Gekkou (Indonesia):Jilid 1 Hidup

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Hidup[edit]


Pelajaran pertama adalah Bahasa Inggris, tapi aku tidak ingat apa-apa tentang itu. Aku sedang merenungkan kecelakaan ayah Youko Tsukimori.


Aku mulai memikirkan untuk mem-browsing beberapa situs berita di ponselku—tentu saja, secara tersembunyi dari tatapan guruku—tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya karena aku dikenal sebagai siswa yang berperilaku cukup baik. Aku tetap memberi tahu diriku sendiri bahwa aku sedang menyisakan yang terbaik untuk yang terakhir, dan menghabiskan satu jam menyakitkan seperti ini.


Persis saat pelajaran Bahasa Inggris itu berakhir, aku bergegas keluar dari ruang kelas dengan bersemangat untuk mencari detail-detail mengenai kecelakaan itu, dan aku pun langsung mengarah ke ruang perpustakaan.


Di sana seharusnya ada surat kabar hari ini, dan karena ada korban, pasti ada yang memuat suatu artikel tentang itu.


Dan seperti yang kuduga, ada suatu artikel yang berhubungan dengan kecelakaan tersebut. Aku sedikit kecewa ketika aku mulai membaca; ada suatu artikel... tentu saja ada... tapi artikel itu pendek dan ditulis dengan sangat ringkas di sudut halaman berita lokal.


Namun, selagi aku terus membaca, detak jantungku berdegup lebih cepat. Dalam artikel itu aku menemukan beberapa kata kunci yang kucari.


“…dalam perjalanan pulangnya saat melintasi jalan pegunungan…”


“…suatu tikungan tajam dengan jarak pandang yang buruk…”


“…sudah ada korban sebelumnya…”


“…kecepatannya terlalu tinggi karena lereng…”


Ada beberapa bagian artikel yang mengingatkanku pada “Resep Membunuh dengan Tiruan Kecelakaan Lalu Lintas” seperti yang tercantum di dalam resep membunuh. Aku langsung saja tertarik pada ide bahwa “Youko Tsukimori telah menjalankan rencana pembunuhannya.”


…dan juga, tak bisa menahan hawa dingin yang menjalari punggungku ketika membayangkan kecelakaannya dengan adanya ide itu dalam kepalaku.


Yang sama pentingnya adalah fakta-fakta tak tertulis.


Artikelnya tidak akan sekecil ini jika Polisi telah mempertimbangkan kemungkinan pembunuhan. Sama halnya denganku, aku harusnya tidak akan mengabaikan ini sampai setibanya di sekolah.


Sudahkah aku dengan fatal memikirkan sesuatu yang salah?


Rencana itu tampak kekanak-kanakan pada pandangan pertama, seperti suatu trik tidak pasti yang bergantung pada beberapa elemen tidak tetap.


Tapi, mungkinkah dia menjalankan rencana itu justru karena adanya kecacatan?


Siapa yang akan percaya dengan rencana pembunuhan sekonyol itu?


Siapa yang akan melihat suatu rencana pembunuhan yang begitu mirip dengan kecelakaan murni?


Dan seperti yang ditunjukkan oleh fakta-fakta itu, polisi yakin bahwa itu hanyalah suatu kecelakaan lalu lintas. Hal yang sama juga berlaku pada teman sekelasku; semua orang menganggap Tsukimori adalah seorang gadis malang yang telah kehilangan ayahnya dalam suatu kecelakaan.


Aku bertaruh, bahkan korban itu sendiri tidak akan pernah bermimpi jika anak gadisnya adalah seorang pembunuh.


Aku juga tidak, jika aku tidak tahu resep membunuh itu.


Mungkin, bahkan tidak akan ada masalah besar meskipun rencana itu gagal. Toh, itu didasarkan pada keberuntungan; jika kau hanya melihat pada peluang terjadinya insiden, dari awal pun, rencana itu harusnya sulit sekali berhasil.


Tetapi justru aspek itulah inti resep membunuh tersebut.


Ada beberapa rencana tercatat di dalamnya yang tergantung pada kondisi eksternal secara acak. Jadi, tidakkah gadis itu itu mengharapkan bahwa rencana-rencananya tersebut akan gagal sejak awal?


