bisa berkumpul di ruang klub ini sekali lagi.

Mungkin dia terlalu keras kepala, tapi apa yang benar-benar ingin dia lakukan sekarang?

Dia ingin bersatu kembali.

Apa yang dipikirkan yang lainnya?


□■□■□


Taichi memutuskan untuk menghubungi Nagase Iori.

Dialah satu-satunya yang tidak menjaga jarak dengan aktif.

Taichi menunggu Nagase di ruang klub.

Sepertinya Nagase masih di sekolah; dia bilang dia akan segera datang ke ruang klub.

Saat itu, pintunya terbuka dengan keras.

"Ta-Taichi!" Teriak Nagase, terengah-engah.

"Hai. Kau tidak perlu terburu-buru begitu."

"I-Itu karena kau bilang kau ingin mengatakan sesuatu."

Nagase menahan lututnya dengan tangannya, membungkukkan badan, sepertinya kelelahan. Taichi membiarkannya menenangkan diri sebelum bicara.

Nagase terengah-engah berulang kali.

Ada rasa khawatir dalam dirinya saat menghadapi Nagase seperti ini. Apapun alasan yang dipakainya, dia mungkin secara tidak sengaja melukai Nagase, atau jika tidak ada lepasnya hasrat... Tetap saja, kenyataan bahwa ia telah melukai Nagase tidak akan menghilang. Selain itu, ia hampir melukai Fujishima. Semua ini bukti yang tidak dapat ia abaikan.

Melukai seseorang secara fisik adalah hal terburuk.

Dia adalah yang terburuk karena dia melakukannya.

Meskipun tindakannya disebabkan oleh lepasnya hasrat, hal itu tidak akan terjadi jika dia tidak menginginkannya. Sekali ia memikirkan sesuatu, pikiran ini akan menjadi satu-satunya hal yang penting baginya—dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya saat itu.

Dia adalah orang orang semacam itu, meskipun dia orang seperti itu...

"Jadi, Taichi. Ada apa?" Tanya Nagase, napasnya lebih teratur sekarang.

Taichi menatap wajah Nagase, mata mereka menatap satu sama lain.

Mata yang menyerupai batu mulia tersebut mencerminkan gambaran Taichi.

Nagase tidak memiliki niat untuk kabur. Ia memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.

Apa yang ingin dia, Taichi, lakukan?

Apa ini sesuatu yang dapat dimaafkan?

"Dengarkan aku, Nagase. Aku sangat egois dan keras kepala. Sekali aku yakin suatu hal itu benar, aku akan segera melakukannya tanpa memperhatikan hal lainnya."

Nagase menatap Taichi dengan tenang.

"Selain itu, aku salah satu orang yang tidak akan berubah pikiran jika mereka berpikir bahwa mereka benar."

Itulah mengapa ia menyakiti Inaba, bertengkar dengan Aoki, dan bahkan menyakiti Nagase.

"Jadi, a-aku masih egois sekarang."

Taichi harus mengakuinya terang-terangan.

"Itu karena aku seorang bajingan sehingga aku menjaga jarakku dari semua orang untuk mencegah diriku menyakiti orang lain. Sepertinya kau tahu hal itu."

Dia gagal, bagaimanapun, dan dia benar-benar kecewa dan berkecil hati.

"Tapi, setelah kita berpisah, aku memikirkannya lagi. Aku masih ingin bersama kalian semua."

Apakah ini permintaan yang egois?

"Tapi sudah kukatakan. Aku orang yang egois. Terkadang aku mungkin menyakiti orang lain. Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diriku agar tidak melakukannya. Tapi tetap saja..."

Apakah manusia dapat hidup tanpa menyakiti orang lain?

"Aku benar-benar membenci diriku karena sifat-sifatku. Aku yakin tak ada orang yang suka disakiti, tapi aku masih ingin bersama semuanya."

Hubungan mereka berlima sangat penting bagi Taichi.

"Daripada kita berpisah karena tidak ingin disakiti, aku memilih kadang tersakiti agar mendapat kesempatan bersama semuanya. Jadi, jika kau tidak masalah sekali-kali disakiti, apakah kau masih mau... dapatkah aku berada di sisimu?"

Biarkan aku mencoba berharap. Biarkan aku mencoba bertanya.

Apa yang Nagase pikirkan tentang hal ini?

Selagi Taichi berbicara, Nagase menatap mata Taichi tanpa berkedip.