Target Tsukimori adalah ayahnya—seseorang yang selalu dekat dengannya dan, karena itu, memberikan dia peluang sangat besar untuk membunuhnya. Itu mungkin suatu pernyataan yang kasar, tapi kau bisa katakan bahwa “bahkan tembakan buruk akan mencapai sasaran jika dicoba terus-menerus.”


Tsukimori tentunya tidak berniat untuk melaksanakannya dengan secepat mungkin. Dia hanya ingin ayahnya mati cepat atau lambat. Aku pikir, itulah yang dia harapkan.


Namun, dia tidak ingin tertangkap karena itu.


Aku sudah menyadari sejak saat aku pertama kali membaca resep tersebut, bahwa rencananya utamanya bukan dirancang untuk membunuh, melainkan untuk tetap hidup dengan normal setelah menjalankannya.


Jika demikian, hasilnya membuatnya jelas. Tsukimori telah melaksanakannya—



—pembunuhan yang sempurna.



Aku hanya bisa berpikir demikian.


Tentu saja, ini semua hanyalah hasil pemikiranku dan terlalu tak berdasar untuk menjadi pertimbangan yang pasti.


Aku mengenalinya tidak lebih baik daripada teman-teman sekelasku. Ketika membicarakan tentang dirinya, Kamogawa sebenarnya jauh lebih tahu daripada aku. Pemikiran ini hanyalah suatu perluasan dari hobiku, yaitu “bayangkan dan nikmati”, dan bukan sesuatu yang tulus seperti “memecahkan suatu kasus”.


Namun, entah kenapa, aku tak bisa menganggap analisisku ini sebagai ilusi murahan, dan akupun tidak mau berhenti.



Rapat kelas setelah hari itu tentang kematian ayahnya Tsukimori.


“Aku pikir semuanya tahu tentang kepergian ayahnya Tsukimori. Pemakaman diadakan besok sore, dan aku akan menghadirinya. Dengan demikian, pelajaran kelima, biologi, kalian belajar sendiri.”


Ketika kata “belajar sendiri” lepas dari mulut guru kelas kami, Ukai, gelombang kegembiraan serentak membludak dari teman-teman sekelasku.


“Hei, itu disebut tak bijaksana, kalian tahu? Berempatilah sedikit kepada Tsukimori yang baru saja kehilangan salah satu orang tuanya!” Ukai memarahi kami—bukan dengan nada yang sangat keras, tapi ruang kelas menjadi sunyi. Itu adalah keheningan yang berat.


Tampaknya, Pak Guru menutup rapat ini dengan membuat para murid terdiam dan merenung secara tak terduga.


“Selain itu, petugas kelas diminta untuk datang ke pemakaman sebagai wakil. Aku mengandalkan kalian. Baik, rapat kelas ditutup.”


Tepat ketika Ukai hendak menyelesaikan: “Pak Guru!” Usami mengangkat tangannya, “Petugas kelas perempuannya adalah Youko sendiri.”


“Aah, benar juga. Kalau begitu, Usami, boleh aku memintamu?”


“Ah, ya.”


“Yang lain adalah kau, Nonomiya, kan? Aku harap kau berada di sana.”


“Iya.”


Aku mengangguk dengan tenang dan diam-diam menyeringai dalam hati.


Justru itulah yang aku harapkan. Aku bahkan tidak bermimpi bahwa aku akan punya kesempatan untuk menghadiri pemakaman secara resmi seperti ini.


Sebenarnya, setelah membaca artikel di perpustakaan, aku telah mempertimbangkan tentang bagaimana cara pergi ke pemakaman, karena aku ingin memperoleh informasi lebih lanjut tentang Tsukimori. Sementara aku telah memperhitungkan bahwa upacara itu akan berada di luar jangkauan, aku berpikir bahwa aku setidaknya bisa menghadiri acara berjaga semalaman untuk mengenang almarhum.


“Hanya kalian berdua?! Tidak adil!”


Setelah memastikan bahwa Ukai telah pergi, Kamogawa melototi pada Usami dan aku secara bergantian.


“Siapakah orang tidak bertanggung jawab yang menunjukku sebagai petugas kelas pada awal semester?”


Meskipun begitu, hanya sekali ini aku berterima kasih pada kepribadiannya yang tidak bertanggung jawab.


“Entahlah? Aku adalah tipe pria yang tidak melihat ke belakang pada hal yang sudah berlalu.”


“Ketidaktanggungjawabanmu patut menerima kekaguman. Dalam artian buruk.”


“Itu adalah suatu kehormatan!!”


Aku hanya bisa tersenyum kecut pada jawaban sombong Kamogawa.


“Kamogawa, kaulah yang terburuk! Apa kau tidak mendengar Ukai-sensei? Kau tak bijaksana…” Usami mencibir dengan serius ketika memperhatikan sikap santainya.


“Ini salah paham, Usami. Aku hanya khawatir tentang teman kelas yang telah kehilangan orang berharga dalam keluarganya, tau?” Kamogawa meyakinkan kami dengan ekspresi lemah lembut.


“Itu bohong. Jelas-jelas kau hanya ingin untuk menemui Youko-san karena motif tersembunyimu!” bentak Usami dengan tegas.


“Tidak, bodoh! Aku takkan pernah punya motif tersembunyi! Aku hanya berharap untuk menenangkan Tsukimori di saat-saat sulit ini,” dia menambahkan dengan segera, “Yah, tapi tentu saja, aku tidak akan menolak jika dia jatuh cinta padaku ketika aku melakukan itu, heh!”


“Kau benar-benar yang terburuk, Kamogawa!” Usami tampak benar-benar tercengang.


Seperti aku : “Kamogawa, pasang telingamu. Itulah hal yang kita sebut dengan motif tersembunyi.”


“Ahaa, begitu yah! Kau memang tahu segalanya, ya?” Kamogawa mengelak pernyataanku dengan pura-pura menjadi bodoh. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan Kamogawa.


“...aku harap kau tidak mempunyai motif tersembunyi juga, Nonomiya?”


Usami menyadari bahwa Kamogawa sudah tak punya lagi harapan, lantas menetapkanku sebagai tersangka baru.


“Tentu saja tidak. Aku pergi ke upacara pemakaman karena aku adalah petugas kelas, bukan karena kehendakku sendiri,” aku menunjukkan senyum tak berdaya. “Juga, aku tidak suka hawa suram di pemakaman. Sejujurnya, aku lebih suka tidak pergi ke sana.”


“Benarkan? Aku tahu kau tidak seperti Kamogawa!”


Usami menyorotkan senyum cemerlang seakan-akan dirinya sendiri dipuji.


“Sikapmu terhadapku dan Nonomiya sangatlah berbeda! Aku merasa mendapatkan diskriminasi! Jika aku dari Amerika, aku akan membawamu ke pengadilan sekarang juga!”


“Tapi kau adalah orang Jepang dari kepala sampai kaki. Dan itulah perbedaan pada perilakumu sehari-hari yang membedakanmu dari Nonomiya. Salahmu sendiri?”


Sementara dari sudut pandang sifat yang benar-benar berbeda, aku mempunyai motif tersembunyi juga. Sejujurnya, aku suka pemakaman. Terutama karena kau bisa menyelinap untuk mengintip semua jenis manusia.


Aku sudah tak sabar untuk menghadiri pemakaman esok hari dengan perasaan sama seperti pergi ke konser artis favoritku.



Setelah mengakhiri pelajaran ketiga, Usami dan aku dibawa ke rumah duka oleh mobil Ukai. Tidak ada segumpal awan pun pada langit biru yang luas di luar jendela.


Selama naik mobil, aku bisa mengumpulkan beberapa rincian informasi tentang lingkungan keluarga Tsukimori dari Ukai.


Keluarganya terdiri dari kedua orang tua dan dia sendiri, yaitu sebagai anak tunggal. Ini sebenarnya cukup mengagetkan untukku, karena perlaku dewasanya telah menuntunku untuk percaya bahwa dia mempunyai seseorang yang harus dijaga, misalnya adik.


Rupanya, ayahnya menjadi kepala suatu perusahaan desain konstruksi. Karena ayahku sendiri bekerja di suatu bank dekat perusahaan itu, aku pun berencana menanyainya tentang hal itu sesudahnya.


Segera setelah kami sampai di rumah duka dan melalui beberapa formalitas di pintu masuk, kami melanjutkan ke aula yang ditandai dengan tanda baca “Tsukimori.”


Banyak karangan bunga yang sedang dibuat, dan berbaris sampai ke luar aula. Seolah-olah, aku sedang menonton adegan video yang telah dipasangi mesin game baru.


Suram....... aula luas itu penuh sesak dengan orang-orang yang mengenakan pakaian berkabung. Altar ini tampak jauh lebih luar biasa bagiku, daripada pemakaman terakhir yang pernah kuhadiri.


Kami duduk di kursi yang telah disiapkan untuk petugas umum dan menunggu dengan sabar jalannya awal upacara.


Mataku mencari sosok Tsukimori dan menemukan bahwa dia sedang duduk di dekat altar, di mana keluarga berkumpul. Dia menghibur wanita di sampingnya yang sedang menyandarkan kepalanya, dia menopang dan membelai punggungnya.


Dari penampilannya, kukira itu adalah ibunya. Dia adalah seorang wanita cantik yang mirip sepertiTsukimori.


Bagaimanapun juga, aku terkejut ketika melihat betapa tenang ekspresi wajah Tsukimori.


Saat itulah aku ingat bahwa aku pernah menanyai Usami, mengapa semua gadis-gadis memanggil Tsukimori dengan mengimbuhkan “-san” pada namanya. Jawabannya adalah: “Youko-san mungkin berusia sama seperti kita, tapi dia tidak seperti kelihatannya, dan berperilaku sangat dewasa? Jadi pada dasarnya, seseorang memanggilnya Youko-san, dan seperti itulah semuanya bermula.”


Tentu saja. Aku hampir tak bisa membedakan siapa ibu dan siapa anak.


“...Aku turut berduka untuk Youko-san.”


Aku melihat ke sampingku dan mendapati Usami dengan mata berlinang air mata. Dia bukan saja seorang gadis yang terkesan: “lahir untuk menjadi adik perempuan,” tapi ia benar-benar memiliki seorang kakak laki-laki.


“Ayolah, jangan menangis,” kataku sambil mengeluarkan sapu tangan.


“Lihat saja, bagaimana dia tetap tenang meskipun kenyataan yang dihadapinya begitu pahit! Andaikan saja aku berada di posisinya saat ini, aku takkan bisa...”


Usami meraih sapu tangan dari tanganku dan mengusap matanya dengan itu. Tentu saja, sebentar lagi Usami mungkin akan menangis terisak-isak.


Tapi aku enggan menyetujui bahwa Tsukimori sedang berkabung karena kematian ayahnya.


Jika dugaanku tentang Tsukimori yang menginginkan kematian ayahnya adalah benar... maka dia saat ini sedang bergembira, bukannya berdukacita, karena pemakaman ini sebenarnya adalah suatu acara untuk merayakan keberhasilan rencana pembunuhannya.


Seiring waktu berlalu, kursi di aula berangsur-angsur penuh dan sebelum aku tahu, keseluruhan ruangan sudah bercatkan hitam.


Dari segala arah, aku bisa mendengar bisikan diperlemah sehubungan dengan suasana khidmat yang menyertai rumah duka. Aku memutuskan untuk mendengar dengan penuh perhatian pada obrolan itu. Aku melakukan itu untuk menghabiskan waktu sekaligus mengumpulkan informasi.


Aku fokus pada percakapan dua wanita yang dengan lembut berbicara pada deret tepat di depanku. Andaikan saja aku bisa mencatatnya, aku akan melakukan itu dengan senang hati!


Obrolan mereka terganggu di tengah jalan. Seandainya aku bisa mendengarkan itu sedikit lebih lama, tapi apa boleh buat, karena upacara telah dimulai.


Sutra yang dilantunkan oleh pendeta terdengar jelas di seluruh lorong.


Suasana khidmat membuat pikiranku menenang, hingga menghasilkan lingkungan yang sempurna untuk memanjakan diri dan pemikiranku. Aku memilih untuk “memutar ulang” percakapan yang baru saja kudengar dalam pikiranku, dan mengurutkan informasi-informasi yang telah kudapat sampai sejauh ini.


Reputasi ayahnya sangat baik.


Pertama, mereka berbicara tentang penampilannya, itu tidak terlalu mengejutkan, mengingat dia adalah ayahnya Tsukimori. Sekilas, gambar di altar menunjukkan bahwa dia terlihat seperti seorang aktor, dan membuatku mengerti kenapa ia populer bagi mereka.


Lalu, mereka melanjutkan dengan keadaan perusahaan dan ekonomi keluarganya. Walaupun usahanya hanyalah UKM (Usaha Kecil dan Menengah), bisnis berjalan dengan lancar dan standar hidup pribadi mereka cukup tinggi juga. Ternyata, rumah mereka baru dibangun dua tahun lalu, dengan desain yang kompleks. Yah, bagaimanapun juga dia adalah direktur bisnis desain konstruksi.


Terakhir, mereka berbicara tentang keluarganya itu sendiri. Baik ayah dan ibu, keduanya cukup ramah dan berhubungan baik dengan tetangga-tetangga mereka. Para wanita itu juga mengangkat subjek tentang Tsukimori. Dia dinilai sebagai seorang putri cantik dengan sikap yang baik.


Aku melepas nafas panjang.


Tak dapat disangkal, aku merasa senang bahwa aku bisa “ikut campur” pada informasi baru, tapi tidak ada yang bisa “membakar” fantasiku. Surat kabar itu membuatku terlalu bersemangat dan menyebabkan diriku memiliki harapan yang terlalu tinggi pada pemakaman ini.


Aku bernafas di udara aula yang sunyi.


Sembari menyesuaikan diri bersama-sama, aku memutuskan untuk “membenamkan” diriku lebih dalam pada suasana tenang aula ini. Bagaimanapun juga, ini adalah pemakaman yang “menjanjikan”!! Akan mubazir jika aku tidak mengambil keuntungan dari kesempatan ini, dan memata-matai suatu hubungan antar manusia.


Tidak perlu terburu-buru. Semakin lama game kami ini berlangsung, semakin baik.


Ketika kualihkan pandanganku menuju area dekat altar, aku melihat bahwa ibu Tsukimori tiba-tiba mulai menangis.


Sepertinya, ratapannya merupakan alasan mengapa para wanita di sekelilingku mulai ikut terisak-isak. Ngomong-ngomong, Usami masih menangis juga.


Namun, masih saja tidak ada air mata di mata Tsukimori.


Tatapannya begitu menawan, dan terpaku di altar.


Karena pakaian berkabung hitam semakin membuat kulitnya yang putih terlihat cerah, seolah-olah tubuh Tsukimori kelihatan bercahaya. Tsukimori yang terdiam sangatlah mencolok, lebih dari orang yang meninggal itu sendiri, lebih dari altar yang penuh hiasan, lebih dari ibu yang termehek-mehek, atau lebih dari orang lain yang berada di dalam aula.



Bagiku, Tsukimori tampak seperti bulan di malam hari.


Kecantikan yang begitu mempesona.



Sudah waktunya untuk keberangkatan peti mati. Klakson mobil jenazah terdengar keras dan sederhana, lantas mobil itu pun berangkat di depan mata orang-orang berbaju hitam.


Kerabat almarhum, termasuk Tsukimori, meninggalkan aula untuk sementara, dan menuju ke krematorium*. Kami bertiga memutuskan bahwa kami akan menunggu dia kembali, sehingga kami bisa setidaknya bertukar beberapa kata dengannya.

[Krematorium adalah ruangan tempat mayat dikremasi atau dibakar. Kamus Oxford.]

“Kalian berdua pasti lapar, kan? Biarkan aku mentraktir kalian untuk makan siang hari ini. Tapi rahasiakan ini pada yang lainnya, oke?”


“Hore! Kau dengar ini, Nonomiya?” Usami bersukacita tanpa menahan diri sedikit pun. Pasti inilah salah satu perubahan suasana hatinya yang terkenal itu.


Yah, sebagai orang yang menyukai kata “rahasia”, aku pun menerima tawarannya dengan senang hati.


Beberapa saat kemudian, kami menyeruput ramen di toko dekat rumah duka.


“—Kalian berdua mungkin tidak cukup menyadari hal itu, tapi kematian adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan,” kata Ukai tiba-tiba, kacamatanya berkabut oleh uap supnya. “Mengatakan ini pada Tsukimori mungkin adalah suatu hal yang tidak bijaksana, tapi aku masih ingin agar kalian menghargai kesan sedih yang jarang terjadi ini, yaitu ‘Kepergian ayah seorang teman’.”


Usami mengangguk dengan sungguh-sungguh, mulutnya diisi dengan mi, dan itu membuatnya terlihat seperti tupai.


“Memang. Aku diingatkan bahwa ada batas untuk kehidupan kita—dan itulah yang membuat hidup seseorang menjadi berharga.” Karena sedang bersama guru kelasku, aku memilih kata-kata dengan hati-hati saat menyampaikan kesan.


“Luar biasa, Nonomiya,” Usami memujiku dengan mata melebar setelah menelan minya.


“Tentu saja. Tidak sepertimu, aku tidak menangis selama jalannya upacara.”


“A-Aku punya banyak pemikiran yang melintasi kepalaku, juga!”


“Misalnya?”


“Eh? Ah, um, aku kasihan padanya...”


“Terus?”


“…A-aku kasihan padanya?”


“Aku sudah dengar itu.”


“T-Tidak, jangan salah! Sebenarnya aku sudah berpikir beberapa hal lebih banyak dari ini, hanya saja aku tidak bisa mengungkapkannya dalam bentuk perkataan sepertimu!”


Ukai tertawa mendengar percakapan kami.


“Nah, Nah, mari kita bereskan ini dengan kesimpulan bahwa kalian berdua memiliki pemikiran masing-masing, oke? Nonomiya lebih analitis dan Usami lebih emosional.” Ukai melerai dan memecahkannya sebagai seorang guru.


–Hidup adalah suatu hal yang menarik karena ada batasnya. Kau merasa “hidup” karena kau tidak tahu kapan nyawamu berakhir.


Sepintas, itu mungkin tampak bertentangan dengan kematian, kebalikan dari kehidupan, menyoroti nilai kehidupan, tetapi sebenarnya masuk akal. Aku bahkan membayangkan gagasan bahwa kebanyakan hal di dunia ini bisa bekerja dengan cara yang sama.


Pada saat itu, aku terpesona oleh resep pembunuhan yang berisiko—maka, aku pasti sedang hidup.



Kami menyambut Tsukimori ketika ia kembali ke aula.


Awalnya, Ukai menyampaikan simpatinya yang terdalam sebelum meyakinkan bahwa: “Jangan khawatir tentang sekolah. Luangkan waktumu dan kembali ketika kau merasa nyaman.”


“Terima kasih banyak atas perhatiannya. Namun, saya sudah berpikir untuk bersekolah dengan normal mulai lusa karena saya pikir itu akan membantu diriku untuk mengalihkan kesedihan.” Dia tersenyum lemah. “... Saya sedikit cemas tentang meninggalkan ibuku sendirian di rumah, karena dia terpukul sangat keras, tapi saudaranya dan saudara ayahku, keduanya meyakinkanku bahwa mereka akan mendukung ibu untuk sementara waktu.”


Tsukimori tampak kelelahan. Kelihatannya, dia tidak tidur dengan baik.


Aku mengetahui bahwa tindakannya cukup bijaksana, aku pun hanya bisa berpikir bahwa wajah putihnya sekarang semakin mencolok karena gaun berkabungnya, dan wajahnya tampak semakin sensual daripada ketika di sekolah.


“Begitu yah. Bagaimanapun juga, pastikan untuk tidak memaksakan diri dan jangan sungkan untuk berkonsultasi padaku kapan saja.” Ukai menepuk bahunya.


“Terima kasih sudah datang juga, Chizuru, Nonomiya-kun.”


“Semua orang di kelas khawatir tentangmu.”


“Aku merasa senang.”


“Youko-san…”


Lagi-lagiUsami hampir menangis, dia rupanya tersentuh oleh perilaku Tsukimori yang bijak.


Aku menyodok kepalanya dan berkata: “Bukankah seharusnya kau tenang sedikit? Kau ingin mengungkapkan belasungkawamu dengan benar, kan?”


“…Yah,” Usami mengangguk sambil berlinang air mata. “Um… Youko-san, itu akan sulit, tapi ... i-itu awkan swulit, tapi…”


Usami mulai menangis di tengah kalimat karena dia tidak tahan lagi.


Tsukimori tidak ragu-ragu untuk merangkul kepala bulat Usami dan menghiburnya, “Terima kasih, Chizuru. Aku sangat senang karena kau begitu mengkhawatirkan aku.” Sembari membelai kepalanya layaknya seorang kakak yang penuh kasih sayang, ia pun bergumam, “…Aku pikir, kau dapat menganggap dirimu bahagia jika kau memiliki seseorang yang khawatir tentangmu.” Setelah itu, dia membisikkan terima kasih untuk Usami lagi dan lagi.


Kali ini, gadis itu terlihat begitu lembut dan rapuh. Bagiku..... saat ini...... dia sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja merencanakan suatu pembunuhan